Keluar
pada t
Seperti pernah kubilang padamu: persahabatan adalah sebuah permainan. Dalam permainan itu, ada dua peran yang dimainkan: menjadi langit malam dan bintang-bintang. Dua peran itu, akan dimainkan secara bergantian. Terkadang, kita menjadi bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Meski cahaya kita redup dan jauh, namun setidaknya kita tengah melakukan usaha buat menerangi langit malam yang gelap. Pada akhirnya, kita tahu, kita tak pernah mampu menjadi matahari atau bahkan sekedar bulan. Kita hanya mampu menjadi bintang: sebuah benda yang punya cahaya mandiri tapi redup oleh jauhnya ruang.
Lalu, pergantian posisi akan dilakukan. Kita berganti peran menjadi langit malam yang gelap, murung, dan sedikit menakutkan. Namun sahabat kita yang menjadi bintang kemudian datang. Dengan cahaya redup tapi indah, sedikit tapi tulus. Dan kita, sebagai langit malam yang gelap, akan sedikit terhibur oleh cahaya yang remang itu, oleh setitik terang di antara kegelapan kita. Pada akhirnya, kita juga sadar, bukan banyak sedikitnya cahaya yang kita butuhkan, tapi seberapa besar cinta yang direpresentasikan oleh cahaya itu.
Begitulah persahabatan. Sebuah permainan melingkar di mana aktornya saling berpindah posisi. Setelah sekian lama, persahabatan pada akhirnya akan menjadi sebuah permainan yang gampang ditebak. Dan kita tak akan lagi kikuk memainkan dua peran itu. Refleks kita lama-kelamaan makin jadi cepat: ketika sahabat kita menjadi langit malam, secara bawah sadar kita akan menjelma jadi bintang. Sebuah proses yang agaknya sangat mudah jadi bagian dari diri kita sehari-hari.
Tapi, suatu saat kita bisa saja keluar dari permainan itu. Entah karena persoalan A atau persoalan C. Pada akhirnya kita akan jadi manusia biasa: seorang penonton yang melihat bintang dan langit malam dari kejauhan. Seorang manusia, meski ia ingin, tak dapat mencapai keduanya. Bintang yang bersinar setitik, dan kegelapan langit yang luas, barangkali hanya akan jadi mimpi. Juga sebuah permainan yang enak ditonton.
Dan, saya pernah bilang padamu: ada rasa lega, ada rasa tenang, semacam pengetahuan yang datang dari pengamatan yang jauh, ketika kita—sebagai manusia yang penonton—tahu bahwa permainan itu masih berjalan. Akhirnya kita tahu, keseimbangan permainan itu ternyata tak terganggu ketika kita pergi, atau dikeluarkan. Buktinya, permainan pembagian peran itu masih jalan. Masih ada yang menjadi langit malam, masih ada yang menjadi bintang. Dan rotasi peran itu, saya yakin juga jadi hal yang konstan: terus jalan meski dengan sebuah aturan yang mungkin tak terlampau persis.
Cuma, bisakah posisi seseorang digantikan secara persis oleh orang yang lain? Saya kira tidak. Seseorang hanya bisa mengganti tubuh, mengganjal ruang fisik kosong yang ditinggalkan, atau menjadi penyeimbang permainan itu, tapi tidak secara persis. Ia bisa lebih baik. Ia bisa lebih buruk. Atau mungkin, bukan ukuran itu yang dipakai. Kita cukup mengatakan bahwa mereka “berbeda” tanpa harus menerapkan standar “moral”. Tubuh bisa ditukar. Ruang kosong bisa diisi. Tapi hati punya urusan yang lain.
Sebab bahkan tubuh saja tak bisa diganti secara persis. Ruang fisik pun akhirnya berjalan di antara dua ukuran: terlampau besar atau terlampau kecil. Persis menjadi hal yang sulit. Bahkan dalam urusan yang sifatnya fisik murni. Maka, hati jelas berbeda. Perilaku jelas beda. Dan akhirnya, cahaya juga berbeda. Mungkin lebih terang. Atau lebih redup. Tapi mungkin kita juga cukup mengatakan “berbeda” bukan “lebih” atau “kurang”. Maka, permainan itu akan jadi sesuatu yang beda—sekali lagi tanpa standar yang saling “menaklukkan”.
Yang berbeda, pada akhirnya yang kita tonton sekarang. Apapun bedanya, kita tetap akan lega bahwa permainan itu tak berhenti. Tetap jalan meski mengambil bentuk yang mungkin berbeda, dengan rotasi yang juga berbeda.
Cuma, mungkin tetap akan ada pertanyaan. Barangkali, perpindahan dari posisi “pemain” menjadi “penonton” akan mengundang kekecewaan. Akan memancing tanda tanya besar. Atau barangkali ada rasa tak puas yang kita rasakan dalam perpindahan posisi itu—yang harus saya akui sebagai “sangat kontras”. Apalagi ketika sebuah proses yang menghantar kita ke sana adalah sebuah proses yang penuh dengan “diam”. Tak banyak sebab yang bisa kita cari. Tak banyak alasan yang bisa kita temukan. Tahu-tahu, kita telah menemukan diri kita berpindah posisi. Tahu-tahu, kita telah bisa melihat bintang dan langit malam di atas kepala kita.
Tapi mungkin saja kata “tahu-tahu” sebenarnya tak tepat. Sebab tentu saja ada awalan yang mengawali. Tapi apa awalan itu, itu yang mungkin sampai sekarang tak pernah kita tahu. Pendeknya, kita akhirnya menerima posisi itu karena merasa kita tak pernah bisa menolaknya, bukan karena kita ingin menerimanya. Tapi toh penerimaan pada akhirnya adalah sebuah proses yang di dalam waktu, yang otomatis bisa terbentuk dengan sebuah proses.
Dan lagi, bukankah hidup, seperti katamu, “hanyalah masalah menerima dan melepaskan. Kadang kita tidak sadar betapa kita telah banyak menerima hingga tiba-tiba kita sadar bahwa sudah waktunya harus melepas semua yang kita terima.”
Mungkin saja kau benar. Tapi bukankah menyakitkan ketika kita harus melepas semua yang kita terima, tanpa alasan?
Sukoharjo, 6 Februari 2006
Haris Firdaus
entah sejak kapan aku menemukan kata ‘diam’. tiba2 saja kata itu terasa sangat ampuh dalam menghadapi segala masalah. tapi rupanya sikap itu justru yang mengantar kita keluar dari area langit.
oya, yang pasti, jangan pernah mencoba memikirkan apa yang tak kau sanggup pikirkan. dan jangan pernah berharap banyak pada apa yang tak pernah kau sentuh. jadi, biar celah ini kita susuri saja dengan cara yang penuh kebetulan.
yup. mungkin celah tu yang lebih baik. dan kebetulan terkadang lebih membuka kemungkinan.