Kritik
pada: dek sum
Mungkin kita harus berbicara soal kritik. Eh, bukan mungkin, tapi harus. Kau tahu kenapa? Sebab akhir-akhir ini kita tak pernah mampu melepaskan diri dari yang namanya kritik. Kehidupan yang mengelilingi ternyata membuat kita bertemu dan harus berhadapan dengan benda yang disebut kritik.
Perjumpaan dengan kritik, adalah sebuah perjumpaan yang istimewa. Kau tahu, perjumpaan itu adalah sebuah perjumpaan yang mendewasakan. Sebuah perjumpaan yang akan menambah stok kesabaran, juga pengertian. Dalam posisi yang bagaimanapun, perjumpaan dengan kritik adalah sebuah perjumpaan yang membuat kita lebih dewasa.
Dan hari itu, saat kau emosi, aku tahu kau setingkat lebih dewasa. Kau benar, barangkali seorang yang mengritik tak pernah bisa menempatkan dirinya dalam posisi orang yang ia kritik. Kau juga benar, mungkin, karena ia tak pernah mampu menempatkan diri dalam posisi orang yang ia kritik, maka ia berani melakukan kritik dengan pedas. Seolah, ia yang melakukan kritik, bebbas dari kesalahan.
Tapi, seperti yang kubilang kemudian: adakah seseorang yang sebenarnya bisa menempatkan dirinya secara persis dalam posisi orang lain? Bisakah demikian? Bukankah pada dasarnya seseorang adalah sebuah pribadi yang unik, kompleks, dan selamanya susah ditafsirkan dan didefinisikan? Bukankah diri, jiwa, dan kepribadian, pada dasarnya sebuah misteri, sebuah tanda tanya, sebuah lubang yang dasarnya tak pernah kita ketahui di mana letaknya?
Jadi, saya percaya, tak ada orang yang pernah benar-benar bisa menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, secara persis. Kita tak pernah benar-benar mengerti. Kita hanya mencoba buat memahami, buat mengerti. Dalam posisi itu, kita hanya menafsir: sebuah kegiatan memandang dunia luar menggunakan cara pandang kita. Dunia luar, termasuk pribadi kawan kita yang coba kita mengerti, pada dasarnya tetap sebuah misteri. Cuma penafsiran kita atasnya yang akan kita dapat. Cuma itu, barangkali.
Maka, konsekuensi dari ”kita tak bisa menempatkan diri kita pada posisi orang lain secara persis”, adalah bila orang lain salah berdasar tafsir kita, maka kita harus melakukan kritik. Termasuk kebalikannya: bila kita dikritik, tak seharusnya kita berkata, ”Kau tak bisa menempatkan dirimu pada posisiku.” Tak seharusnya berlaku demikian.
Pada dasarnya, kritik dilakukan atas dasar sebuah tafsir: sesuatu yang subyektif dan belum tentu benar. Maka, yang harus dilakukan ada dua. Pertama, memverifikasi apa kritik itu pada tempatnya. Kedua, mengambil tindakan atas kritik itu. Bila kritik itu memang sesuai dan pada tempatnya, maka sebaiknya tindak lanjut atas kritik mesti dilakukan. Tentu saja, semampu kita. Berdasar kemampuan dan pemahaman kita. Untuk itu, sebenarnya diperlukan kritik terus-menerus untuk mengingatkan kita, untuk membuat kita tersadar atas kesalahan kita.
Selanjutnya, yang perlu kita pahami adalah seseorang yang melakukan kritik, bukan berarti tak pernah salah. Kalau kita berkata bahwa ”seseorang yang melakukan kritik hendaknya merupakan orang yang lebih baik daripada yang dikrtik”, maka sebenarnya kita sedang mempermiskin kritik. Betapa sulitnya melakukan kritik kalau hal itu diberlakukan. Pada dasarnya, seorang yang melakukan kritik secara tulus, menyadari bahwa ia juga tak luput dari kesalahan, bahkan mungkin ikut menyumbang dalam kesalahan.
Tapi keputusannya melakukan kritik dilandasi pemikiran bahwa tiap manusia memerlukan sebuah kritik. Tak ada orang yang senantiasa baik. Maka, ia memerlukan pengingatan, kritik, dan kecaman. Pada posisi itu, orang yang melakukan kritik adalah orang yang memberi perhatian pada siapa yang ia kritik.
Jadi, kalau kau hari itu emosi atas kritik, maka saya berharap itu sebuah tahap menuju kedewasaan. Saya berharap itu adalah sebuah fase di mana kau akan menuju sebuah tahapan manusia yang lebih bisa mengerti, lebih bisa memahami.
Saya tak menyalahkanmu atas emosi. Emosi adalah sbeuah dinamika, sebuah perkembangan yang pasti terjadi. Maka, mengekang dan mengharamkannya muncul dalam situasi apapun, itu berarti menghalangi sesuatu yang sehat terjadi. Bukan begitu?
Sukoharjo, 6 April 2007
Haris Firdaus
Komentar