Salah
Siapakah sebenarnya yang salah ketika sebuah bencana alam terjadi, dan menelan korban kemanusiaan yang besar? Manusiakah, yang diberi mandat mengelola alam? Atau, Tuhankah, karena Ia adalah pengatur segalanya? Dalam bencana kebakaran hutan atau banjir, mungkin manusia dapat disalahkan. Tapi dalam gempa bumi, gunung meletus, tsunami? Siapakah yang salah sebenarnya?
Beberapa hari setelah gempa bumi di Jateng dan DIY Mei lalu, seorang ustadz berkhutbah dengan keras tentang sebuah “hukuman” bagi para musuh Tuhan. Konon, menurutnya, pada dini hari tanggal 27 Mei 2006—kali pertama terjadi gempa—di tepi Pantai Parangtritis dilakukan sebuah pesta yang bersifat “erotis” sekaligus sebagai sebuah ungkapan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).
Masih menurutnya, para “musuh Tuhan” — sebutan dari si ustadz untuk para penolak RUU APP—sebenarnya juga akan menggelar pawai besar-besaran di Yogya pada Juni 2006 untuk menolak RUU APP. Tapi, masih kata si ustadz, gempa terjadi dan rencana itu buyar. Gempa itu, katanya, adalah sebuah rencana Tuhan buat menggagalkan pawai menolak RUU APP. Juga sebagai hukuman buat para pelaku pesta “erotis” di Parangtritis pada 27 Mei 2006.
Sebelumnya, saat Gunung Merapi dalam keadaan genting, ada juga seorang ustadz yang bilang: “Saya takut, kalau RUU APP ditolak, maka Merapi akan meletus dan menelan korban banyak.” Si ustadz itu kemudian menawarkan sebuah solusi agar tidak timbul korban karena letusan Merapi: kita mesti menerima RUU APP.
Bagaimana sebuah kejadian alam dihubungkan dengan kejadian politik? Dalam rasionalitas yang sekuler, barangkali tak mungkin. Tak akan ada hubungan yang benar-benar bisa dibuktikan antara RUU APP dengan meletusnya Gunung Merapi, misalnya. Tapi, bagi para agamawan, soalnya bisa jadi lain. Dua kejadian yang berbeda 180 derajat sekalipun bisa dicari hubungannya melalui doktrin agama. Jadilah, klaim soal RUU APP dan Merapi meletus muncul. Cuma, kemudian kita tahu, Merapi tak pernah “benar-benar meletus”. Lalu soal RUU APP? Agaknya isu itu tenggelam ditelan waktu. Yang agaknya dilupakan orang adalah bahwa besarnya pro kontra RUU APP sebenarnya adalah efek dari “dibesar-besarkannya” isu itu oleh media. Sehingga ketika telah mulai ada kejenuhan soal isu itu, media kemudian mulai menyurutkan pemberitaannya. Dan RUU APP tak lagi jadi topik di khutbah-khutbah agama. Dan RUU APP juga tak lagi dihubungkan dengan gunung meletus, gempa bumi, tsunami.
Kalau kita berpaling pada Goenawan Mohamad, mungkin akan kita temukan penolakan terhadap pandangan bahwa bencana adalah “hukuman” buat manusia. Beberapa saat setelah tsunami di Aceh berhembus, mantan Pemimpin Redaksi Tempo itu berkirim sms ke teman-temannya. Isinya kira-kira: “Orang yang percaya bahwa tsunami adalah cobaan dari Tuhan, maka dia percaya kepada Tuhan yang buas. Itu bukan Tuhan saya.” Saya tahu isi sms itu dari sebuah milis. Seorang teman Goenawan yang mempublikasikannya. Tapi, temannya itu kemudian menggugat isi sms Goenawan dengan sederetan pertanyaan yang sangat panjang. Saya lupa nama teman Goenawan itu. Tapi yang jelas ia seorang ateis. Dan ia menggugat Goenawan dengan sederetan pertanyaan yang “memojokkan” Tuhan. Mungkin ia mau bilang: kalau Tuhan itu benar-benar bengis, buat apa Ia dipercaya?
Saya tak tahu adakah Goenawan kemudian membalas antologi pertanyaan dari temannya itu. Yang jelas, setahu saya, Goenawan memang punya pandangan yang agak lain soal Tuhan dan ketuhanan. Ketika seorang anggota laskar jihad yang berzina dihukum rajam, ia membandingkan hukuman itu dengan ritual persembahan yang biasa dilakukan oleh suku-suku terasing di jaman lampau. “Untuk siapakah hukuman itu sebenarnya, Tuhan atau manusia?” begitu kira-kira pertanyaan yang dilontarkannnya dalam sebuah Catatan Pinggir-nya di Tempo. Goenawan adalah seorang yang percaya bahwa Tuhan bukanlah Zat yang bengis yang “membalas satu mata dengan satu mata pula”. Ia, bagi Goenawan, adalah Zat yang punya kasih sayang yang luas. Lalu, siapa yang salah saat gunung meletus, gempa bumi, tsunami?
Mungkin, bila kita menengok ke Albert Camus, kita justru tak sepatutnya bertanya. Bukankah keji bila dalam situasi genting seperti bencana kita justru mengajukan pertanyaan buat “berfilasafat” dan bukannya menolong? Menolong, mungkin kata kunci yang hendak diwariskan Camus. Dalam novelnya, Sampar, Camus bercerita tentang sebuah kota yang dilanda wabah mematikan. Saat bencana terjadi, seorang dokter—namanya Dokter Rieux—berjuang mati-matian menolong para korban tanpa sekalipun bertanya tentang sebab musabab bencana itu.
Di saat pastor kota berusaha menerangkan musabab bencana itu dan kemudian mengajak para penduduk kota untuk bertaubat—si pator menganggap taubat adalah jalan keluar dari wabah mematikan—Dokter Rieux berjuang habis-habisan menyelamatkan para korban. Meski Dokter Rieux tahu kalau usahanya tak akan pernah benar-benar menghilangkan wabah dari kotanya, ia tetap berusaha sekuat mungkin. Pada akhirnya, yang ingin disampaikan oleh Camus adalah sebuah semangat untuk berusaha melawan kesusahan sekalipun kita tahu kita tak bakal menang. Satu hal lagi yang mungkin juga jadi bagian penting dari novel itu: solidaritas antar manusia penting buat mengatasi absurditas hidup.
Ya, hidup memang absurd di mata Camus. Baginya yang tak percaya kehidupan setelah kematian, hidup seperti rangkaian cerita menuju akhir belaka. Manusia, dalam hidup, seperti berbaris menunggu vonis kematian datang. Bagaimana jadinya manusia menghadapi kehidupan yang menjengkelkan itu? Bagaimana mungkin kita hidup kalau tahu pada akhirnya kita hanya akan berakhir tanpa sesuatu yang bermakna? Tapi, mungkin hidup memang tak akan selesai dijawab. Jadi, jalani saja.
Widororejo, 10 Nopember 2006
Haris Firdaus
Komentar