Marah
pada mas, mbak
Saya percaya, manusia tak membawa kemarahan sejak lahir. Ia tak dianugerahkan Tuhan layaknya sebuah tubuh bagi manusia. Pada dasarnya, marah adalah sebuah sumbu, sebuah potensi. Tapi kalaupun marah bisa dikatakan sebagai sebuah sumbu, maka ia adalah sumbu yang gampang terbakar. Secuil titik api yang diterbangkan angin, bisa saja membakar sampai habis sumbu itu. Tanpa tersisa. Tanpa pandang bulu.
Marah juga bukan sebuah hal yang “filososfis”, kecuali pada kondisi yang tertentu. Secara umum, marah adalah ekpresi emosional yang “kekanakan” belaka. Ia datang dengan tiba-tiba, tanpa sebuah gejala terlebih dahulu. Dan seperti tadi telah disebutkan: pemicunya bisa jadi hanya setitik. Tapi bagaimanapun juga, yang setitik itu bisa jadi menjelma menjadi kobaran, atau lautan. Itu semua terjadi karena marah adalah sebuah sumbu yang rentan, yang gampang terbakar.
Tapi anehnya, sumbu yang gampang terbakar tadi, ternyata tak gampang dipadamkan. Mungkin karena sumbu itu terus-menerus diperpanjang. Mungkin karena setitik api yang jadi penyebabnya terus-menerus diperbesar, dengan angin, dengan prasangka. Lalu, kobaran api itu jadi sedemikian besar sehingga berpikir untuk memadamkannya pun kita tak bisa. Nalar manusia menjadi tumpul, ketika marah telah ada. Sebab marah—sekali lagi, dalam kondisi kebanyakan—adalah sesuatu yang bertentangan dengan nalar. Tapi mungkin ia juga sesuatu yang justru mengatasi nalar. Cara pikir nalar yang tenang, lambat, dan kadang tak efisien, ditampik oleh emosi yang hendak mencapai jalan pintas. Maka, rasio disingkirkan. Dan sumbu itu masih terus terbakar.
Tapi bukan hanya itu. Sumbu itu akhirnya melahirkan sumbu-sumbu baru. Bibit baru, potensi baru. Mereka seperti makhluk hidup yang mampu beranak-pinak. Dan sumbu-sumbu baru itu, adalah sumbu yang makin rentan. Hembusan hawa panas saja sudah cukup buat mengepulkannya.
Maka, saya bayangkan, ketika kalian mengundang kemarahan pada diri kalian, pada dasarnya kalian menampik nalar. Saya bayangkan masing-masing dari kalian adalah pribadi yang telah punya daftar persoalan yang kompleks. Dan persoalan kompleks itulah yang jadi sumbu. Tapi sebenarnya, apa kaitan persoalan itu dengan kemarahan kalian yang meluap-luap? Apa korelasi antara titik api yang membakar kemarahan kalian sampai tuntas dengan deretan soal yang menumpuk di otak kalian sebenarnya? Adakah korelasi yang bisa diterima nalar?
Saya tak tahu. Itu karena saya tak pernah tahu deretan soal apa saja yang kalian bawa. Bukan saja karena kalian tak pernah cerita. Tapi juga karena bercerita mungkin tak pernah terlintas dalam benak kalian. Saya sepenuhnya tahu, masing-masing kita memiliki dirinya sendiri. Bukan, atau belum saling memiliki. Maka deretan soal yang kalian tumpuk pun menjadi milik pribadi kalian. Umur yang muda dan emosi yang masih saja pada tataran labil, membuat orang-orang seperti kita adalah orang-orang yang memiliki sumbu yang rentan.
Dan hari itu, titik api “tiba-tiba” saja datang. Sebenarnya, titik itu benar-benar sebuah “titik” di antara deretan yang lain: sepele, mudah diselesaikan, dan tak pantas jadi sebuah pemicu kemarahan. Tapi kalian tak menerima titik itu dengan nalar. Tapi dengan emosi yang memburamkan pandangan. Maka angin yang hari itu sebenarnya tak terlampau kencang, meludeskan sumbu hingga puncaknya. Lalu, kemarahan yang besar pun kalian undang sendiri pada diri kalian.
Hingga kini, saya tak tahu adakah api itu sudah reda. Sudahkah sumbu yang memicu api kalian putuskan, saya tak paham.
Cuma, benarkah kedamaian, seperti kata Katon Bagaskara, hanya mungkin di atas awan?
Sukoharjo, 6 Januari 2007
Haris Firdaus
salah satu hal yang saya percayai mengatakan : ketika kamu sedang marah, bila kamu berdiri maka duduklah. jika masih marah, maka berbaringlah. jika masih marah juga, maka berwudhulah. setelah dirumut, dipahami dan dipelajari dari buku yang saya baca, makna itu tidak hanya sekedar menggerakan badan untuk berganti posisi. meredakan marah bukan hanya masalah pergantian posisi badan. tidak hanya sekedar duduk, berdiri, berbaring. tapi LEBIH dari itu… ketika marah, maka berGERAKLah… artinya cari pandangan lain… artinya cari cara bijak untuk mengalihkan marah itu… artinya cari alternatif lain… artinya cari kemungkinan lain yang lebih solutif… (setidaknya jangan sampai membesar masalah). uhm…. mendiamkan suatu masalah karena orang-orang yang marah, untuk beberapa waktu, adalah hal yng bisa diterima. sambil berharap semoga saja semua menyadari kesalahan masing-masing. tapi, mendiamkan untuk waktu lama?? saya rasa itu bukan sesuatu yang bijak.
terima kasih, dee dee tas komentarnya. jujur, saya dalam posisi sulit menghadapi orang-orang terdekat saya yang lagi saling marah. kebanyakan saya bersikap netral dan diam. semoga gak begitu terus ya?
haris