Membaca Hamka: Membaca Gelora Cinta
Ada banyak nama penulis novel di Indonesia yang “abadi”. Dari sekian nama mereka yang masih kita ingat sampai sekarang, nama Hamka tentu patut disebut. Terutama karena dua novelnya yang mendapat sambutan yang luar biasa: Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (TKVW) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (DBLK). Sampai tahun 2005, TKVW telah mengalami cetak ulang sebanyak 29 kali. Sedangkan DBLK, sampai tahun yang sama, telah dicetak ulang sebanyak 30 kali.
Tentu kita tahu, selain dikenal luas sebagai penulis sastra, Hamka juga seorang ulama, ahli tafsir Al-Qur’an, serta aktivis Muhammadiyah. Seabrek kegiatan pengarang yang lahir pada 1908 ini didekasikan buat dakwah Islam. Tapi yang unik, Islam tak hadir secara nyata dalam dua karya Hamka yang saya sebut di atas. Nilai-nilai Islam justru hadir secara implisit, tersembunyi, dan kerap kali sulit dikenali. Ayat-ayat Al-Qur’an hampir tak saya temui secara langsung. Penggunaan kata “Islam” pun bisa dikatakan jarang, termasuk dalam DBLK yang ber-setting Arab sewaktu masa haji.
Justru yang hadir dan menjadi tema besar dalam dua karya besar itu adalah “cinta”. Bagi saya pribadi, TKVW dan DBLK memiliki jalinan cerita yang hampir mirip: cinta dan segala problematikanya. Yang membikin saya penasaran, Hamka menghadirkan “cinta” dengan sangat mendayu-dayu, melankolis, romantis, dan hampir-hampir tanpa pertimbangan yang logis. Cinta dalam karya Hamka adalah cinta yang melulu ideal, cinta yang punya kekuatan yang begitu besar, dan cinta yang mungkin bisa dikatakan “agung”.
Betapa tidak, dalam dua karyanya Hamka melukis tokoh-tokohnya sebagai orang yang sangat amat membutuhkan cinta. Sehingga ketika cinta telah hilang, tokoh-tokoh itu hampir-hampir kehilangan hidup. Semangat yang ada tak lagi tumbuh, tubuh fisik tak terurus, air mata mengalir sewaktu-waktu, dan kenangan pada orang yang dicintai sangat sulit hilang atau malah tak mungkin. Begitulah gambaran orang yang putus cinta dalam TKVW dan DBLK.
Simak, misalnya, kutipan surat Hayati pada Zainudin dalam TKVW berikut:
Ke mana lagi tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dariku, Zainuddin. Apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!
Atau ucapan Zainab tentang Hamid dalam DBLK berikut:
Senantiasa dia saya ratapi, masih hidupkah dia atau telah mati. Tiap-tiap kali saya baca suratnya, tiap-tiap kali terbuka di dalam tiap-tiap kalimat dan hurufnya, bahwa ia pun cinta kepada saya. Wahai, mengapa dahulunya sebelum ia pergi ia tak memberi tahu! Sekarang ke manakah balasan akan saya berikan, ke mana alamat akan saya tujukan!
Apa yang kita dapati dari kutipan itu? Sebuah ratapan atas cinta yang hilang yang begitu melankolis, sangat mendayu, dan sangat menyentuh. Tapi bisa saja kita mengatakan kutipan itu tak beda jauh dengan cakap-cakap sinetron-sinetron kita yang bercerita soal cinta. Bukankah acap kali kita temukan dialog-dialog puitis tentang ratapan cinta yang tak kalah mendayu, tak kalah romantis, dengan karya Hamka?
Tentu saja, kalaupun ada kemiripan, kita tak bisa menyalahkan Hamka. Saya menduga Hamka masih terpengaruh pada kesusatraan lama yang mengagungkan kepuitisan, melankoli, dan masih berpikir tentang cinta yang begitu ideal. Justru kalau ada sinetron atau karya sastra yang masih menggunakan ungkapan-ungkapan ala Hamka di atas, maka kita bisa kita bilang: “Duh, jadul banget sih!”
Tapi di luar persoalan itu, kepuitisan dan melankoli yang saya temukan dalam TKVW dan DBLK tetap menimbulkan keheranan tersendiri dalam hati saya. Kenapa saya heran? Ya, karena sosok Hamka yang sebenarnya juga seorang ulama. Melihat sosok ulama, saya sering membayangkan mereka adalah seorang yang hampir-hampir tak menaruh perhatian pada apa yang namanya cinta, apalagi cinta yang belum dilandasi pernikahan. Jadi, melihat karya Hamka yang menampilkan cinta yang mendayu-dayu dan tanpa pertimbangan logis, saya jelas terheran-heran.
Memang ketika membuat karya itu Hamka masih muda dan mungkin belum bisa dikatakan sebagai ulama. Ia masih muda, dan kita mungkin menebak bahwa jiwa muda Hamka memang begitu mendayu-dayu sehingga lahirlah karya itu. Cuma, yang perlu diingat, sejak muda dan belum mengarang TKVW dan DBLK pun Hamka telah mendalami ilmu agama. Dan biasanya, para pemuda yang mendalami ilmu agama tidak memiliki jiwa yang mendayu-dayu. Lihat misalnya karya beberapa penulis muda Islam saat ini yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP).
Meski terkadang mereka cukup sering berbicara soal cinta, tapi kalau kita bandingkan karya mereka dengan karya Hamka, akan sangat terasa jauhnya dalam berpandangan soal cinta. Dalam Ayat-Ayat Cinta, misalnya, cinta hadir dalam kurungan sangkar logika dan syariat Islam. Cinta hadir dalam nuansa yang elegan, tertahan, tidak bebas, dan sama sekali tidak mendayu-dayu. Habiburahman El Shirazy—pengarang Ayat-Ayat Cinta—bahkan berkali-kali menegaskan bahwa pertimbangan logika adalah sangat perlu dalam memutuskan persoalan cinta antar lawan jenis.
Ini terlihat ketika Fahri—tokoh utama novel itu—yang sebenarnya mencintai Nurul, akhirnya memilih menerima “perjodohan” yang dilakukan gurunya. Ketika Fahri menerima Aisha, perempuan keturunan Mesir yang menjadi pilihan gurunya sebagai calon istri, hatinya sebenarnya masih tertambat pada Nurul: kawannya yang sama-sama dari Indonesia. Bahkan ketika Fahri tahu bahwa Nurul juga mencintai dan ingin menikah dengan dirinya, ia tetap memilih menikah dengan perempuan keturunan Mesir yang terlanjur ia janji nikahi. Fahri tak ingin mempermalukan gurunya yang telah menjodohkannya. Maka, ia mengorbankan perasaan sendiri dan memilih logika sebagai penyelesaian.
Bahkan ketika ia telah menikah dan Nurul berkirim surat padanya menyatakan cinta secara mendayu-dayu, Fahri mendinginkannya dengan pertimbangan logika dan ayat-ayat Al-Qur’an. Akhirnya, diceritakan Nurul juga menikah dengan sahabat Fahri dan percintaan mereka tamat sudah. Hubungan keduanya tetap baik meski telah sama-sama menikah. Sebuah penyelesaian yang begitu logis, dan dingin. Bayangkan misalnya Hamka yang harus menulis Ayat-Ayat Cinta. Mungkin ia akan membuat Fahri lari dari pernikahan yang telah ia janjikan lalu menikah dengan Nurul: “cinta sucinya”. Atau sekurang-kurangnya, Fahri akan dibikin menderita karena ia terpaksa menikah dengan orang yang belum ia cintai.
Cinta dalam pandangan Habiburahman memang sesuatu yang tak harus mendayu. Ia sesuatu yang perlu pemikiran logis, dan mesti dibingkai dalam aturan agama. Pandangan macam ini juga dianut oleh sebagian besar penulis FLP lain. Cinta dalam karya mereka selalu hadir tidak dengan wujud yang meledak-ledak. Cinta bahkan kadang dihadirkan dengan tertib, dan kehilangan “api”nya.
Tapi bagi Hamka, cinta mungkin begitu hebat. Seperti perkataan Zainuddin pada Hayati berikut:
Janjimu, bahwa jasmani dan rohanimu, telah dipatrikan oleh kasih cinta dengan daku, adalah modalku yang paling mahal. Biarlah dunia ini karam, biarlah alam ini gelap, biarlah…biarlah seluruh manusia melengongkan mukanya ke tempat lain bila bertemu dengan aku, biarlah segenap kebencian memenuhi hati insan terhadap kepada diriku, dan saya menjadi tumpahan kejemuan hati manusia, namun saya tak merasa berat menanggungkan itu semuanya, sebab kau telah bersedi
a untukku.
Sukoharjo, 18 Juni 2007
Haris Firdaus
penggemar hamka yah, heheh..jadi inget jaman sekol dulu deh..di suruh ngapal nama2 pengarang sastra terkenal indonesia pasti selalu lupa deh..tp mang karya Hamka patut di acungin banyak jempol, walopun seorang ulama, tapi ulama yg nge Indonesia banget..
btw, ni postingan terakhir pada bulan juni kemaren..walah lama juga yakk 😀
yah, lumyan menggemari. hamka tubagus ya?
oo, barusan saya posting tulisan lagi. akhir2 ni lagi sulit menemukan waktu nulis. maklum, lagi magang. he2.
qowim dari banyuwangi.
saya seorang pengagum hamka, sehingga saya berkali-kali meneliti karya-karyanya. karna memang saya seorang akademisi sastra dan bahasa.
itulah kepiawaian hamka.ia mengimplisitkan islam. dengan itu, justru membuat karya-karyanya menjadi luarbiasa dan fenomenal. tidak hanya orang muslim yang membaca dan menyukainya, orang agama lainpun juga sangat suka.di bali saja “Di bawah lindungan kabah” kini sudah diterjemahkan dalam bahasa bali. sungguh luar biasa, padahal tentu karya itu akan dibaca oleh orang hindu. hasilnya, banyak yang mengatakan hamka luar biasa, padahal mereka beragama hindu jua.
banyak orang hindu yang setelah membaca karya hamka mengatakan kepada saya “Tuhan menciptakan cinta manusia, jauh sebelum manusia diciptakan, yaitu di lauhul mahpudz”
mereka menerima itu dan meyakininya, walaupun itu sebetulnya ajaran islam, dan ia umat hindu. dengan kata lain, tidak ada yang merasa digurui oleh karya hamka. justru mereka percaya apa yang ada didalam karyanya, yaitu islam yang implisit.
hal ini berbeda dengan karya habiburahman yang mengungkapkan islam pulgar, otoriter, dan terkesan menggurui.
saya pernah mensurvei orang hindu di bali. mereka hampir semua tidak suka dengan ayat-ayat cinta. “saya orang hindu, tidak mungkin membaca itu” katanya kepada saya.kalangan santri jawa timur pun banyak yang tidak suka. mereka mengatakan “seolah habiburahman itu sedang menggurui orang yang bodoh. jadi, hanya orang bodoh saja yang suka karya mereka. ilmu yang diajari kyai saya, jauh lebih bijak dan banyak”
lantas saya bertanya, di mana kesamaan habiburahman dengan hamka? karna saya mendengar, habib dijuluki hamka kecil. mungkin hamka kecil ketika masih belum bisa baca.
sebab, bahasa yang digunakan, tehnik penceritaan, dan ruh karyanya jauh berbeda.
membaca karya hamka seperti mengunduh mutiara dari langit. sampai saat ini saya belum menemukan seorang sastrawan seperti hamka,maka jangan sekali-kali mengatakan ada yang mirip hamka. saya sangat setuju dengan anda, kalau kalau ada waktu kirim-kirim email kepada saya barang membicarakan sastra dan bahasa, termasuk hamka yang saya kagumi.email; mh.qowim@yahoo.co.id
Saya salah seorang pengagum Hamka, dua novel itu menguras air mata saya ketika SMU sekitar 10 tahun yang lalu. Ehem, saya juga pernah patah hati. (waktu itu) dan ya tambah meresapi, tokh nasib saya tak semalang Zainuddin.