Puisi yang (Mungkin Saja) Menyentuhmu
Puisi (Mungkin Saja) Menyentuhmu
Malam itu, barangkali kita sama-sama berbahagia. Di sebuah lapangan besar yang cukup banyak orang, kita duduk lesehan, menatap langit, dan merasai angin. Kita tak memikirkan apa-apa, barangkali, selain bahwa dua hari itu kita sama-sama bahagia. Sebentar lagi, seperti malam sebelumnya, kita akan menonton banyak penyair yang membaca puisi. Dan, apa yang lebih indah dari pada malam yang tenang, udara yang teduh, dan penyair yang membaca puisi?
Di tempat kita duduk memandang orang-orang yang sibuk dengan obrolan, jalan-jalan, dan makan, kita merasa seolah langit begitu dekat. Ketika wajah kita dongakkan ke atas, langit seakan hendak menyambut. Tapi ia tak pernah benar-benar menyambut. Ia cuma mengintip, atau lebih tepatnya menatap, dengan pandangan yang begitu besar sehingga seolah ia terasa dekat.
Setelah menghabiskan makan, kita kemudian sejenak ngobrol ngalor ngidul tentang banyak hal. Lebih banyak bukan tentang puisi. Kita mungkin kagum pada penyair yang kemarin malam membacakan puisi, atau menebak-nebak tentang puisi siapa yang hari ini paling hebat, tapi kekaguman dan rasa penasaran itu tak banyak keluar dalam obrolan. Saat obrolan itu, saya melihat Acep Zamzam Noor, penyair Tasikmalaya itu, lewat. Dengan kaos dan rambut panjang serta tas kainnya, ia tampak santai. Kelihatan pula: ia baru saja mandi!
Malam itu, kemudian kita tahu, Acep membacakan salah satu sajak terbarunya: “Menjadi Penyair Lagi”. Sebuah sajak cinta, yang indah. Saya tak tahu adakah kau merasakan keindahan puisi itu. Sebab, kau seringkali mengeluh tak memahami puisi. Tapi anehnya, kau dengan sukarela menemani saya melihat pembacaan puisi dua malam berturut-turut. Pada dasarnya, saya percaya puisi suatu saat akan menyentuhmu. Sama ketika ia menyentuh saya dengan tiba-tiba, sehingga akhirnya saya tak kuasa menolak.
Puisi memang datang, seringkali, dengan tiba-tiba. Ketika Joko Pinurbo malam itu tampil, kau tersenyum girang. Mungkin karena beberapa waktu sebelumnya kau telah menyaksikan Jokpin tampil. Ya, Jokpin, seperti katamu, memang hebat, terutama dengan “celana-celananya”. Malam itu, sajak yang paling kau sukai adalah “Dengan Kata Lain”. Sajak itu lucu, naratif, dan sebenarnya memiliki inti di akhir sajak. Begitu Jokpin selesai membacanya, kau tersenyum—sama dengan kebanyakan penonton lain yang tersenyum—dan berkata: “Bagus.” Sampai beberapa waktu kemudian, kau masih berkata hal yang sama tentang sajak itu: “Bagus.” Saya hanya membatin: “Ah, adakah puisi telah menyentuhmu malam itu?”
***
Saya pernah menulis sebuah puisi untukmu yang kemudian saya kirimkan lewat surat elektronik. Tapi kau tak membalas, dan ketika kita kemudian bertemu, tak ada pembahasan tentang puisi itu. Barangkali surat elektronik yang kukirim tak sampai. Barangkali lainnya, kau memang tak hendak membahas sajak itu. Dan anehnya, saya juga tak punya hasrat menanyakan pendapatmu soal sajak itu.
Bagaimanapun, orang memang tak harus menyukai puisi. Orang juga tak harus berkomunikasi dengannya. Puisi, hanya sebuah pilihan. Semacam jalur yang boleh dipilih, atau boleh pula ditinggalkan. Sebagai sebuah jalan, puisi punya resiko. Ia terlampau banyak cabang, dan terkadang tanpa petunjuk yang memadai. Maka, jalan puisi adalah jalan yang panjang. Kita bisa kelelahan di tengah jalan, dan memutuskan berhenti. Kita bisa tersesat, dan tak menemu jalan pulang. Tapi kita bisa pula tak jadi melewati jalan itu, sama sekali.
Tapi soalnya, ada sebagian orang yang percaya (barangkali termasuk saya) bahwa jalan puisi adalah jalan yang indah. Ia menyajikan pemandangan yang tiap kali kita lewati, mungkin berganti-ganti. Pendeknya, sebuah pemandangan yang tak membosankan. Tentu saja apabila jalan itu adalah yang benar-benar menyajikan “keindahan”, bukan peniruan yang membosankan.
Saya tak tahu, adakah puisi telah menyentuhmu. Tapi, bila iya, maka bisa jadi kita akan bertemu di jalan yang sama dengan lebih sering. Di sana, kita bisa saja sekedar saling sapa, atau justru membuat sebuah obrolan yang sangat panjang. Kita bisa tidur seharian di sana, atau bahkan bermalam-malam berhari-hari. Tapi, barangkali pula, kita tak akan pernah melakukan itu. Kalaupun begitu, saya toh juga tak akan kecewa.
Bukankah kita bisa berjumpa di jalan yang lain?
Sukoharjo, 19 September 2007
Haris Firdaus
Komentar