Pengkaplingan Ruang dalam Penciptaan Puisi
Pengkaplingan Ruang dalam Penciptaan Puisi.
Salah satu persoalan yang masih menggelisahkan bagi saya terkait dengan puisi, adalah masalah “ruang” dalam penciptaan puisi. Persoalan ini muncul ketika saya mengikuti diskusi tentang sebuah antologi puisi yang diluncurkan baru-baru ini di Solo. Saat itu, persoalan ruang dalam penciptaan puisi menjadi sebuah polemik karena ada yang beranggapan bahwa puisi-puisi dalam antologi yang sedang diluncurkan itu, tak beranjak dari ruang yang telah “dipakai” oleh para penyair terdahulu. Akibat persoalan ini, puisi-puisi yang terangkum dalam antologi itu, menjadi mandek dan tidak mengalami kemajuan maupun pembaruan.
Seorang penyair yang hadir saat itu kemudian memberikan tanggapan atas persoalan ini: menurutnya, ruang dalam penciptaan puisi di Indonesia memang sudah habis. Semua ruang yang mungkin untuk menciptakan puisi telah dipakai oleh para penyair terdahulu. Mau memakai ruang A, sudah ada yang memakai. Mau pakai ruang B dan seterusnya, sudah pula ada yang memiliki. Jadi, dengan nada geram dan sedikit pesimis, penyair itu mengajukan sebuah pertanyaan: ruang apalagi yang mungkin dalam penciptaan puisi?
Mendengar “retorika” di atas, saya sedikit bingung. Sebab, ketika menyimak obrolan seperti itu, saya membayangkan bahwa ruang kreatif dalam penciptaan puisi (mungkin juga bentuk sastra yang lain) ternyata telah dikapling oleh para penyair Indonesia dari jaman baheula sampai yang dianggap “posmodern”. Dan akibat pengkaplingan ini, semua ruang kreatif telah habis dan penyair yang hidup sekarang tak mungkin lagi menemukan sebuah ruang yang benar-benar baru, atau lebih parahnya lagi, ia tak akan dianggap menemukan dan memiliki ruang sendiri. Bagi saya, ini sebuah bayangan yang menakutkan.
Sebab, bila kesimpulan seperti itu benar atau dianggap benar, alangkah malangnya nasib para penyair yang hidup di era sekarang! Mereka telah diklaim tak akan menemukan sebuah ruang yang orisinil lagi dalam penciptaan puisi mereka. Yang lebih parah, adalah nasib para calon penyair: belum berkarya pun mereka sudah divonis tak akan mampu menemukan sebuah ruang baru sehingga karya-karya mereka (yang belum lagi diciptakan) akan dianggap mengambil ruang atau bagian dari ruang yang telah dikapling oleh para penyair terdahulu.
Tapi yang menyedihkan adalah sebuah kenyataan bahwa kesimpulan seperti ini muncul bukan dari sebuah penelitian yang kritis atas berbagai karya penyair Indonesia. Kesimpulan yang hiperbolis dan seram ini muncul mungkin hanya dari pemikiran selintas saja dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ya, siapa yang telah melakukan studi atas semua karya penyair Indonesia—minimal yang dianggap merupakan tonggak-tonggak perpuisian Indonesia—dan kemudian menganalisis ruang apa saja yang telah dipakai mereka? Lalu kalau sudah begitu, apakah sudah ada pula sebuah studi yang mengeksplorasi ruang-ruang apa saja yang mungkin buat dipakai dalam penciptaan puisi? Lalu, kalaupun sudah ada, pernahkah ada pembandingan yang jujur atas dua studi yang saya pertanyakan di atas? Selama hal seperti ini belum dilakukan, apakah adil membuat sebuah kesimpulan yang menyatakan “ruang penciptaan puisi di Indonesia telah habis”?
Yang juga menjadi sebuah kegelisahan bagi saya adalah apakah ketika seseorang hendak membuat puisi, ia benar-benar harus “memikirkan” ruang mana yang hendak ia pakai, dengan sadar? Apakah seorang yang berhasrat jadi penyair harus pula mempelajari sejarah sastra Indonesia dan mengetahui dengan pasti ruang apa saja yang telah dipakai oleh para penyair terdahulu sehingga ia bisa terhindar dari “kesalahan” memakai ruang kreatif yang telah dipakai? Apakah berdosa bila ada seseorang yang menulis sederet kalimat dalam sebuah kertas kemudian ia menyebutnya sebagai puisi, tanpa berpikir dan tahu soal ruang kreatif dan tetek bengek lainnya?
Tapi, lebih dari itu, benarkah ada pengkaplingan ruang kreatif dalam penciptaan puisi? Kalau iya, siapa yang melakukan pengkaplingan itu? Penyair sendiri atau “kritikus”? Benarkah ruang-ruang kreatif sajak-sajak protes, misalnya, telah dipatenkan menjadi milik Wiji Tuhukul—atau mungkin Taufik Ismail—semata sehingga tak boleh ada penyair lain yang menggarapnya? Atau kalaupun boleh, apakah adil menganggap para penyair yang menggarap sajak protes setelah Wiji Thukul “hanya” sebagai kelanjutan semata dari apa yang telah dicapai Thukul? Benarkah ruang kreatif dalam penciptaan puisi seorang penyair bisa diringkas dalam kategori-kategori tertentu?
Seorang kawan pernah membuat sebuah skema terhadap alur perpuisian lirik di Indonesia. Alur ini adalah: Chairil Anwar – Goenawan Mohamad – Sapardi Djoko Damono – Abdul Hadi WM – Afrizal Malna – Joko Pinurbo – Dorothea Rosa Herliany. Saya tak tahu sampai seberapa jauh penelitian kawan saya itu terhadap perpuisian Indonesia. Tapi melihat kapasitas intelektualnya, saya berharap ia telah melakukan penelitian yang cukup mendalam sehingga bisa mengambil kesimpulan seperti itu.
Yang mungkin menggelisahkan bagi para penyair—tapi tidak bagi seorang “kritikus” sastra Indonesia—adalah bahwa kebanyakan karya mereka tidak dianggap sama sekali dalam kancah perpuisian lirik di Indonesia, bila melihat kesimpulan kawan saya ini. Hanya ada tujuh orang sejak jaman munculnya Chairil Anwar sampai sekarang yang dianggap benar-benar memiliki kapasitas sebagai “pembaharu” puisi lirik di Indonesia. Bagi dunia akademik, ini tentu bukan masalah—selama kesimpulan ini benar dan bisa diuji. Tapi bagi para penyair?
Mungkin saja itu jadi masalah. Tapi mungkin saja juga tidak bila mengingat penyair belum tentu berlaku sebagai orang yang mencari pengakuan sebagai “pembaharu” atau “tonggak penting” puisi Indonesia. Saya selalu membayangkan seorang penyair adalah orang yang belum tentu ambil peduli terhadap tetek bengek dunia penilaian sastra Indonesia sekarang—yang kata Saut Situmorang belum bisa dianggap sebagai kritik sastra.
Saya jadi ingat satu hal yang menarik ketika membaca tulisan Kurnia Effendi tentang sebuah diskusi membedah kumpulan puisi Gus Tf Sakai. Dalam diskusi itu, terjadi perdebatan seru antara dua Nirwan (Nirwan Dewanto dan Nirwan Ahmad Arsuka) tentang puisi-puisi Gus Tf. Tapi yang lucu, berdasar reportase Kurnia Effendi, Gus Tf hanya “senyum-seyum saja” melihat perdebatan itu. Seolah ia sebagai penyair, tak perlu ikut atau tak perlu ambil peduli terhadap perdebatan dua Nirwan yang sering dianggap ahli sastra Indonesia jaman sekarang itu. Padahal, dibanding dua Nirwan, bukankah seharusnya Gus Tf lebih paham soal puisinya sendiri sehingga ia bisa saja ikut dalam perdebatan itu? Ataukah doktrin bahwa penyair atau sastrawan tidak boleh membedah karyanya sendiri masih berlaku?
Saya tidak beranggapan bahwa penilaian dan evaluasi atas karya sastra tidak diperlukan, meski mungkin seorang sastrawan tidak wajib menghiraukannya . Tapi dalam melakukan penilaian dan evaluasi—atau mungkin lazim disebut sebagai krtik sastra—bukankah sudah wajar bila harus menyertakan argumetasi, kalau perlu yang ilmiah? Jika evaluasi dan penilaian atas sebuah karya sastra hanya berdasar omongan sepintas lalu saja, maka mungkin penilaian seperti itu yang seharusnya mendapat penilaian ulang.
Sukoharjo, 2 Maret 2007
Haris Firdaus
Komentar