Yogya, Puisi, dan Lain Sebagainya (2)
Berkemeja sederhana, memakai sandal, dan tas kecil yang menggelayut pundaknya, lelaki itu berjalan agak tertatih. Kentara kalau jalannya sedikit tak lincah. Rambutnya acak-acakan, sedikit kelabu. Wajahnya seperti orang bosan, berkali-kali menghela nafas. Ia duduk di samping Indra Tranggono dan Suminto A Sayuti.
Diskusi di Taman Budaya Yogyakarta, pagi itu, terhenti sejenak, untuk memberi perhatian pada lelaki itu. Lelaki itu: Faruk HT. Sosok pengkaji sastra dari Yogya yang cukup dikenal karena ketajaman gagasannya. Begitu duduk, sedikit tersenyum tak ramah, ia menyulut rokok. Dan diskusi kembali berjalan.
Emha masih bercerita soal bagaimana kondisi sastra Yogya ke depan. Menurutnya, Yogya tak boleh hanya mengikuti selera Jakarta. Boleh saja, misalnya, wacana polemik yang terjadi di Jakarta diintrodusir ke Yogya. Tapi kubu-kubuan tak perlu terjadi. Persaudaraan, kemanusiaan, tetap saja hal utama.
Emha juga bicara soal lain: ancaman industri pada seni, terutama sastra. Ia berargumen, negara tak jauh lebih berbahaya ketimbang industri. Negara dengan kekuasaannya yang menyensor sastra misalnya, justru memberi keuntungan: ia melambungkan sebuah karya karena melarangnya. Ya, karya yang dicekal, dilarang, atau ditutupi, secara paradoksal akan jadi jauh lebih terkenal. Dalam istilah Cak Nun: “Karya teater yang tak jadi pentas pun tetap jadi terkenal!”
Tapi industri melawan sastra dari dalam. Ia menggerogoti perlahan, tak kentara, dan malah kadang nampak menguntungkan. Industri, dan barangkali pula termasuk modal, mungkin ditakutkan merusak “mutu” karya sastra. Dan Cak Nun, dengan ekspresi yang sedih, menyebut contoh mutakhir: Rendra yang baca puisi demi sebuah iklan. Betapa sedih, katanya, melihat seorang penyair besar Indonesia harus “berjualan obat”.
Saya sepakat dengan anda, Cak.
Lalu Faruk yang ganti bicara. Lelaki ini, bukan pembicara yang ulung macam Emha. Hanya karena ia bicara di depan publik yang sedikit “intelek”, maka gaya bicaranya yang tertatih itu dapat dimaklumi karena kentara benar bahwa isinya punya bobot. Faruk yang didaulat bicara soal gaya perpuisian Yogya memulai pembicaraan dengan menyinggung tradisi “sanggar” dalam sastra di Yogya.
Sanggar, dalam arti ini, mungkin bisa saya sebut sebagai semacam tempat di mana para sastrawan berkumpul, melakukan interaksi, berkarya, lalu saling membacakan karyanya dan saling kritik. Sebuah tradisi yang konon dimulai di Yogya dengan Rendra sebagai tokoh utamanya. Tradisi ini unik, kata Faruk. Sebab berkarya ternyata bisa juga menemukan bentuknya yang komunal, meskipun pada akhirnya karya adalah proses individual.
Yogya punya banyak sanggar dan komunitas sastra sekarang. Di tahun 70-an, Persada Study Klub adalah biangnya sanggar. Bergiatnya para sastrawan ini di sanggar, otomatis membuat proses kreatif mereka menjadi khas: mereka tak lagi hanya bergulat secara individual di hadapan karya. Saya percaya, proses kreatif di sanggar ini akan sangat punya pengaruh pada sastrawan yang bergiat di dalamnya. Mau tak mau, pasti ada semacam “kekhasan” tersendiri.
Apa sesuatu yang khas itu? Faruk menyebut bahwa jiwa “sosial” penyair Yogya tahun 70-an begitu kentara. Artinya, puisi yang dihasilkan mereka bukanlah sebuah “puisi kamar”, tapi puisi yang menyentuh lebih banyak realitas sosial ketimbang realitas individual. Kalaupun ada sajak lirik yang personal, kata Faruk, ekspresi personalnya tak terlalu “menggebu-gebu”. “Kalau mengekspresikan kesedihan, ya tak sedih-sedih amat, kalau mengekspresikan kesepian, ya tidak terlalu dramatis,” demikian kira-kira katanya.
Ekspresi individu para penyair Yogya tahun 70-an adalah ekspresi individu yang masih punya “rumah” menentramkan. Rumah itu, barangkali, adalah sanggar atau komunitas yang menaungi mereka. Sebagai individu, mereka merasa nyaman ada di dalamnya, merasa betah, dan perasaan ini kemudian terluap—secara sadar atau tidak—dalam puisi-puisi mereka.
Faruk sedikit menyinggung juga soal industri. Beda dengan Emha, Faruk tak terlampau takut pada industri yang menyentuh seni. Industri tetap saja tak terlampau bahaya, kata dia. Industri justru bisa menguntungkan, tentu saja sebagai penyandang dana.
Lalu, giliran Suminto A Sayuti yang bicara. Dekan Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta ini tak banyak bicara. Ia yang didaulat berbicara tentang “penyair kampus dan nonkampus”, lebih banyak ngrasani masa lalu. Inti pendapatnya: tak ada pembedaan antara penyair kampus dan nonkampus. Sebab, bagi penyair, segala tempat adalah “kampus”, dalam arti ruang belajar dan berkembang.
Suminto banyak bernostalgia bagaimana dulu para penyair “nonkampus” macam Cak Nun, Linus, dan lain-lain justru sering nongkrong di kampus seperti UGM, UNY, atau IAIN Sunan Kalijaga, untuk ngobrol soal puisi. Lalu, Suminto juga mengenang bagaimana dulu ia—sebagai ketua salah satu organisasi mahasiswa di UNY—mengundang Emha untuk membacakan puisi di kampus. “Waktu itu, banyak kawan mahasiswi yang jatuh cinta pada Cak Nun, karena dia dulu ganteng,” kata Suminto yang disambut tawa hadirin.
Suminto juga mengenang bagaimana ia mengundang Linus Suryadi untuk melakukan ceramah di depan mahasiswa di kampusnya. “Saat itu, Linus baru pertama kali berbicara di depan publik kampus. Kentara sekali kalau ia grogi, keringatnya keluar banyak sekali,” kata Suminto. Lagi, hadirin kembali tertawa. Lalu, simpulan akhir profesor sastra ini demikian: tak ada beda antara”penyair kampus” atau penyair nonkampus”.
Lalu diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Sebagian besar yang bertanya adalah mereka para tetua perpuisian Yogya. Hanya seorang muda yang ngomong: Indrian Koto, seorang penyair yang masih belia. Koto hanya berucap: “Bahwa diskusi yang dilakukan tadi hanyalah semacam nostalgia pada masa lalu, dan belum memandang ke depan.” Dia kemudian berucap lagi: “Bagi kami, generasi sekarang, kadang bingung ke mana mesti melangkah karena seolah orang tua sudah tak memberi lagi perhatian.”
Ungkapan Koto ditanggapi dengan realistis oleh Suminto: “Generasi tua memang tak banyak lagi bisa diharapkan.” Banyak hal yang sudah berubah pada mereka, dan otomatis tak adil tentunya menggantung harapan yang terlampau berlebih pada mereka. Mereka tetap saja diperlukan, sekedar sebagai penunjuk, kalau sesesaat kita tersesat atau tak tahu arah. Selebihnya, dalam kondisi normal, kita mesti merintis jalan sendiri. Dan gambaran kondisi penyair Yogya tahun 70-an tetap saja sesuatu yang berguna, barangkali sebagai semacam cermin dan pembanding dengan kondisi sekarang. Bukankah demikian?
Sukoharjo, 18 Agustus 2007
Haris Firdaus
Komentar