Sebuah Pagi Ketika Kau Menelepon
Persahabatan, barangkali, semacam proses untuk tidak saling melupakan. Saya menulis kalimat itu karena teringat sebuah pagi ketika kau menelepon. Saat itu, saya belum lagi mandi dan baru saja bangun dari sebuah tidur yang nyenyak. Dari seberang gagang telepon, saya dengar sebuah suara yang sepertinya dekat tapi saya tak yakin milik siapa. Maka, saya toh perlu bertanya: “Ini siapa, ya?” Dan ketika kau menyebut namamu, saya tersenyum bersama letupan kekagetan kecil dalam hati.
Saya kaget karena cukup lama kita—mengambil bahasamu—tenggelam dalam jalan masing-masing. Mungkin kesibukan dan jauhnya geografi membuat kita akhirnya memilih jalan masing-masing. Tapi pagi itu, barangkali, jarak seketika lenyap. Dan saya kemudian tahu, kita sebenarnya masih menyimpan semacam “keintiman”. Meski saya paham, kadarnya barangkali tak sebanyak dulu, tapi sebuah kedekatan tetap sebuah kedekatan. Ia tetap sesuatu yang menimbulkan semacam “getaran aneh untuk merasa terlibat” dalam hati kita.
Hari itu, sebagai pembuka percakapan yang sebenarnya singkat, kau bertanya tentang kabar. Dan saya menjawab dengan ucapan pendek yang standar: “Baik.” Lalu kau menebak bahwa saya baru saja selesai dari sebuah kegiatan di kampus. Dan saya bertanya: “Kok kamu tahu?” Lalu kau menjawab: “Loh, bukannya kamu yang kasih tahu.” Dan saya melihat diri sendiri sebagai seseorang yang bodoh sekaligus pelupa. Kadang, apa yang kita lakukan memang lebih mudah kita lupakan ketimbang apa yang dilakukan orang yang dekat dengan kita.
Kemudian, obrolan mengalir. Kau ternyata sedang ada di Solo, untuk beberapa hari saja. Bersama dua teman, kau hendak menyaksikan sebuah acara besar di Solo. Saya, kau ajak untuk ikut serta. Dan saya sepakat. Barangkali hambatan yang selama ini begitu banyak untuk bertemu membuat saya mengiyakan saja ketika kau ajak. Mungkin timbul harapan bahwa pertemuan kita akan menjadi semacam pertemuan setelah “perpisahan yang panjang”. Tapi, saya kira, tak sedramatis itu. Pertemuan kita, saya bayangkan, akan tetap jadi sebuah pertemuan yang hampir mirip dengan yang sudah-sudah.
Dan malam itu, ketika saya harus mencarimu di antara kerumunan orang yang berjubel untuk menyaksikan pertunjukan yang sama dengan yang ingin kita tonton, saya sadar bahwa pertemuan itu sedikit banyak membuat saya waswas. Tapi ketika akhirnya kita bertemu, saya tahu tak ada yang perlu dicemaskan. Saya masih melihatmu tetap sama dengan dahulu. Sebuah senyuman, sebuah keramahan, sebuah sikap yang tak terlalu banyak omong. Semuanya masih seperti yang dulu.
Lalu, kita masuk dan mendapatkan tempat duduk. Melihat sebuah panggung luar biasa besar dengan latar bangunan yang megah. Barangkali kita tercengang, barangkali takjub. Tapi, dalam saat itu, masihkah kau berpikir tentang persahabatan? Saya, sepanjang yang saya ingat, mungkin berpikir tentang itu meski sedikit. Konsentrasi kita toh akhirnya pecah: kita harus menikmati pertunjukan, sambil berusaha untuk saling bertukar kabar. Dan saya tahu, kau memang tak banyak berubah. Tetap saja lincah, dengan banyak optimisme yang luar biasa, dan jaringan pertemanan yang hebat. Kau, dalam pandanganku malam itu, tetap saja seorang yang punya begitu banyak keleluasaan untuk melakukan banyak hal.
Barangkali karena itu kau jadi istimewa. Tapi, barangkali pula, setiap sahabat akan jadi terlihat istimewa di mata sahabatnya. Dan manusia toh adalah makhluk yang punya banyak peluang untuk jadi istimewa, bukan?
Malam itu, tak banyak yang kita obrolkan sampai kemudian akhirnya kau pulang dan aku masih menikmati pertunjukan yang belum selesai. Kau pulang, dan saya mengira pertemuan kita kali ini hanya akan demikian. Tapi, tiga hari kemudian, di sebuah petang, kau kembali membuat kekagetan. Sebuah sms darimu mengatakan hal yang hampir sama dengan dulu: “Aku sedang di Solo.” Dan kita kemudian bertemu di tempat yang sama. Kali ini, kau mengajak lebih banyak kawan. Dan saya, lagi-lagi hanya datang sendirian.
Dua kali bertemu dalam sebuah minggu yang sama barangkali tak saya bayangkan sebelumnya. Mungkin karena begitu banyak hal yang membuat saya sulit membayangkan kemungkinan itu. Tapi, ternyata kesulitan-kesulitan toh bisa hilang dengan semacam kebetulan, atau kenekatan. Kali itu, kita lebih banyak berbincang. Kau berbincang tentang banyak hal: Jerman, Sragen, Yogya, dan entah apalagi. Dan aku cuma bicara dalam topik yang itu-itu saja.
Tapi, yang kuingat, obrolan kita jadi lebih cair. Dan, ketika kau bertanya: “Sudah nulis tentang acara ini?” Saya tersenyum, dan menjawab: “Belum.” Ah, ternyata masih cukup banyak yang kau ingat tentang saya: blog, tulisan, aktivitas di pers kampus, dll. Saya membatin dalam hati waktu itu: “Mungkin saya akan menuliskannya.” Sehari setelah kita bertemu, saya sudah merampungkan tulisan tentang acara yang kita tonton. Tapi, saya merasa masih punya hutang: saya belum menuliskan tentang pertemuan kita.
Maka, saya menguatkan tekad untuk menulis tentang pertemuan kita itu. Setelah lama tersendat karena banyak hal, saya akhirnya menuliskannya juga. Kau tahu, di antara sekian banyak tulisan di blog saya, tulisan-tulisan tentang sahabat—termasuk kau—adalah tulisan yang saya sukai. Tulisan-tulisan macam itu, barangkali kurang punya “fungsi sosial”, tapi bagi saya, ia menimbulkan kelegaan. Kelegaan karena lagi-lagi saya telah berusaha untuk mengabadikan sebuah kenangan dalam bingkai yang saya bisa.
Persahabatan, barangkali, semacam proses untuk tidak saling melupakan. Tulisan ini mungkin bagian kecil dari persahabatan itu. Sama dengan sebuah benda yang kau berikan malam terakhir ketika kita bertemu.
Sukoharjo, 11 September 2007
Haris Firdaus
Komentar