Akankah Kau Menikahi Filsafat?
pada: fms
Hari itu, Romo, ketika saya bertemu kau, kenapa suaramu parau? Apakah sebelumnya, malam atau hari sebelumnya, kau terlalu banyak marah atau berteriak? Ah, saya rasa tak demikian. Sebab, yang saya tahu, kau bukan seorang yang suka marah. Kalau berteriak, masih mungkin. Sebab, saat saya bertemu kau hari itu, kau juga tetap berusaha berteriak. Tapi bukan dalam nada marah. Sebaliknya, dalam nada sejuk yang bersemangat.
Sekali lagi, Romo, kau ingatkan kami tentang sesuatu yang sebenarnya telah demikian lama diperingatkan, oleh berbagai macam orang: guru, ulama, presiden, dan sebagainya. Di podium itu, dengan baju batik, dan sepatu sandal yang dipadu dengan kaos kaki, dengan gagah kau berpidato tentang kemajemukan. Kau berkata tentang pendidikan Katolik yang menguatkan identitas yang “bukan Katolik”.
Saya, pada awalnya, tak terkejut dengan ungkapan itu. Seolah, untuk orang yang seperti kau, pendapat yang berbau “pluralisme” itu, adalah pendapat yang sudah jamak. Tapi, beberapa jam kemudian, saat saya men-search namamu lewat google, saya terkejut. Namamu ada dalam sebuah artikel dan di sana kau disebut “menolak pluralisme”. Ah, saya bukan seorang ahli Romo. Malas benar rasanya berdebat tentang sebuah kata yang tak kunjung punya arti yang tetap itu: pluralisme.
Jadi, dalam tulisan ini, saya tak terlampu berhasrat mendatangi kau dengan pikiran-pikiran yang berat. Hari ini, Romo, ketika saya menulis ini, saya ingin mendatangi kau secara pribadi.
Barangkali kau terkejut, Romo. Siapakah saya sehingga berani benar mengatakan, “ingin mendatangimu secara pribadi.” Iya, Romo, saya mengaku: saya tak mengenal kau secara langsung, apalagi akrab. Kau juga tak pernah tahu siapa saya. Tapi hari itu, ketika di ruang besar dengan suhu begitu dingin itu saya bertemu kau, saya mengucap pelan dalam hati: saya akan menulis tentang kau, Romo.
Sekali lagi, bukan tentang pemikiranmu, Romo. Sudah terlampau banyak orang, terlampau banyak artikel dan esei yang mengulas pemikiranmu. Murid-muridmu kini jadi cendekiawan-cendekiawan hebat yang tulisannya menghiasi media massa. Mereka, tentu, jauh lebih fasih berbicara tentang bagaimana sebenarnya kau berpikir atau memandang pokok soal.
Saya hanya ingin bercakap-cakap tentang rambutmu yang putih kelabu itu. Rambut yang menandakan ketuaanmu. Rambut yang juga menandakan: kau bukan bagian dari bangsa kami yang “pribumi”. Tapi, ah, siapa peduli, Romo? Kau begitu dekat dengan kami. Kau begitu memahami seluk-beluk kami, hingga mungkin melebihi kami. Ah, keberadaanmu mungkin adalah sebuah paradoks: betapa keaslian adalah sebuah hal yang kadang tak perlu.
Saya hanya ingin bertanya, kenapa saat kau hadir dalam acara yang “wah” itu, kau membawa sebuah tas kain warna putih? Sebuah tas yang teramat sederhana, hingga mata saya beberapa lama tak berkedip menatapnya. Juga, sepatu sandalmu yang begitu sederhana. Kontras dengan karpet biru yang tergelar di ruangan itu. Kontras dengan sepatu pantofel para pejabat, para dosen, dan orang-orang lainnya.
Ah, Romo, ini klise: sebuah tampilan sederhana dari seorang tokoh kharismatik. Bukankah itu sudah banyak dibahas? Tapi, sungguh, saya terpaksa mengulang soal itu lagi. Lagi-lagi kau mengekalkan mitos itu: seorang pemikir yang sederhana, dan sedikit “menampik” dunia.
Maaf, Romo, terpaksa saya katakan kau sedikit “menampik” dunia. Sebab, sebagaimana seorang Romo yang normal, kau memang menolak menikah. Juga, memilih tak memuaskan berbagai kesenangan lain. Tapi, yang lucu, kau malah berkata,”Untunglah saya tak berkeluarga.”
Kenapa? “Sebab gaji dosen cuma sedikit,” katamu. Tentu saya tertawa, Romo. Sebuah humor yang satire. Entah, saya mesti menertawakan bagian yang mana: soal kau yang tak berkeluarga, atau soal gaji dosen yang sedikit. Tapi, barangkali, keduanya lucu.
Barangkali pula, hidup adalah sesuatu yang lucu, Romo. Sebuah proses yang kadang melelahkan, menggetirkan, dan membuat kita menangis, kelak akan kita pandang dengan santai. Atau, malah dengan ketawa. Yah, sesuatu yang menjengkelkan hari ini, akan terasa beda ketika hal itu telah lampau.
Romo, akankah “hukum” itu berlaku selamanya? Akankah musibah akan jadi komedi lain kali? Barangkali tidak. Sebab, akankah kita menertawakan kematian Munir, pengeboman di Bali, dan pembunuhan di Palestina?
Romo, akankah kau akan menikah dengan filsafat? Akankah ilmu itu yang akan kau gauli selamanya?
Semarang, 22 Juli 2007
Haris Firdaus
kunjungan balik mu “memaksaku” buat membaca postingan ini sampai selesai. it’s all about romo magnis kah? saya kagum dengan kesederhanaannya dan prinsip jawa yang dianutnya: ning donyo mung mampir ngombe…
alow, alow. makasih dah baca habis posting ku ini. sebuah pesan dan surat, mngkn utk frans magnis. ak baru ketemu dia sekali. tapi, spt ku bilang: langsung ingn menulis ttg dia.
alow, alow. makasih dah baca habis posting ku ini. sebuah pesan dan surat, mngkn utk frans magnis. ak baru ketemu dia sekali. tapi, spt ku bilang: langsung ingn menulis ttg dia.
jujur aku belum tau siapa beliau, salam yah buat mbah Romo..
Romo Mangun wijaya ya? Saya suka novelnya burung-burung manyar. Oh, tidak saya menebak Romo Magnis Suseno, yayayayaya.
Mantaapp,, Saya suka banget bacanya.. Gimanaa gitu bawaannya. Hehe
Ditunggu post selanjutnya