Membuka
untuk tdy
Adakah bagimu, kesepian itu identik dengan kesendirian? Kalau iya, maka mungkin saja kesepian yang kau keluhkan sebenarnya akibat kesendirian yang kau alami. Tapi saya kira tidak. Sebab nyatanya, kau memang tidak pernah sendiri. Di kampus, kau ada bersama kami. Di rumahmu, ada kakak yang juga menemanimu. Berdasar sebuah teori psikologi yang saya baca, kesepian memang tak selamanya identik dengan kesendirian. Seseorang yang kesepian belum tentu karena ia sedang dalam kondisi sendiri, tanpa teman. Sebaliknya, seorang yang sedang sendirian belum tentu merasa kesepian.
Kesepian dan kesendirian memang tak sejajar. Kesendirian adalah sebuah hal yang obyektif, bisa dilihat dan dibuktikan. Sedang kesepian adalah sebuah hal yang interpretatif. Ia merupakan rasa subyektif manusia ketika menghayati sebuah kondisi yang dialaminya. Ia adalah sebuah persepsi, sebuah penafasiran, sebuah perasaan akan suatu kondisi.
Maka wajar kalau kemudian grup musik Dewa menulis sebuah lirik yang mencoba memperlihatkan paradoks antara keduanya: di dalam keramaian aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan engkau. Sepintas, ada paradoks yang muncul dalam penggal lirik itu. Bagaimana mungkin di dalam keramaian seseorang masih bisa merasa “sepi” dan “sendiri”? Kata “sepi” mungkin masih bisa diterima mengingat “sepi”—seperti telah dibahas—adalah sebuah penafsiran. Artinya, kondisi obyektif yang dialami dua orang manusia secara bersama, bisa saja ditafsirkan berbeda. Sama-sama di dalam keramaian, orang bisa merasa menikmati sehingga tak merasa kesepian, tapi bisa juga ia merasa terpencil dalam kerumunan yang begitu besar itu. Hingga, pada akhirnya, ia bisa saja merasa sepi.
Tapi, kata-kata “sendiri” menyimpan paradoks yang sulit buat dipahami. Dalam keramaian, adakah kita bisa merasa “sendiri”? Kalau kita menafsirkan “sendiri” sama dengan “sepi”: sebagai sebuah penafsiran atas suatu kondisi dan bukan kondisi obyektif, maka kita bisa menerima lirik Dewa. Artinya, “sendiri” di sini juga merupakan sebuah perasaan, bukan kondisi real. “Sendiri” di sini tak diukur dengan jumlah orang yang menyertai tapi diukur berdasar penghayatan terhadap kondisi yang dialaminya.Dalam kondisi yang demikian, “sendiri” sama dengan “sepi”.
Saya tak tahu, adakah yang kau alami juga seperti itu. Sebuah kesepian di tengah keramaian, sebuah perasaan “sendiri” di tengah banyak teman. Ataukah, sebenarnya perasaan sepi itu muncul karena orang-orang di sekitarmu tak pernah benar-benar memahami kau? Atau, sebaliknya, kau pun tak benar-benar paham tentang orang-orang yang selama ini kau sebut sebagai “teman”?
Saya ingin bercerita padamu, kalau saya pernah mengalami kondisi yang hampir serupa. Beberapa tahun lalu, saat awal SMA, saya mengalami sebuah kondisi di mana saya sulit bersosialisasi dengan teman-teman se-kelas saya. Mungkin karena latar belakang yang berbeda. Mungkin karena kegemaran dan pemikiran yang berbeda. Di kelas, saat teman-teman saya asyik bercanda, saya seringkali hanya jadi penonton. Melihat mereka yang bernyanyi, bermain gitar, atau saling ejek. Di situlah saya merasakan momen yang dengan tepat digambarkan oleh lirik lagu Dewa: di dalam keramaian aku masih merasa sepi. Saya kesepian karena kerumunan di sekitar saya tak pernah bisa saya “tembus” dengan pribadi saya yang tertutup. Saya kesepian karena meski ada di depan saya, dengan jarak kurang dari 30 meter, kerumunan itu tetap saya rasakan sebagai sebuah bagian yang “berbeda” dengan diri saya.
Jadilah, tahun-tahun awal itu sebagai sebuah masa kesepian buat saya. Saat malam hari, saya seringkali duduk di teras rumah saya sambil memandang ke langit. Sambil minum teh, dan meresapi udara malam, aktivitas itu saya anggap sebagai sebuah “pengusiran” terhadap kesepian. Selain dengan duduk berlama-lama di teras saat malam hari, buku jadi sarana lain buat saya mengusir sepi. Pada tahun-tahun itu, saya mulai keranjingan dengan buku. Buku-buku yang saya sukai waktu itu adalah buku-buku yang kontroversial, terutama tentang pendidikan. Saya ingat pernah punya Sekolah Itu Candu-nya Roem Topatimasang, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah-nya Ivan Illich, dan Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup-nya Andreas Harefa. Saya mulai menghayati buku-buku itu dan menyimpan gagasan tentang pendidikan alternatif dalam hati saja, karena jarang ada teman yang bisa saya ajak “berbagi” soal buku-buku itu.
Buku-buku itu sedikit banyak memberi saya ilham untuk mencari buku-buku yang lain. Ketika membaca Sekolah Itu Candu, saya mendengar sepintas tentang Nietszche, si filsuf yang berteriak-teriak bahwa “Tuhan sudah mati” dan “Ia sudah lama mati”. Meski bertentangan dengan iman saya, saya kemudian mencari buku tentang filsuf itu. Akhirnya beberapa waktu kemudian saya temukan buku St. Sunardi yang diberi catatan akhir oleh Goenawan Mohamad, yang berjudul Nietszche. Begitulah, kesepian itu sedikit demi sedikit tergantikan. Tapi memang tidak dengan sempurna. Juga mungkin tidak lama.
Pada dasarnya, manusia tak pernah cukup berhubungan dengan benda mati saja. Saya yakin kau tahu itu. Pada akhirnya, kita tetap butuh seseorang yang mengerti tentang diri kita. Masalahnya, apakah kita hanya akan menunggu datangnya seorang yang demikian, atau aktif mencarinya? Saya ingatkan, seringkali kita harus “mendahului” agar mendapatkan seorang yang bisa mengerti tentang kita. Berharap bahwa akan turun seseorang dari langit yang akan bisa berteman dengan kita merupakan sebuah harapan yang bodoh. Saya yakin kau tahu itu. Jadi, yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah membuka diri terlebih dahulu sembari memberi kesempatan orang lain mengenal kita. Bukan duduk-duduk di teras. Bukan menjadi kutu yang suntuk pada buku.
Sukoharjo, 24 Januari 2006
Haris Firdaus
kesepian saya…
sedikit banyaknya Haris bener, waktu menganalisis keadaan yg saya alami. memang sih, saya pernah berpikiran konyol tentang seseorang yang jatuh dari langit untuk menjai teman saya. tapi saya sadar seandainya hal itu benar2 terjadi, maka saya adalah manusia yang sangat egois. setelah saya pikir2 lagi ternyata saya belum membutuhkan orang yang bisa mengerti saya. pelajaran yang bisa saya ambilo dari keadaan saya sekarang adalah… ternyata saya butuh diri saya sendiri. kesepian ini ternyata punya tujuan agar saya lebih mengenal diri saya. masalahnya sekarang adalah saya harus menyusun serpihan semangat saya yang hancur. karena keadaan organisasi yang satunya itu beda sama organisasi kita Ris. tapi saya sudah menemukan obatnya kok… beberapa hari yang lalu teman saya curhat masalah kuliahnya. dia tuh mau magang tapi tetep harus kuliah… hal itu yang dia pusingkan. teman saya itu bertanya “apa kamu pikir aku ini cewek yang kuat?” terus aku jawab “iya.” lucu juga sih, sebenernya dia tuh cuma pengin diperhatiin, pengin dikasi semangat.. keadaan yang mirip dengan apa yang saya inginkan. anehnya saat saya menyemangati dia semangat saya juga mulai timbul lagi.. terkadang masalah yang dihadapi oleh tiap manusia hampir sama . tapi penyelesaian yang dipakai berbeda-beda.
ok, thx udah ngasi perhatiannya yah!
syukurlah ketika kita telah menemukan obat atas kesepian kita. syukur juga ketika kita telah mencoba mencari hikmah atas kesepian kita.
trims juga…