Hidup yang Terampas
pada: dek sum
Seorang kawan baru saja bercerita pada saya tentang hidupnya yang “terampas”. Mendengar kalimat ini, sebagian kita mungkin bilang, “Halah….kok terlalu didramatisir.” Tapi barangkali kawan saya itu memang sedikit “drama” ketika membicarakan persoalan itu pada saya. Dan kalau mendengar lanjutan ceritanya, kita lagi-lagi mungkin sepakat menjuluki kawan saya itu sebagai seorang yang terlampau ”melankolis” yang akhirnya ”mendramatisir” segala hal.
Sebab, sesuatu yang telah ”merampas” hidupnya bukanlah sesuatu yang gawat. Ya, yang oleh kawan saya itu dianggap ”merampas” hidupnya adalah sebuah organisasi. Cuma organisasi? Kok bisa merampas hidup? Apa organisasinya itu semacam organisasi rahasia yang mewajibkan pengikutnya berperilaku aneh dan menyumbang infak? Ah, ternyata tidak pula. Organisasi yang telah ”merampas” hidup kawan saya itu cuma sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di kampus saya. Bukan sebuah organisasi besar, tentu.
Tapi organisasi itu ”merampas” hidup kawan saya. Dan kita tak selamanya bisa memberi cap kawan saya itu sebagai ”drama”. Ceritanya begini: kawan saya itu menganggap hampir sebagian waktu, pikiran, dan tenaganya ia curahkan (atau dipaksa curahkan) ke organisasi itu. Pada suatu titik, kawan saya merasa capek dan amat lelah. Lalu, suatu saat ia merasakan bahwa ia telah kehilangan ”kesenangan”. Maksudnya begini: kawan saya itu sekarang hampir-hampir tak bisa merasakan ”kesenangan” saat melakukan sesuatu yang dulu amat disukainya. Misalnya, kawan saya itu menyukai ice cream. Dulu, ia amat suka memakan ice cream, betapapun bagi orang lain kegiatan ini adalah sesuatu yang biasa saja. Tapi sekarang, saat ia memakan ice cream, ia tak lagi merasakan kesenangan atau kenikmatan lagi.
Kenapa? Sebab hampir-hampir pikirannya selalu tertuju pada organisasinya itu. Memang organisasinya adalah sebuah organisasi yang memiliki banyak agenda, kegiatan, dan juga banyak masalah. Dan kalau daftar panjang masalah itu dijejer, mungkin Jalan Slamet Riyadi di Solo tak akan sanggup menampungnya (metafora ini berlebihan!). Maka, kawan saya itu pun merasa selalu (dan terus-menerus) harus berpikir tentang organisasinya itu. Pada titik inilah, fokusnya ke persoalan hidupnya yang lain menjadi hilang. Kenikmatan-kenikmatan yang dulu disukainya kini tak lagi bisa diraskannya. Hobi-hobinya dulu kini tak bisa lagi membuatnya merasa ”menikmati hidup”. Maka, dengan pede, ia berucap: ”Hidupku seperti telah terampas, Mas.”
Saya serba bingung menanggapi ceritanya. Di satu sisi, saya sepakat bahwa tak ada sesuatu pun yang boleh merampas hidup pribadi seseorang. Tapi di sisi lain, organisasi yang telah dianggap “merampas” hidup kawan saya itu adalah juga organisasi saya. Saya punya kewajiban memertahankan keberadaan organisasi itu. Saya sempat berpikiran kawan saya itu terlalu “mendramatisir” persoalan yang ia hadapi. Tapi mungkin cara berpikir ini tak adil. Sebab, saya tak pernah benar-benar merasakan apa yang ia rasakan.
Akhirnya, saya mengatakan, “Perasaan bahwa organisasi itu telah merampas hidupmu itu bisa muncul karena kau belum menikmati proses dalam organisasi itu. Artinya, kau masih merasa terpaksa ketika berada di organisasi itu.” Sebuah perkataan yang terlampau bijaksana buat seorang seperti saya. Sebab, saya pun kadang masih merasa terpaksa berada di organisasi itu. Tapi, dalam kondisi demikian, perkataan yang “terlampau bijaksana” mungkin diperlukan pula. Saya hanya tak ingin kawan saya itu menyalahkan organisasinya terlampau banyak dan akhirnya memilih keluar. Benar bahwa organisasi (yang tak bisa memberi gaji itu) telah menyita banyak waktu dan pikirannya. Benar bahwa organisasi itu telah membuat fokus perhatiannya pada persoalan lain sedikit terganggu. Tapi, kalau saja kita bisa menganggap berproses di organisasi itu sebagai “hobi” yang mendatangkan “kenikmatan”, bukankah persoalannya akan menjadi lain?
Saya menulis ini semata-mata karena saya adalah bagian dari organisasi yang dianggap “merampas” hidup kawan saya itu. Mungkin saja saya egois: terlampau mementingkan organisasi itu ketimbang kawan saya. Tapi, saya ingin menyodorkan fakta lain: bukan hanya kawan saya itu yang tersita waktu dan pikirannya di organisasi itu. Banyak kawan lain yang mengalami hal serupa. Tapi, cuma kawan saya yang bilang hidupnya “dirampas”. Maka, yang ingin saya lakukan sebenarnya adalah membuat kawan saya itu bisa menikmati proses dalam organisasi kami itu dan akhirnya ia tak akan berpikiran bahwa organisasi itu “merampas” hidupnya.
Tapi, perjalanan ke arah itu adalah perjalanan yang jauh. Membuat sebuah lingkungan nyaman buat kawan kita membutuhkan kerja dobel: merubah lingkungannya, dan merubah kawan kita pula. Atau, saya terlampau “drama” pula?
Sukoharjo, 26 Mei 2007
Haris Firdaus
Komentar