Musik yang Demokratis
Malam itu, saya ada di sebuah tempat yang sebenarnya agak ganjil (bagi saya): sebuah ruangan di lantai sembilan hotel berbintang. Keperluan saya di sana pun agak ganjil: menonton konser musik klasik.
Hotel berbintang dan musik klasik. Kita membayangkan tentang gaya hidup orang kaya yang kehabisan hiburan dari televisi, radio, dan VCD. Sebuah hiburan yang sudah massal, umum, dan tak punya eksklusivitas lagi. Barangkali ini benar. Sebab, selain saya, malam itu yang menonton konser musik klasik itu adalah mereka yang tentu saja kaya (karena tiket konser yang mahal), dan ingin sebuah sajian yang “eksklusif”.
Tapi apa arti eksklusif sebenarnya? Malam itu ruangan dipenuhi sekitar 1.200 orang, sebuah jumlah yang tentu saja tak bisa dibilang sedikit dan eksklusif. Tapi, dibanding dengan konser musik massal yang berlangsung di stadion-stadion yang berdebu dan sesak, konser malam itu memang tetap sesuatu yang “membatasi”. Ia tak mengijinkan semua orang masuk. Tapi yang lebih penting: ia tak mengijinkan semua perilaku alamiah hadir.
Tentu saja, sebuah musik klasik adalah sesuatu yang berbeda dengan musik dangdut. Yang pertama adalah yang tertib, beraturan, terjaga, dan mungkin terhormat. Yang kedua? Norak, erotis, keringat, dan jorok. Orang tak bisa berjoget saat menonton musik klasik. Mereka hanya perlu duduk dengan anggun di kursi mewah, sambil sesekali menajamkan pendengaran: mencoba menangkap “konsep musik” yang diperdengarkan.
Dalam pertunjukan musik klasik, para penonton duduk diam mendengarkan komposisi musik, lalu bertepuk tangan sambil tertawa lebar untuk menandakan kepuasan setelah musik selesai. Seolah mereka adalah pendengar yang intens dan paham tentang musik yang dimainkan. Seolah mereka benar merasa “terpuaskan” setelah mendengar lagu-lagu klasik itu dimainkan.
Di Indonesia, di mana sebagian kita adalah orang yang hipokrit, adakah kenikmatan membaca musik klasik selalu hadir dalam tiap konser? Saya tak tahu. Tapi, malam itu, saat saya ngobrol dengan dedengkot musik klasik Indonesia yang merencanakan konser itu, saya tahu bahwa musik klasik, di Indonesia, tetap saja menghadirkan kenikmatan yang “langka”. Kata si dedengkot: “Pemahaman masyarakat kita tentang musik klasik masih lemah.” Maka, konser malam itu pun digabung dengan tarian. Kenapa? “Supaya musik yang ada bisa lebih mudah dicerna,” kata si dedengkot lagi.
Tak ada yang salah dengan itu. Orang yang ingin mendapat gengsi ketika menonton konser musik klasik pun seharusnya tak dicap jelek. Memang, kebutuhan mereka masih dalam taraf “menonton”, bukan “membaca”. Tapi, seyogyianya mereka tak berharap merasakan kenikmatan. Seperti saya malam itu, yang hadir lebih karena tugas, bukan ketertarikan. Saya tak berharap meraih kenikmatan. Dan saya memang tak mendapatkannya. Betapapun indah permainan piano para pemain, betapapun harmonisnya alat-alat musik yang dimainkan, saya tetap berkerut, dan tak tahu apa yang mesti dinikmati. Seandainya disuruh memilih, saya memilih mendengar musik pop yang massal itu
Setelah konser selesai, saya keluar dari ruangan ke balkon. Saat itu saya tahu, di dekat hotel itu sedang berlangsung sebuah konser musik di sebuah lapangan yang besar dekat hotel tempat saya berada. Saya melihat ke bawah, dan menemukan ribuan titik hitam yang diterangi lampu malam. Mereka bergerak, berderap, dan ikut bernyanyi. Sejenak kemudian, air disemprotkan ke arah mereka dari mobil pemadam kebakaran. Pemandangan yang jamak dari sebuah konser musik populer.
Di sana, mereka yang menonton berdesakan, melompat sekenanya, bernyanyi sebisanya, dan berteriak sepuasnya. Dalam konser itu, tak ada yang “membatasi”. Mereka tak harus bertepuk tangan atau tersenyum. Mereka boleh saja bosan dan mengumpat. Atau, memuji dan terus meneriakkan kalimat, “Lagi, lagi!”
Malam itu, di dua tempat yang terpisahkan jarak beberapa ratus meter itu, saya tahu sebuah kontras dalam musik sedang terjadi. Yang massal bersanding dengan yang elit. Tapi, musik adalah sesuatu yang demokratis. Ia boleh dibenci, tapi boleh juga disukai. Mungkin karena itu pula di kontes-kontes musik televisi, penontonlah yang menentukan siapa pemenang dan siapa pecundang. Juri yang hebat itu toh hanya komentator.
Ya, musik adalah sesuatu yang demokratis. Mungkin, karena itu pula, Kangen Band banyak disukai. Meski sebagian kita yang tahu musik mengatakan kemampuan anak-anak Lampung itu main musik sebenarnya cuma pas-pasan.
Sukoharjo, 7 Agustus 2007
Haris Firdaus
kalo mo amannya sih mending nonton konser klasik aja, dari pada benyokkk tuh nonton di lapangan, pa lagi sampai ada yg meninggal :(. yg di lapangan mah bagusnya lewaet tivi aja 😀
iya, tapi musik klasik kan susah dicerna buat telinga udik kayak saya. ha2