Untunglah Kita Tak Setegar Batu Karang
pada: kaw
Saya ingin berbicara tentang sebuah perumpamaan yang “agak jadul”: batu karang dan manusia. Hampir sebagian dari kita pernah mendengar dua kata itu disanding bersama: manusia bukanlah benda setegar batu karang. Saya ingin mengulangi bercerita soal itu, semata-mata karena kau.
Kau tahu, apa perbedaan batu karang dan manusia, bukan? Batu karang adalah sebuah dnding kokoh yang kasar tapi kuat, kotor tapi menakjubkan. Manusia? Sebuah dinding daging yang lentur, sebuah perbatasan yang gampang ditembus. Maka, kita semua tahu, ada perbedaan yang mencolok antar keduanya: daging dan dinding kokoh, perbatasan yang rapuh dan semcam benteng yang tegar.
Tapi, ada pula beda yang lain, sebuah beda yang tak berusurusan dengan “dinding”. Batu karang, oleh karena letaknya di laut, hampir selalu terkena ombak. Dihempas, disentuh, dipukul, dijilati, atau diapakan lagi oleh air laut yang asin, yang memerihkan. Singkatnya, batu karang adalah sebuah benda kokoh yang terus dicoba, terus dihempas, dan pada akhirnya akan rapuh juga. Buknakah sudah jamak pula kita dengar: air laut yang mengalahkan batu karang?
Maka, yang kokoh, yang tegar, yang berdinding tebal, ketika terus-menerus disentuh dengan tempaan ringan yang ajeg, pada akhirnya akan kalah. Di sini kita mesti tahu sebab kemenangan air laut: keajegan dan perbaruan. Air laut datang dengan ajeg, rutin, pada waktu yang hampir tanpa jeda. Juga, perbaruan yang terus-menerus. Air yang datang pastilah air dengan sebuah kebaruan: volume, kadar garam, dan sebagainya.
Tapi batu karang tak memiliki keduanya. Ia adalah makhluk yang statis. Sebuah makhluk kuat yang ditakdirkan untuk terus-menerus melemah. Sebaliknya, air laut adalah makhluk “lemah” yang bisa memmerkuat diri dan balik menghempas si kuat. Air laut adalah benda yang berangsur kuat.
Tapi manusia? Manusia bukan batu karang. Juga tak sama persis dengan air laut. Tapi kalau disuruh memilih, saya akan lebih senang menjadi air laut. Sebab air laut adalah “si lemah” yang memenangkan pertarungan dengan perbaruan, keajegan, dan juga semacam persatuan: air laut yang sedikit tentu tak bisa menang, tapi air laut yang bersatu adalah kekuatanm yang paling dahsyat.
Maka, saya ingin menjadi air laut yang terus-menerus memerbarui diri dalam “pertarungan”. Bukan seperti batu karang yang dikaruniai tubuh kokoh tapi statis. Tubuh batu karang adalah tubuh yang memenjarakan, tubuh yang meringkus kita dalam sebuah kategori yang telah pasti. Dan, bukankah kepastian adalah sebuah siksaan?
Saya menulis ini, karena beberapa waktu lalu kita berbincang soal batu karang. Saya masih ingat ketika kau bilang, “Aku memang tak setegar batu karang.” Ya, manusia memang tak dikaruniai tubuh yang tegar, jiwa kokoh, atau kebijaksanaan yang berlimpah ketika dihadapkan pada masalah. Tapi, tahukah kau, manusia punya potensi yang sama dengan air laut: dinamis, mampu menjelma menjadi wujud yang lebih baru, lebih baik, dan punya semngat yang ajeg.
Seharusnya, kita mengatakan, “Untunglah kita tak setegar batu karang.” Sebab batu karang adalah sebuah ketegaran yang memenjara. Seseorang yang terus-menerus tegar dalam menghadapi masalah adalah seorang yang telah terpenjara, seseorang yang tak diberi kesempatan untuk memerbarui diri. Jadi, kita yang menangis, kita yang mengeluh begitu banyak, kita yang jatuh dan sempat berpikir tentang putus asa, adalah kita yang juga punya kesempatan memerbarui diri.
Dalam perbaruan diri itu, kita seharusnya menghimpun kembali semangat, mengumpulkan lagi tenaga yang tercecer, menarik napas panjang-panjang, dan bersiap menghadapi “pertarungan” itu. Seperti air laut yang kembali ke asalnya setelah ia tak bisa menghancurkan batu karang yang disentuhnya. Tapi di asalnya, air laut menhimpun segenap kebaruan, menghimpun segenap potensi, lalu datang kembali, memasuki arena pertarungan. Kemudian, ia akan kembali bertarung. Dan ketika tahu ia kalah, ia kembali lagi ke asalnya, menghimpun kebaruan lagi, dan kembali ke arena pertarungan. Di sini, kita tahu: air laut punya semangat yang ajeg diperbarui.
Cuma, yang harus kita ingat, perbaruan adalah sebuah kesempatan, sebuah peluang, sesuatu yang mesti diambil dengan susah payah. Kalau kita tak mampu menggamit kesempatan itu, maka nasib kita lebih parah dari batu karang: kita yang akan statis dalam kelemahan.
Jujur, saya tak ingin kau seperti itu.
Sukoharjo, 4 Mei 2007
Haris Firdaus
Komentar