Kau dan Permainan Mendeskripsikan Apel
pada: as
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika); barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
(Sapardi Djoko Damono)
Kalau ada penyair Indonesia yang mampu bicara tentang kematian dengan begitu liris sekaligus mencekam, maka dia adalah Sapardi Djoko Damono. Penyair senior ini memang piawai bicara dalam tema-tema yang “murung”: duka, kematian, sunyi. Sajak-sajaknya yang liris adalah sajak yang amat cocok dibaca dalam kesunyian, dihayati dalam kesendirian. Saya bayangkan sajaknya akan tak terlampau menarik bila dideklamasikan, bahkan oleh Rendra sekalipun.
Agaknya, demikianlah kematian: ia memang sesuatu yang tetap jadi sebuah nasib milik masing-masing, di mana orang lain–yang paling dekat dengan diri kita sekalipun–tak mampu mengahayatinya. Suasana kematian yang “sendiri” itulah yang dilukis dalam sajak Sapardi yang bait pertamanya saya kutip di awal tulisan ini. Sajak “Kupandang Kelam yang Merapat Ke Sisi Kita” yang dibuat tahun 1968 ini adalah cerita tentang kematian yang mendekat pada sepasang suami-istri, tapi sebenarnya hanya “mendatangi” seorang di antara mereka. Meski Sapardi menggunakan kata “kita”, tapi hanya si “aku lirik” sajalah yang sebenarnya mampu menghayati kematian yang datang padanya. Di bait terakhir sajak itu, Sapardi menulis: “kukecup ujung jarimu; kaupun menatapku: / bunuhlah ia suamiku (kutatap kelam itu / bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku / lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)”.
Orang lain, si istri dari laki-laki yang didatangi kematian itu, pada akhirnya hanya bisa memberi usul, semacam saran terakhir agar suaminya “membunuh” kematian yang datang itu. Pada akhirnya, si istri tak bisa terlibat, tak bisa berbuat apapun. Maka, si suamilah yang akhirnya harus mengambil tindakan terhadap kematian yang datang lewat kelam itu. Pada titik ini, kita tahu bahwa kematian dikabarkan oleh Sapardi sebagai sebuah kesendirian. Hanya “kelam”, hanya suasana kematian itulah yang bisa pula dihayati oleh orang lain.
Dari penyimbolan ajal lewat “kelam” itu, kita tahu, ajal dalam sajak Sapardi adalah sebuah kemurungan, sebuah duka. Dan memang, hampir tiap teks tentang kematian adalah juga sebuah kabar tentang duka cita. Tapi dari bait terakhir sajak itu kita juga sekaligus tahu bahwa sebuah kemurungan pun bisa dilawan, dengan ikhtiar yang mungkin sebenarnya tak mengubah apapun. Si “aku lirik” dalam sajak Sapardi pun pada akhirnya tak mampu “membunuh” kematian, tapi hanya mampu “bertanya dan bercakap sejenak” dengan kematian itu. Tapi, “cakap-cakap” tadi tetap sebuah ikhtiar untuk menolak kelam dan menolak jadi murung.
***
Saya tak tahu, adakah setiap manusia–termasuk kau–akan mencoba menolak kematian yang datang padanya, dengan sebuah ikhtiar yang mungkin tak akan mengubah apapun. Saya tak terlampau banyak tahu tentang kau, kecuali bahwa ketika kita berjumpa lebih dari tujuh bulan yang lalu, kau sudah menderita sebuah sakit yang saya tak tahu datang dari jenis apa. Saat itu saya lihat: tubuhmu telah susut, ketampananmu lamat-lamat pudar, tanganmu kelihatan makin ceking, dan wajahmu sedikit pucat. Tapi saya tahu ada yang tetap tinggal: semangat, dan ketegasan, juga kecerdasan. Barangkali, ketiganya memang tak akan pernah mampu hilang darimu, sekalipun sakit yang ganas menggerogotimu.
Maka, saya bayangkan, sampai kemudian ajal menjemputmu dengan benar-benar, kau pasti telah mengerahkan segala ikhtiar untuk “menolak” maut, sama dengan si “aku lirik” dalam sajak Sapardi di atas. Bukan karena maut itu sesuatu yang kau takuti, tapi lebih karena hidup adalah suatu hal yang mesti disyukuri. Tapi, saya yang tak tahu terlampau banyak hal tentang kau, tetap saja terkejut ketika di sebuah siang di toko buku saya berjumpa dengan seseorang yang mengabarkan kematianmu. Saya tetap saja kaget, dan tak menyangka bahwa semangat yang sering saya lihat berapi-api di depan kelas itu akan begitu lekas padam.
Saya hanya mampu berucap pelan, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, dan kemudian ingatan saya terlempar pada sebuah kelas di mana kita bertemu. Siang itu, sebuah waktu ketika kau telah sakit tapi tetap saja menampakkan semangat yang menggebu untuk mengajar, kau menaruh sebuah apel merah di atas kursi yang terletak di muka kelas. Perintahmu singkat pada kami, para mahasiswamu: “Silakan deskripsikan apel itu dengan sedetail-detailnya!” Kami, para mahasiswa yang terlampau banyak mengenyam metode pendidikan konvesional yang menjemukan itu, tentu saja sedikit kaget dengan perintahmu. Kami tahu, “permainan mendeskripsikan apel ini” adalah sebentuk metode pengajaran–yang mendobrak batas konvensi–tapi kami tetap saja kurang paham buat apa.
Toh akhirnya kau tetap membiarkan kami sedikit bingung dan malah memilih keluar kelas, seolah tak hendak mengganggu “kerja penelitian” kami. Dengan sedikit malu-malu, naif, dan bingung, akhirnya kami jalankan perintahmu. Pertama-tama, kami hanya melihat apel dari tempat duduk kami dan hanya berusaha mendeskripsikannya dari jauh. Lama-kelamaan, kami mulai menikmati “permainan” itu dan mulai berani menyentuh, mencium, dan bahkan akhirnya memakan apel itu. Apel itu jadi tak utuh lagi: hampir sebagian besar kami memakannya sedikit-sedikit dengan satu gigitan kecil, menciuminya, dan mengelus-ngelusnya seolah ia seorang kekasih.
Setelah beberapa menit, kau kemudian masuk kembali, menyuruh kami mengumpulkan hasil deskripsi tentang apel itu, lalu memberi sebuah penegasan. “Hakekat dari penelitian kualitatif,” demikian kira-kira katamu, “adalah penghayatan terhadap data. Seorang peneliti yang baik adalah peneliti yang mampu menggauli sumber datanya dengan sangat dekat.” Kami akhirnya lega, dan tahu bahwa “permainan mendeskripsikan apel” itu berakhir dengan sebuah kesimpulan yang amat sangat nyata, dan belum saya lupakan hingga akhirnya saya menulis tulisan ini.
Sampai hari ini, saya selalu menganggap bahwa “permainan mendeskripsikan apel” yang kau ajarkan itu adalah salah satu metode pengajaran paling baik yang pernah saya dapat di universitas tempat kita bertemu. Ah, kau tahu, di universitas negeri yang terletak di sebuah kota yang tak terlalu besar ini, adalah sebuah keistimewaan bisa mendapat pengajaran dengan metode yang unik semacam itu. Dan, sebuah keistimewaan yang lebih tentu saja bisa bertemu dengan kau: salah seorang pendidik yang memiliki keluasan pengetahuan dan metode berpikir paling sistematis di kampus yang sering salah disebut ini.
Selamat jalan, Bapak. Saya tahu, Tuhan akan memberi Bapak tempat yang layak.
Sukoharjo, 18 Oktober 2007
Haris Firdaus
Komentar