Membaca Teman
kepada: f
Apa arti seorang teman bagi kita? Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengirim ke saya sebuah puisi tentang ”teman baik”. Puisinya adalah puisi dengan kalimat yang mudah, tidak gelap, dan dia mungkin memang tidak menginginkan puisi yang gelap atau sulit. Baginya, puisi adalah sebuah pengungkapan rasa. Entahlah, apa model berpuisi yang seperti ini akan dicap ”kuno” atau mengulang ”estetika jaman dulu”.
Tapi membuat puisi mungkin tak harus selalu merupakan kerja ”berdarah-darah”. Ia bisa dilakukan dengan garah bermain atau gairah yang tak sungguh-sungguh sekalipun. Dan berpuisi, bisa jadi bukan kerja dengan waktu yang sungguh-sungguh disiapkan. Ia bisa merupakan kerja di waktu senggang.
Hasan Asphani, Pemimpin Redaksi Puisi,net(sebuah majalah elektronik puisi), membuat enam tahap dalam mengakrabi puisi. Saya sudah lupa tahap apa saja. Tapi, kalau tidak salah, orang yang membuat puisi ”hanya” untuk melepaskan perasaan dan dalam waktu yang tak sungguh-sungguh, barangkali masuk ke tahapan pertama. Tapi, apa salahnya?
Ya, tak ada yang salah barangkali. Setiap puisi adalah kata hati yang tak bisa ditolak. Maka, puisi kawan saya yang berjudul ”Seorang Teman Baik” adalah puisi yang juga wajib diapresiasi. Apalagi kalimat-kalimat kawan saya itu menggelitik, penuh humor, dan cerdas. Perhatikan bait pertama puisi itu:
Sewaktu kita duduk di taman kanak-
kanak, kita
berpikir kalau seorang
teman yang baik adalah teman yang
meminjamkan
krayon warna merah
ketika yang ada hanyalah krayon warna
hitam.
Dengan cerdas, kawan saya memainkan kata untuk menggambarkan betapa naifnya “definisi teman” menurut kita, dulu di jaman kita duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Sebuah ungkapan yang lucu dan sedikit “menelanjangi” masa kecil kita. Ya, masa kecil adalah masa di mana arti pertemanan memang dibentuk dari hal sepele: alat tulis, buku, permen, dan lain sebagainya.
Permainan cerdas penuh humor itu juga dilanjutkan dalam beberapa bait ke depan:
Di sekolah dasar, kita lalu menemukan
bahwa
seorang teman yang baik
adalah teman yang mau menemani kita ke
toilet,
menggandeng tangan kita
sepanjang koridor menuju kelas,
membagi makan
siangnya dengan kita
ketika kita lupa membawanya.
Di sekolah lanjutan pertama, kita
punya ide kalau
seorang teman yang
baik adalah teman yang mau
menyontekkan PR-nya
pada kita, pergi
bersama ke pesta dan menemani kita
makan siang.
Di SMA, kita merasa kalau seorang
teman yang baik
adalah teman yang
mengajak kita mengendarai mobil
barunya,
meyakinkan orang tua kita
kalau kita boleh pulang malam sedikit,
mau
mendengar kisah sedih saat
kita putus dari pacar,
Tiga bait ini menandakan sebuah perkembangan kepribadian yang kontras dari masa kanak, masa remaja awal, hingga masa transisi menuju dewasa. Perhatikan kalimat-kalimat seperti “menemani kita ke toilet”, “menggandeng tangan kita sepanjang koridor menuju kelas”, “membagi makan siangnya dengan kita ketika kita lupa membawanya”. Betapa “kecilnya” hal itu jika kita menilainya dengan kaca mata orang dewasa. Sekarang mungkin kita tidak perlu seorang pun untuk “menemani kita ke toilet” atau “menggandeng tangan kita sepanjang koridor kelas”, apalagi “membagi makan siangnya dengan kita”. Tapi betapa “kecilnya” hal-hal seperti itu, di masa kanak-kanak kita, mereka adalah pembentuk sebuah ikatan yang membuat kita merasa nyaman.
Dan perhatikan pula bait-bait yang menggambarkan masa SMP dan SMA. Dua bait itu, sama seperti bait sebelumnya, hadir dengan kecerdasan dan ketelitian memilih kalimat. Hal-hal yang membentuk arti pertemanan, dalam bait-bait SMP dan SMA sedikit demi sedikit mulai bergeser ke hal-hal yang lebih “besar”: mengajak pesta, menyontek PR, mengajak makan siang, mengajak naik mobil, meyakinkan orang tua kita agar bisa pulang malam, dan mendengar kisah sedih saat kita putus dari pacar.
Saya merasa ada semacam pergeseran dalam kalimat “mendengar kisah sedih saat putus dari pacar”. Bagi saya, kalimat itu menandakan bahwa arti pertemanan mulai tak dibentuk oleh hal-hal yang sifatnya “fisik”. Kalimat “mendengar kisah sedih saat putus dari pacar” adalah kalimat pertama yang menghadirkan “kebutuhan perasaan” dalam pertemanan.
Selanjutnya, kawan saya itu mulai menghadirkan persoalan “perasaan” dalam pertemanan:
Di masa berikutnya, kita melihat kalau
seorang
teman yang baik adalah
teman yang selalu ada terutama di saat-
saat sulit
kita, membuat kita
merasa aman melalui masa-masa seperti
apapun,
meyakinkan kita kalau
kita akan lulus dalam ujian sidang
sarjana kita.
Ya, lihat kalimat “selalu ada terutama di saat-saat sedih kita”. Fungsi teman ternyata mulai dianggap bergeser ke hal-hal yang sepenuhnya berkait dengan kenyamanan perasaan kita. Ini tentu bisa kita cocokkan dengan kondisi sekarang. Benarkah perasaan dan kenyamanan adalah faktor utama yang menentukan arti sebuah teman? Kata “selalu” mungkin saja hiperbolis. Sebab tak ada orang yang bisa “selalu” menyertai kita di saat-saat sedih kita. Tapi begitulah puisi, ia menarik karena ada hiperbola, ia dihargai karena mengekstremkan kenyataan. Maka, “selalu ada terutama di saat-saat sedih kita” adalah sebuah kalimat yang sebenarnya klise, tapi akhirnya harus kita akui kebenarannya. Orang yang tak mengaku jujur di hadapan klise hanyalah orang yang takut dianggap “tidak orisinal”.
Bait terakhir puisi ini adalah bait yang “mengharukan”. Saya tak ingin membahasnya, karena bait yang panjang ini memang bukan untuk dibahas, tapi dihayati:
Dan seiring berjalannya waktu
kehidupan, kita
menemukan kalau seorang
teman yang baik adalah teman yang
selalu memberi
kita dua pilihan yang
baik, merangkul kita ketika kita
menghadapi
masalah yang menakutkan,
membantu kita bertahan menghadapi
orang-orang yang
hanya mau mengambil
keuntungan dari kita, menegur ketika
kita
melalaikan sesuatu,
mengingatkan ketika kita lupa,
membantu
meningkatkan percaya diri
kita, menolong kita untuk menjadi
seseorang yang
lebih baik, dan
terlebih lagi… menerima diri kita
apa adanya…
Membaca bait yang “manis” ini, saya hanya ingin mengucap ke kawan saya itu: TERIMA KASIH.
Sukoharjo, 30 Maret 2007
Haris Firdaus
Komentar