KIta Sudah Berhasil, Bung!
(Sebuah esei tentang kejengkelan pada diri sendiri)
Hari itu, setelah kita melakukan sebuah proses yang kita beri nama “evaluasi”, akhirnya kita tahu: kalimat “evaluasi itu penting supaya kita tak jatuh ke lubang yang sama” ternyata adalah kalimat yang basi. Basi karena kalimat macam begitu adalah kalimat yang seringkali kita ucapkan tapi tak pernah benar-benar kita mengerti.
Duh, lalu kita kemudian paham: betapa beratnya menyandarkan keinginan pada sebuah kalimat “bombatis” yang sebenarnya omong kosong. Omong kosong karena kalimat itu memang kita ucapkan hanya sebagai “omong-omong” yang tak ada isinya sama sekali! Dan, kalaupun kalimat macam itu diulangi seribu kali dalam satu jam pada forum yang kita namai “evaluasi” tadi, maka ya hasilnya akan sama saja. Kita tak akan pernah benar-benar mengerti!
Juga, akibatnya, kita tak pernah benar-benar secara tulus menjalani proses tadi. Kita cuma pura-pura mengerti, pura-pura merasa butuh, dan yang paling parah: kita pura-pura merasa mau melakukan itu! Kalau soal butuh, okelah, barangkali benar kita butuh. Kalau soal manfaat, baiklah, kita memang akan menerima manfaat dari proses itu. Tapi, kalau soal mau atau tidak, saya tak bisa menjamin.
Ya, persoalan mau atau tidak inilah yang sebenarnya prinsip. Buat apa melakukan sesuatu yang sebenarnya bermanfaat dan berguna tapi tidak kita ingini? Buat apa memaksakan diri kita duduk berlama-lama memelototi sebuah bendel teks? Buat apa susah-susah meluangkan waktu berkumpul di ruang sempit, tanpa makanan dan minuman, dan suasana yang tak menggairahkan? Buat apa melakukan sebuah kegiatan yang sebenarnya tak pernah benar kita mengerti kegunaannya, Kawan?
Tapi kita tak mengakui itu. Sebagian kita tetap di sana, dengan wajah yang mungkin dibuat serius. Kita tetap memelototi teks itu, tetap berusaha menangkap arti penting semua proses itu. Tapi, benarkah kita akan menemukannya? Benarkah kita akan menangkap suasana yang bergairah di sana? Ah, saya tak tahu.
Saya bingung. Tapi, akankah kita semua benar-benar bingung? Saya kira tidak. Sebagian kita mungkin pulang dengan sebuah beban yang hilang dan berteriak: “Hopla, evaluasi telah kita jalankan! Dan tuntaslah semuanya!”. Duh, lebih ironis lagi kalau di saat yang seperti itu masih ada yang bilang: “Dalam sebuah usaha, yang penting adalah proses, bukan hasil.”
Untunglah, setelah proses kemarin, tak ada yang bilang seperti itu. Kalimat itu memang sudah jarang sekali terdengar di telinga kita. Benar-benar jarang. Mungkin karena kita sudah lupa. Atau, karena kita merasa saat ini kita telah ada “di luar proses”. Kita telah menuai hasil, menimangnya dengan bangga, dan mengelus-elusnya sambil berkata: “Inilah kami!”
Tapi, ingatkah kita, betapa dulu kalimat “Dalam sebuah usaha, yang penting adalah proses, bukan hasil”, adalah sebuah kalimat yang seringkali terdengar di antara kita? Mulut kita yang mengucapnya suatu kali. Lain kali, telinga kita mendengarnya dari mulut yang lain. Mungkin kita terpesona pada kalimat itu.
Lalu, kita menganggap diri kita percaya pada kalimat itu. Saya akan bilang: “Ya, iyalah, saat itu kan kita masih ‘dalam proses’.” Kita belum menimang hasil saat itu. Kita belum bisa membanggakan sebuah “hasil yang nyata”. Lalu, kita bersembunyi di balik proses. Kita bersembunyi dan mengatakan kalimat tadi kalau belum “berhasil”.
Tapi, saat kita sudah menimang “hasil”, kita pun melupakan semua itu. Semua proses lanjutan dari hasil yang telah kita keluarkan kemudian tak lagi dianggap penting. Dan kita barangkali berkata: “Ah, yang penting kita sudah berhasil.” Ya, yang penting sudah ada hasil di tangan, dan semua proses sebelumnya yang tak ideal dan semua proses lanjutan menjadi tidak penting.
Kita jadi bangga. Dan bangga membuat kita malas. Malas untuk melihat semua proses yang kita lalui. Malas mengakui bahwa ada banyak kesalahan, keburukan, dan kekurangan yang pernah kita jalankan. Agaknya, semua proses yang timpang dan kurang sudah tak kita pedulikan lagi. Yang penting: KITA SUDAH BERHASIL, BUNG!
Kekuarangan masa lalu akhirnya kita maklumi. Bukan karena kekurangan itu memang bisa dimaklumi. Tapi, karena toh dengan kekurangan itu kita sudah bisa membuat sebuah hasil. Yah, apa mau dikata. Kalau pola pikir macam begini yang secara tidak sadar menjalar dalam pikiran kita, maka sudah sewajarnya kalau proses untuk mengevaluasi hasil yang kita buat pun akhirnya menjadi omong kosong.
Dan besok, kalau kita jatuh pada lubang yang sama dengan lubang dulu tempat kita jatuh, kita tak perlu mengaduh atau merasa susah. Bukankah, pada hari itu, ketika kita mengakhiri sebuah proses yang kita namai “evaluasi”, kejatuhan kembali itu sebenarnya sudah kita ramalkan?
Sukoharjo, 12 Agustus 2007
Haris Firdaus
bagus nih tulisannya. kegagalan itu adalah keberhasilan yg tertunda, gunakan kegagalan hari ini buat keberhasilan dihari esok. tul ga ris?
yah, kegagalan wajar kalo tertunda, ya, bung.