Rumah
kepada R, yang hendak pergi
R, saya tahu, semua orang memang memerlukan rumah. Bukan hanya dalam artian fisik: sebagai tempat berlindung dari terik dan dingin yang menyergap. Tapi juga dalam artian yang lebih luas dan dalam. Rumah bagi seseorang adalah juga tempat berbagi. Ia tak hanya berciri sebuah fisik yang megah dengan balutan arsitektur yang mewah. Tapi juga sebuah ruang di mana kita merasa nyaman menaruh kepala kita sambil memandang ke atas dengan tatapan kosong. Rumah adalah sebuah geografi, di mana napas kita dengan lega bisa kita tarik dan hembuskan berkali-kali, tanpa sesak, tanpa gangguan.
Maka tiap makhluk, terlebih manusia, adalah seseorang atau sesuatu yang memerlukan rumah. Baik ketika hujan turun dengan derasnya, atau cuaca cerah dan pelangi sedang menari di langit. Tanpa pandang bulu terhadap kondisi, seseorang memerlukan rumah. Dalam artian fisik. Terlebih lagi dalam artian yang “melampaui” bentuk fisik. Maka wajar kalau kemudian seseorang melakukan sebuah “pencarian” dalam rangka menemukan rumah. Dalam pencarian itu, ada sebuah proses yang relatif dan tak tentu. Ada kalanya proses itu mudah, singkat, dan menyenangkan. Tapi bagi yang lain, proses itu mungkin saja mirip dengan petualangan yang mendebarkan dengan tiap penggal episode yang mengagetkan.
Orang bisa saja tersenyum dalam proses itu. Tapi ia juga bisa menangis, sambil bersimpuh dan mengepalkan tangan. Bagaimanapun proses itu, pencarian terhadap rumah oleh seseorang pasti dilakukan. Dengan resiko yang kita tahu bakal terjadi. Dengan sebuah pengetahuan bahwa bukan senyum tapi air mata yang akan tumpah. Toh kita tak akan berhenti mencari. Seperti juga kau, R, yang juga tak berhenti dan menyerah.
Saya bayangkan proses pencarian yang kau lakukan adalah sebuah proses yang telah hampir jadi “klasik”. Datang ke sebuah teritori dengan beragam rumah di sana, kau terpukau oleh bangunan yang megah, arsitektur yang menawan hatimu, atau rasa penasaran yang tak terbendung. Dalam umur yang belum sepenuhnya “dewasa”, kau kemudian mengambil sebuah jalan yang mudah: masuki satu per satu rumah itu, lalu cari yang cocok. R, ketika aku datang ke teritori ini, aku juga sedikit mirip denganmu. Ada keterpesonaan. Ada gelora yang menggumpal. Semangat yang menyala. Dan provokasi yang melengkapi semua itu.
Lalu kita terpukau. Lalu kita datangi rumah-rumah itu, satu per satu. Dan rasa penasaran membuat kita pada akhirnya masuk ke dalam deretan bangunan yang tak sepenuhnya kita paham apa isi sebenarnya. Pada awalnya, semangat dan rasa ingin tahu membuat kita bertahan. Aroma semangat yang sama, yang kita lihat pada orang-orang sebaya kita, juga membuat kita tahu atau seakan-akan tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah benar. Lalu kita merasa telah jadi “berbeda”. Lalu kita merasa telah jadi sedikit “hebat” dengan banyak rumah yang kita masuki.
Tapi pada akhirnya kita sadar, di dalam sebuah rumah perlu kenyamanan. Bukan hanya tuntutan dan tanggung jawab saja yang membuat kita berada di sana. Tapi juga sebuah perasaan nyaman, senang, atau tenteram. Pada akhirnya, kita membutuhkan perasaan “cocok” supaya kita bisa bertahan di rumah-rumah itu. Dan dengan sedikit kedewasaan yang telah tumbuh, kita tahu, tak semua rumah memberi kita rasa nyaman. Semua rumah menuntut tanggung jawab. Tapi tak semua memberi semacam “kecocokan” atau “kasih sayang”.
Lalu dalam kondisi-kondisi tertentu, kita akhirnya cenderung pada satu rumah ketimbang rumah yang lain. Kita jadi lebih sering berteduh ke sana, berbaring di sana, dan menumpahkan perasaan di sana. Pada akhirnya, kita tahu, napas kita terasa begitu longgar ketika di sana. Sembari merasakan itu, kita juga kemudian tahu, rumah yang lain mulai jarang kita pikirkan. Bangunan-bangunan itu telah menjelma menjadi “fisik” semata. Kalau pada akhirnya kita memutuskan bertahan di sana, kita akan memperlakukan rumah-rumah itu bukan sebagai “rumah” tapi sebagai “kantor”. Kantor mencerminkan tugas, tanggung jawab, dan tuntutan kerja. Tapi rumah mencerminkan keterikatan. Mencerminkan sebuah ketergantungan. Bukan hanya bangunan itu yang memerlukan kita, tapi kita lah yang juga membutuhkan mereka.
R, kalau kemudian kau menempuh proses yang panjang dalam mencari rumahmu, mungkin itu memang telah jadi pilihan yang digariskan. Kalau kau kemudian memilih berkata jujur bahwa tak semua rumah yang dulu kau masuki menawarkan rasa nyaman, maka pada titik itulah kau akan mengakhiri pencarian itu. Tapi kata-kata jujur sebenarnya tak cukup. Butuh ketegasan. Juga keberanian. Dan agaknya kau memiliki keduanya. Kau paham bahwa tak semua orang di dekatmu akan setuju denganmu. Mungkin mereka akan berkata bahwa kau memang tak menemukan rumah di sini, tapi setidaknya kau bisa “berkantor” di sini. Tapi kau menolak dan memilih sebuah sikap yang tegas: “Saya tak mau ‘berkantor’, saya mau ‘ber-rumah’. Titik.”
R, pada akhirnya memang sebuah pilihan. Dan pilihanmu masuk ke dalam sebuah rumah secara penuh sembari meninggalkan yang lain, tak bisa disalahkan tentu. Tapi kau seharusnya juga tahu, pilihanmu tak selamanya memuaskan orang-orang di dekatmu. Maka wajar kalau ketidaksepahaman dengan pilihanmu muncul. Mungkin saja kau bersikeras. Mungkin saja kau telah tegar dan tidak mungkin goyah. Tapi saya ingin mengatakan, tak apa menoleh kembali ke belakang. Tak apa menarik napas panjang dulu. Sembari berpikir, “Adakah ini tepat?” Tak ada salahnya melakukan itu, berulang kali.
Sukoharjo, 21 Desember 2006
Haris Firdaus
Komentar