Diam
untuk T, dengan segala hormat
Saya tak tahu, adakah kau percaya satu kondisi di mana seorang manusia tak berhak bicara soal “benar” atau “salah”. Mungkin saja tidak. Sebab kau terlihat begitu yakin pada diri sendiri, juga ketika sebuah “batas” tak terlampau tegas sebenarnya. Atau, malah memang tak ada pembatas saat itu. Saya bayangkan kau adalah orang yang dengan suatu cara, atau beragam cara, telah menemukan keyakinan terhadap diri sendiri dengan begitu kuatnya. Seolah kata hatimu dan pendapat pribadimu adalah ukuran “kebenaran” yang harus dipatuhi. Oleh dirimu sendiri, terutama.
Saya tak pernah tahu, bagaimana kau mendapatkan sebuah keyakinan diri yang begitu teguh seperti itu. Adakah keyakinan itu menyiratkan sesuatu yang “dalam”? Ataukah, sekedar sesuatu yang berangkat dari sebuah “emosi”, dan oleh karenanya bisa disebuat sebagai sesuatu yang “dangkal”? Saya juga ingin melempar pertanyaan: terburu-burukah saat kau mengambil keputusan tegas bahwa dirimulah yang “benar” dan yang lain tidak? Berangkat dari sebuah renungan yang “panjang” dan “mendalam” kah hal itu? Atau jangan-jangan keyakinan itu tak menyiratkan “apa-apa” sama sekali kecuali sedikit kesombongan dan percaya diri yang berlebih?
Saya masih terus ingin bertanya, sehingga mungkin tulisan ini akan jadi sebuah antologi pertanyaan buatmu. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu, saya yakin bisa kau jawab. Sebab, orang yang yakin pada dirinya sendiri dengan sedikit “berlebih”, pastilah orang yang telah siap “menjawab” atau malah siap “memberi petuah”. Orang semacam itu, mungkin adalah orang yang telah siap menghentikan pertanyaan dalam hidupnya dan memulai sebuah perjalanan panjang buat “menjawab” soal hidup.
Ketika kau menyatakan diri sebagai yang “benar” saat itu, saya ingin sekali melempar pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi, saya memilih diam. Berbeda dengan kau, saya percaya suatu saat manusia akan dihadapakan pada satu kondisi di mana “benar” atau “salah” tak dapat dipilah, dan otomatis tak dapat dipilih. Maka ketika kau “memproklamirkan” diri sebagai “yang benar” sembari menunjuk aku sebagai pihak “yang salah”, aku diam. Sebab, lagi-lagi berbeda dengan kau, aku tak sepenuhnya punya keyakinan diri.
Kalau saya memilih diam, itu karena sampai hari ini saya masih terus bertanya: siapakah yang benar? Siapakah yang salah? Atau, jangan-jangan kita tak bisa memilah dan memilih di antara keduanya? Bukankah pada saat itu, mungkin, ada sebuah batas yang telah runtuh atau memang batas semacam itu hanyalah sebuah “ilusi” yang diadakan karena ketakutan manusia? Dan asal kau tahu, saya tak ingin menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya ingin terus bermain dalam “arena main-main” yang menggambarkan ketidaksempurnaan manusia itu.
Kalau saya memilih diam, itu karena memang saya tak punya sebuah keyakinan buat menjawab. Sampai hari ini, saya tak ingin memperteguh keyakinan itu sehingga saya bisa menjawab, seperti kau. Ada nuansa keindahan ketika kita—sebagai manusia—bisa mengakui kelemahan dan ketidaksempurnaan kita. Ada sebuah gairah ketika kita terus berada di atas “jembatan” antara “benar” dan “salah”. Bagi saya, itu bukan sebuah sikap ketakutan. Mengatakan ketidakyakinan terhadap diri sendiri, adalah sebuah keberanian justru.
Dan yang disebut sebagai ketakutan itu, sebanarnya, adalah bersembunyi di balik keyakinan terhadap diri sendiri. Ketika keyakinan itu tak cukup kuat, kita merasa perlu memperkuatnya dengan banyak kenaifan-kenaifan. Salah satunya, dengan mencari “lawan” yang bisa diposisikan dengan kita secara diametral. Seolah-olah kita ingin menaruh pembatas antara kita dengan dia supaya posisi-posisi masing-masing menjadi jelas, menjadi tegas. Lalu ketika batas telah ditemukan dan ditegakkan, ketakutan kita sedikit demi sedikit mulai “luntur” dan keyakinan terhadap diri sendiri bertambah. Lalu kita akan bisa “menjawab”. Lalu kita akan keluar dari “arena main-main” yang menggambarkan ketidaksempurnaan manusia.
Saya ingin kau mendengar sebuah kalimat yang sering dikatakan sahabat saya: “Saya percaya tiap orang punya alasan ketika melakukan sesuatu.” Sepintas, kalimat ini biasa dan kedengaran klise. Tapi pernahkah kau berpikir tentang “konsekuensi” kalimat itu? Bagi saya, kalimat itu menyiratkan sebuah ikhtiar buat memahami orang lain. Dengan mengatakan kalimat itu, sahabat saya sebenarnya sedang melakukan sebuah usaha untuk selalu memahami apa yang dilakukan orang lain, meski yang dilakukan itu adalah sesuatu yang “salah”. Kenapa yang “salah” harus dipahami? Sebab “tiap orang punya alasan ketika melakukan sesuatu”. Dan setidaknya, mengetahui hal itu akan membuat kita tak menjadi orang yang mendirikan batas antara diri kita dengan orang lain, dengan sebuah keyakinan yang berapi-api.
Saya tak tahu, adakah kau percaya satu kondisi di mana seorang manusia tak berhak bicara soal “benar” atau “salah”. Ah, soal ini, sebenarnya saya juga tak ingin menjawab.
Haris Firdaus
15 Desember 2006
Komentar