Mengurung Waktu
kepada: A
Ketika berbicara tentang hubungan dan kenangan, saya teringat pada Humam. Ia sosok yang aneh bagi saya. Saya bertemu dengannya dalam Khotbah Di Atas Bukit, novel terkenalnya Kuntowijoyo. Humam seorang yang tinggal sendirian di bukit, dan hidup dengan prinsip dan filsafat yang aneh.
Ia seorang yang ingin hidup bebas. Dan bebas berarti melepaskan segala yang ia punyai. Sebab, seperti katanya, “Kesendirian adalah hakekat kita.” Dan, “Semua sudah kulepaskan.” Maka, ia pun hidup sendiri, tanpa sanak, istri, atau anak. Kerjanya sehari-hari bisa dibilang tak tentu. Hidupnya ringan, bisa mengalir ke mana pun. Dan ia puas.
Sebabnya, ia telah melepas segala keinginan, harapan atau cita-cita. Baginya, semua itu adalah siksaan. Maka, tak heran ia punya prinsip bahwa “kesenangan itu tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.”
Saya bayangkan ia adalah seorang yang telah menghapus masa lalu. Baik atau buruk, senang atau sedih. Ia bebas, tidak terikat pada apapun. Termasuk pada kenangan. Tapi, bisakah Humam hidup jika ia benar-benar di dunia ini? Humam, toh hanya sebuah karakter fiksi. Dan tiap karakter fiksi, memang kebanyakan berlebihan dalam memaknai hidup. Mereka adalah orang-orang yang ekstrem. Entah ke kanan atau ke kiri.
Maka, saya tak percaya pada Humam, setidaknya sampai sekarang. Sebab, toh saya bukan karakter fiksi yang bisa hidup dengan filsafat yang aneh-aneh atau prinsip yang enak dibaca tapi absurd bila dijalankan. Maka, tak seperti Humam, saya memerlukan kenangan. Dan saya akan merawatnya.
Bagi saya, merawat kenangan adalah dengan menuliskannya. Sebab, tiap kita menulis, sebenarnya kita sedang melakukan sebuah ikhtiar untuk mengurung waktu. Meski kita tahu, tulisan kita tak pernah benar-benar menghentikan waktu, pada akhirnya. Tapi setidaknya, membaca tulisan tentang masa lalu akan membuat jeda dari waktu yang sedang berjalan. Jeda itu tidak lama memang. Tapi bagi saya, cukup bisa membahagiakan untuk kita.
A, bagi saya, kenangan adalah sesuatu yang mesti dihargai. Terutama kenangan tentang sahabat. Maka saya menulis ini untukmu. Sebuah penghargaan terhadap kenangan dan persahabatan. Keinginan untuk membuat tulisan ini sebenarnya muncul ketika membaca kartu ucapan yang kau kirim tempo hari. Sebuah tuturan yang sederhana, A. Tapi, saya tahu, kartu ucapan itu—sebagaimana tulisan ini pula—sebenarnya sebuah usaha untuk mengurung waktu pula. Sebuah usaha untuk mengingatkan: betapa pentingnya hubungan, juga sahabat.
Yang menarik adalah ucapan dalam kartu itu, A, ternyata berlawanan dengan prinsip hidup Humam. Kalau Humam menafikan segala hubungan, maka ucapan dalam kartumu memujanya. Bagi Humam, tiap hubungan termasuk cinta adalah sebuah kurungan bagi kebebasan, tapi dalam kartu ucapanmu, hubungan adalah sebuah “kebahagiaan yang tak terperikan”. Dan logika Humam pun dibalik oleh kartu ucapan yang kau kirimkan: kebahagiaan ternyata bisa bertambah atau berkurang.
Saya percaya itu. Entahlah, bila Humam benar, maka mungkin saya memang belum menemukan kebahagiaan yang sejati. Tapi, buat apa dipikirkan siapa yang benar? Toh, tiap orang menemukan kebahagiaan dan kesedihan masing-masing. Dan saya beruntung memiliki sahabat buat membagi keduanya. Termasuk kau.
A, baru kemarin saya membaca tulisan Chaterine Siswoyo di Suara Merdeka (18/3). Chaterine adalah seorang Indonesia yang belajar di Amerika Serikat. Tiap minggu di Suara Merdeka, ia menulis sebuah tulisan tentang pengalaman apa saja yang ia alami di sana. Hari Minggu lalu ia menulis begini: “Kadang aku lupa, sebenarnya dengan cuman tahu ada orang yang peduli sama kita, ternyata can make us feel good about ourselves…”
Dari bahasa gaulnya Chaterine, kita tahu ia bukan seorang filsuf ala Humam yang mengasingkan diri di bukit. Chaterine adalah manusia yang sama persis seperti kita: mengalami kompleksnya hidup, terimpit masalah yang kadang bikin keluar air mata, dan banyak lagi, dan banyak lagi. Maka, tuturan sederhana Chaterine tentu bukan sebuah pelajaran filsafat yang berat. Ia cuma tuturan ringan dari seorang yang benar-benar hidup.
Maka, saya memilih percaya pada Chaterine: dengan hanya tahu ada orang yang peduli sama diri kita, sebenarnya cukup untuk membikin kita merasa baik tentang diri kita. Penekannanya di sini, adalah pada hubungan sosial, bukan kesendirian. A, saya juga hampir lupa tentang hal itu. Tapi kartu ucapanmu kemarin membuat ingatan itu kembali. Jadi, terima kasih.
Sukoharjo, 19 Maret 2007
Haris Firdaus
Komentar