Pamflet Paling Buruk Tentang Bagaimana Menumbuhkan Semangat
pada: p
Setiap manusia mungkin punya waktu untuk berhenti. Tapi kalaupun yang demikian itu benar adanya, maka manusia yang baik adalah manusia yang berhenti sejenak saja. Ia berhenti untuk menghela sedikit napas, mengistirahatkan otot dan otaknya, atau sekedar melihat pemandangan yang menimbulkan kelegaan dan semangat. Setelah itu semua, manusia yang baik adalah manusia yang kemudian segera membenahi tasnya kembali, mengambilnya dari tempat ia meletakkan semula, lalu mencangklongnya ke pundak dan siap kembali berangkat.
Tentu saja, beban yang coba kita hilangkan saat berhenti sejenak itu tak mungkin terhapus semua dan selamanya. Ia masih saja menempel di tas yang bertengger di pundak, atau suatu saat dalam suatu waktu kita akan teringat kembali padanya dan menangis dan merasa hidup kita telah jauh lebih buruk. Tapi, siapa takut?
Ya, kenapa kita mesti takut dengan beban yang masih tersisa itu, yang suatu saat akan menghantui kita kembali lalu bahkan membikin kita menangis? Sebenarnya, ketakutan tetap sah saja hadir. Masalahnya, kalau kemudian ketakutan itu membuat kita menunda-nunda perjalanan yang lebih jauh dan jauh lebih bermanfaat, maka buang saja ketakutan itu di tong sampah lalu buang tong sampah itu ke laut dan berdoalah semoga laut banjir dan tong sampah itu tak akan kembali selamanya dalam hidup kita. Lakukan semuanya itu dan berdoalah, lalu kemasi barangmu sendiri dan berangkatlah: dengan atau tanpa ketakutan!
Saya tahu, Dik, semua kata dan kalimat dalam tulisan ini adalah tuturan yang terlampau bijaksana buat saya—orang yang selama hidupnya mengalami banyak ketakutan dan belum bisa membuang semuanya ke tong sampah. Tapi seorang yang kecil, adakah ia tak boleh menulis hal besar? Juga, adakah seorang yang kecil, selamanya tak boleh menyemangati orang lain yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri dengan sesuatu yang besar, dan terkadang hiperbolis dan menggebu?
Setahu saya, tak ada manusia yang paling edan sekalipun di dunia ini yang mengeluarkan larangan yang demikian. Maka, sejak mula, saya katakan: tulisan ini adalah sebuah pamflet yang mungkin saja paling buruk tentang bagaimana menumbuhkan semangat. Tapi tolong biarkan saya merampungkan pamflet yang buruk ini. Karena selamanya saya sebenarnya tak rela ketika harus melihat kau tetap saja berhenti pada titik yang itu-itu juga. Selamanya saya mungkin akan mengutuki diri saya sendiri karena tak mampu membuat kau kembali berjalan dengan tegap. Saya seringkali merasa bodoh—atau memang demikian?—karena tak pernah mampu membuat kau mau menikmati kembali perjalanan yang saya tahu bisa kau tempuh dengan kecepatan yang bahkan melebihi saya.
Maka, ijinkanlah saya melanjutkan tulisan ini. Ijinkanlah saya kembali mengatakan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang tahu suatu saat ia akan kelelahan karena perjalanan atau malah selamanya ia akan tenggelam dalam perjalanan, tapi ia tak memilih berhenti dari perjalanan. Ia tahu perjalanan memberinya resiko bukan saja air mata tapi juga sebuah celah dari putus asa. Ia tahu bahwa dalam perjalanan itu, suatu saat, ia akan ingat bahwa ada orang yang pernah menyakitinya dengan amat sangat sehingga ia pernah berhenti untuk sekian lama dari perjalanan itu. Ia juga tahu, bahwa ketika ingatan itu kembali timbul maka mungkin perjalanannya akan terhenti untuk selamanya.
Tapi manusia yang baik adalah manusia yang mengetahui semua itu dan tetap saja menempuh perjalanan dengan bekal yang paling sedikit sekalipun. Dan manusia yang baik adalah manusia yang tahu bahwa dalam sebuah perjalanan, ia tak selamanya sendirian. Barangkali akan ada manusia yang selalu saja tersedia buat kita, seperti halnya kita tahu bahwa kita sebenarnya selalu saja tersedia buat manusia lainnya. Pada titik kesadaran yang demikian, sebenarnya manusia yang baik adalah manusia yang merasa paling rugi ketika ia harus lama-lama berhenti pada sebuah titik yang tak memberinya apa-apa kecuali rasa sesal yang terus-menerus dan rasa takut berlebihan yang tak bisa ia buang ke tong sampah karena tak ada tong sampah yang cukup buat rasa takut itu.
Saya tahu, saat ini, kau sebenarnya tak sedang persis berhenti pada satu titik. Tapi obrolan-obrolan jarak jauh kita, belum lama ini, menyiratkan pada saya bahwa terlampau banyak beban yang kau ingat yang akhirnya membuat kau bukan saja tak bisa berjalan dengan tegap tapi juga langkahmu sebenarnya hanya berputar-putar pada titik itu. Saya menulis semua ini, di sebuah siang yang membuat saya teringat bahwa kau seharusnya bisa berlari dengan cepat. Saya menulis ini karena tahu bahwa manusia—termasuk kau—seharusnya menjelajahi banyak titik dan tak berhenti pada satu titik karena sebuah kesedihan.
Saya tahu bahwa kesedihan adalah selamanya kesakitan. Saya juga tahu—meski tak selamanya paham—bahwa kesakitan adalah sebuah beban berat yang membuat kita terguncang. Tapi, ah, kau juga seharusnya paham: banyak sekali manusia lain di sekeliling kita yang akan membuat guncangan itu jadi lebih tidak terasa. Kau juga paham: banyak hal lain yang bisa kita usahakan agar guncangan itu lama-lama berangsur hilang.
Maaf, Dik, tulisan ini adalah tulisan paling sok tahu dari seorang yang sebenarnya tak terlampau tahu tapi merasa harus tahu sesuatu ketika orang yang telah ia anggap adiknya sendiri membutuhkan dia untuk menjadi orang yang tahu. Jadi, beri pemakluman yang banyak kalau kau menemukan banyak omong kosong di sini, juga sebuah “bombasme kebijaksanaan” paling jelek yang pernah kau baca.
Sukoharjo, 20 Oktober 2007
Haris Firdaus
manusia yang baik, sekaligus bijak adalah manusia yang tahu kadar diri dan kapasitas dirinya, tapi ia akan jadi cengeng untuk selama-lamanya, jika ia masih saja tetap larut dengan masa lalu. apapun warna masa lalu itu, baik susah ataupun senang.
buat haris, met lebara, mohon maaf lahir dan batin
manusia yang baik adalah… manusia yang sadar kalo dirinya sendiri tidaklah sebaik manusia lain. tapi… sepertinya saya jadi manusia jahat yang baik di hidup P. hmmm….
Ris, sori klo aku bikin pikiranmu tambah karut marut.