Sinetron dan Sastra
(Dari Peluncuran Pawon Edisi 2)
Akhirnya Buletin Sastra Pawon bisa kembali terbit. Setelah pada peluncurannya Januari lalu banyak pihak yang pesimis dengan terbitan ini, Pawon akhirnya mendapat dukungan yang cukup banyak. Dana yang ada di kantong redaksi saat ini bahkan cukup untuk menerbitkan dua sampai tiga edisi lagi. Tentu ini tak lepas dari sambutan terhadap Pawon dari beberapa pihak baik di Solo (sebagai kota kelahiran Pawon) maupun pihak di luar Solo.
Pawon edisi ke-2 diluncurkan pada Jumat 23 Februari kemarin. Bertempat di Balai Padmosusastro, acara itu diisi dengan diskusi bebas dengan tema ”Sastra, Sinetron, dan Lokalitas”. Namanya saja “diskusi bebas”, maka diskusi yang digelar kemarin memang benar-benar bebas dalam artian banyak peserta yang ngomong di luar tema yang semestinya.
Diskusi dimulai dengan lontaran dari Yunanto Sutyastomo tentang simbiosis antara sastra dan film ataupun sinetron. Menurutnya, ada beberapa karya sastra yang dibuat filmnya namun mengalami “pengkhianatan” karena filmnya ternyata tidak sesuai dengan ruh dari karya yang bersangkutan. Taruhlah misalnya Roro Mendut-nya YB Mangunwijaya yang difilmkan namun sama sekali tidak sesuai dengan misi novelnya sehingga konon Romo Mangun sempat kecewa atas visualisasi Roro Mendut dalam film. Demikian pula dengan Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.
Keharusan film berbicara dalam bahasa yang “pop” agar laku, mungkin yang membuat film yang merupakan terjemahan dari karya sastra tidak mampu menghadirkan karya itu dalam kerangka idealisme si sastrawan. Harus ada semacam transformasi dari bahasa teks yang cenderung “sulit” dan “kurang menghibur” ke dalam bahasa visual yang celakanya masih dianggap harus “pop” dan mudah dimengerti serta menghibur. Maka sinetron ataupun film dari novel yang “sulit” tentu saja tidak bisa ikut-ikutan menjadi “sulit” selain tentu saja faktor sineas yang mungkin tidak mampu menerjemahkan karya sastra secara baik.
Namun sejarah mencatat Badai Pastai Berlalu-nya Marga T yang sukses difilmkan oleh Teguh Karya. Bahkan film itu kini dibuat ulang dengan bintang-bintang muda dan setting yang berbeda. Pembuatan ulang Film Badai Pasti Berlalu diikuti dengan cetak ulang novelnya yang kini harganya “melambung”. Ini mungkin bisa dilihat sebagai sebuah keuntungan bagi karya sastra karena dengan diterjemahkan ke film, karya tersebut berhasil terangkat namanya juga.
Tapi dalam hal ini, ada dua masalah sebenarnya. Pertama, banyak yang menganggap novel-novel Marga T termasuk Badai Pasti Berlalu adalah novel pop dan bukan sastra. Meski pembagian yang demikian sebenarnya polemis, namun ke-pop-an sebuah karangan tentu saja membuat sebuah karya mungkin mencapai khalayak yang lebih luas dari pada bila karya tersebut masuk dalam kategori sastra. Maka, bisa jadi muncul pemikiran bahwa keberhasilan Badai Pasti Berlalu baik film maupun novelnya adalah karena ia masuk dalam genre pop sehingga lebih mudah dipahami dan lebih bisa menghibur secara sederhana.
Kedua, penerbitan sebuah buku yang berkaitan dengan film tertentu bersamaan dengan diputarnya film itu, sebenarnya merupakan strategi pasar saja untuk makin memperluas pasar film itu. Di sini yang terjadi adalah semacam trend di mana para pembaca buku itu penasaran dengan buku yang difilmkan atau terkait dengan film tertentu hingga akhirnya tergerak untuk membelinya. Pembelian dan pembacaan buku-buku itu akan membuat seseorang makin dekat dengan film yang bersangkutan atau makin terlibat secara emosional.
Bila dikaitkan dengan fenomena cetak ulang Badai Pasti Berlalu, maka cetak ulang ini bisa jadi merupakan salah satu sarana promosi yang efektif buat filmnya.
Hal ini juga terjadi dengan Buku Aku-nya Sumandjaja yang laku ketika Ada Apa dengan Cinta meledak. Kita tahu, buku itu adalah buku yang sering dibaca Rangga—si pria kesepian yang ganteng itu. Demikian pula ketika GIE diputar, maka banyak karya Soe Hok Gie—terutama Catatan Seorang Demonstran—dicetak ulang.
Pada dasarnya ini merupakan sebuah strategi agar pasar makin akrab dengan simbol-simbol tertentu dari sebuah film. Ketika pasar makin akrab dan menghayati simbol-simbol itu, maka film pasti akan dengan mudah dijual. Ini sebenarnya rumus sederhana marketing yang hadir dalam selubung yang sulit untuk ditelanjangi.
Kembali ke diskusi Peluncuran Pawon edisi 2. Setelah lontaran Yunanto, banyak peserta yang kemudian menanggapi tapi kebanyakan pula melenceng dari tema. Persoalan tentang dampak buruk sinetron tampaknya justru menguasai diskusi malam itu. Bahkan diskusi kemudian berkembang ke persoalan dampak televisi, pasar yang jadi raja dalam sinetron, kapitalisme televisi, sampai ke pemberontakan buat menghadapi kondisi yang demikian. Diskusi yang melenceng ini, sebenarnya mengulang diskui lama tentang bagaimana tidak mendidiknya sinetron-sinetron kita yang hanya menghadirkan cinta dalam artian picisan, kekayaan yang kadang tak logis, dan hubungan keluarga yang penuh konflik.
Yang jelas, perdebatan soal “haram” tidaknya televisi buat ditonton juga jadi perdebatan. Yunanto mengatakan lebih baik televisi tidak ditonton saja karena berdampak buruk. Ini tentu mengikuti ajakan Sunardian Wirodono yang mengajak “Matikan TV-mu!” dalam buku yang berjudul Matikan TV-Mu. Namun seorang peserta diskusi lain berpendapat berbeda. Menurutnya, televisi adalah barang netral sehingga bisa diisi apa saja. Jadi, tingga perbaikan manajemen yang diperlukan supaya televisi kita kembali ke fungsi sosialnya yaitu pendidikan dan kontrol sosial. Lagi pula, tayangan televisi tak melulu sinetron atau infotainment yang berdampak negatif tapi juga tayangan-tayangan yang fungsi edukatifnya tinggi.
Akhirnya, ketika jam telah menunjuk 22.30 WIB, diskusi dihentikan. Saya dan beberapa yang lain memilih pulang. Beberapa kawan lain tampaknya masih tinggal untuk melanjutkan diskusi lagi. Oya, saya lupa mengatakan bahwa soal “lokalitas” yang juga jadi bagian dari tema diskusi malam itu tak disentuh sama sekali. Entah karena lupa atau karena diskusi kemarin memang “diskusi bebas”.
Sukoharjo, 24 Februari 2007
Haris Firdaus
Komentar