Semarang dan Kuburan Seni
Di kota ini, orang yang berkesenian mungkin seperti orang gila.
Uh, mungkin saja kalimat itu berlebihan. Sebuah pesimisme yang diruapkan dari sana agak terlalu mendramatisir persoalan yang sebenarnya terjadi. Tapi, barangkali, seseorang yang sedang bingung dan sedikit kecewa memang seringkali mendramatisir suatu pokok soal.
Kawan saya, yang mengucapkan itu, seorang pegiat sastra di Semarang. Ia belum lagi jadi sastrawan besar, atau penulis yang karyanya menghiasi media massa. Tapi, bagi saya, dia adalah seorang “pegiat sastra” yang sebenarnya. Kawan saya itu, namanya Adin, adalah seorang penanggung jawab sebuah buletin sastra di Semarang: Hysteria.
Bukan sebuah media yang prestisius tentu. Cuma sebuah buletin dengan ukuran setengah kertas kwarto yang dicetak 500 biji tiap kali terbit. Hysteria dijual seribu perak, sama dengan harga es teh di Semarang. Isi buletin itu tak banyak: beberapa puisi, segelintir esei, satu cerpen, beberapa biji iklan, dan sekian deret agenda seni di Semarang dan sekitarnya. Hysteria yang terbit sejak 2004 itu, sampai bulan ini masih terbit tiap bulan.
Dananya? Dari penjualan buletin yang juga disirkulasikan ke kota lain: Solo, Yogya, Jakarta. Selain itu, tentu dari iklan. Sebuah kerja sederhana, atau remeh bagi sebagian sastrawan yang sudah melambung. Tapi kerja Adin dan kawan-kawan juga bisa dimaknai sebagai sebuah kerja yang “heroik”.
Hysteria adalah sebuah media alternatif bagi sosialisasi karya sastra, selain banyak media lain. Sebagai media amatir, tentu penulis yang karyanya masuk ke buletin itu tak dibayar. Buletin itu sendiri, kata Adin, muncul dari sebuah kegelisahan atas kondisi sastra di Semarang yang ia dan kawan-kawannya anggap memprihatinkan.
Memprihatinkan? Tunggu-tunggu. Bukankah di kota itu ada nama Triyanto Triwikromo? Juga, S Prasetyo Utomo? Atau, bukankah Semarang punya Suara Merdeka? Sebuah koran daerah Jawa Tengah yang rubrik sastranya prestisius?
Iya, sih. Tapi, kata Adin, di Semarang, dulu kegiatan sastra sangat sepi. Kemunculan penulis-penulis muda juga sangat jarang. Minat para generasi muda kota itu pada sastra, konon, sangat rendah. Maka, Hysteria kemudian hadir. Bukan untuk merombak kondisi itu secara total, saya kira. Tapi, buat sekedar memunculkan riak dan sedikit gelombang (kalau mungkin) dalam kondisi sastra di Semarang.
Hysteria dikelola oleh beberapa mahasiswa Fakultas Satra Universitas Diponegoro. Selain menerbitkan buletin, mereka juga mengadakan acara lain: diskusi, lawatan puisi ke kota lain, atau yang terbaru mereka hendak membuka sebuah warung nasi kucing yang bakal jadi tempat alternatif diskusi bagi penggemar seni.
Buletin itu kini sudah tiga tahun. Edisi yang terakhir, Juli ini, bernomor 48. Sebuah jumlah yang tak bisa dianggap sedikit, untuk ukuran buletin “nekad” macam Hysteria. Tapi, kemarin (17/7), ketika saya bertemu Adin, ia tampak “capek” dengan Hysteria. Mungkin karena teman-temannya yang kurang solid. Mungkin karena ia mesti mepet dengan dana. Atau karena kurangnya dukungan pihak lain, bahkan dari para “dewa sastra” di Semarang sendiri.
Tapi, dana mepet dan tak dilirik oleh para “dewa sastra” adalah sebuah kebiasaan bagi kawan-kawan Hysteria. Mereka telah lama melakoni itu. Mereka, agaknya, bukan hanya tak terkejut menghadapi semua itu, tapi telah siap.
Cuma, kondisi tim yang agak kurang solid mungkin akan jadi kendala. Tapi, saya berharap, kondisi ini tak berlama-lama terjadi. Saya impikan mereka kembali bersemngat menggarap buletin itu. Sebab, diakui atau tidak Hysteria telah menginspirasi kehadiran media serupa dari Solo, namanya Pawon Sastra. Nasib Pawon Sastra, sejauh ini, sedikit lebih baik. Dukungan dari komunitas sastra dan kelompok diskusi di Solo datang bertubi-tubi. Tapi, kehidupan kesenian di Solo memanglebih menggembirakan daripada Semarang, terutama kondisi sastranya.
Di Solo hampir selalu digelar acara kesenian tiap bulannya, dengan frekuensi lebih dari tiga kali. Tapi Semarang, menurut beberapa komentar yang saya dengar, adalah kota yang menjadi “kuburan seni”. Wuihh, serem amat julukan kota ini. Di kuburan itu, seperti kata Adin, “Orang yang berkesenian mungkin seperti orang gila.”
Kenapa? Mungkin karena jarangnya orang yang berkesenian di kota ini sehingga orang yang menjalani lelaku seni bisa-bisa dianggap aneh, dan akhirnya: gila.
Semarang, 18 Juli 2007
Haris Firdaus
kesenian daerah mulai menghilang tampaknya.. apakah ini akibat moderenisasi dan budaya barat
mngkn jg mas adite. tapi, lelaku seni modern pun tetap saja aneh bagi warga kota yang gak terbiasa dg kesenian. bukankah kesenian kadang melabrak yg biasa2 saja?
Kalo kita bekerja sendiri memang sangat terasa susahnya, pa lagi kalo penggiat2 seni semangatnya yg kendur kempis.
Dulu aku sempat maen2 ke sanggar budaya, di mana tempat semua kesenian tummpah di sana, tapi mereka memang lebih suka menunggu datangnya ‘job’ ketimbang membuat ‘job’ itu sendiri, dalam 2 tahun berada di sana, gak heran kalo akhirnya satu persatu penggiat seni itupun harus menanggalkan profesinya dan menjadikan seni hanya tuk hoby saja.
tentang media masa sendiri mereka jg punya, pun karna promosinya kurang dan tidak tepat arah akhirnya gulung tikar jg, ato masih terbit namun hanya tuk arsip saja.
daku orang semarang tp skrg sedang merantau di bandung…
sebetulnya seni itu apa? apa aja sih macam2nya? daku pernah merasa suka seni dan merasa nyeni. tp apakah daku benar2 nyeni? daku tak begitu suka seni sastra (jujur aja nih), tp lebih suka alunan nada dan kombinasi bunyi-bunyian. daku tak begitu tertarik lukisan tp sering pengen nyeleneh. nyeleneh tanpa arti,dan karena tanpa arti itu daku jadi nggak pengen nyeleneh. alamat blogku ini pun gak ada filosofinya. tp itu daku buat krn sdg pikiran nyeleneh. nyenikah itu? hehehe, salam kenal bung, dari manusia “buatan orde baru”. hehehe…