Sebuah Topik yang Hari Itu Tak Kita Tuntaskan
Kita tetap tak meninggalkan tempat duduk ketika hari sudah makin siang, dan perpustakaan kampus makin sepi. Semakin sedikit mahasiswa yang betah ada di sana. Buku-buku yang berderet rapi di rak-rak itu, tentu saja, untuk sementara, menganggur. Cuma beberapa orang yang masih hendak menikmati buku-buku itu.
Dan kita, duduk berdampingan di sebuah tempat paling belakang. Buku-buku memang berserakan di atas meja yang kita hadap. Tapi siang itu, bukan buku-buku itu yang terutama berkesan. Yang berkesan justru percakapan kita siang itu yang mengalir dengan banyak nada: sedikit terbata, sedikit gembira.
Dari banyak cakap dengan beragam nada yang mengalir itu, saya selalu mengenang satu topik yang hari itu kita bicarakan dengan sedikit “intensif”: cita-cita. Bagi manusia seperti kita, dengan umur yang terus saja melaju, topik itu barangkali bukan suatu yang istimewa. Tapi kita tahu: di samping umur yang melaju itu, ada yang tetap tinggal. Semacam keremajaan, semacam gairah untuk gembira, dan mungkin main-main. Kita, barangkali, sebuah paradoks yang terjadi saat transisi umur sedang terjadi.
Di satu sisi, kita tahu bahwa usia kita makin tua, dan karenanya akan lebih banyak tuntutan pada kita. Di sisi lainnya, kita tetap suatu generasi yang belum sepenuhnya beranjak dari sebuah pemikiran bahwa pragmatisme dalam hidup adalah sesuatu yang kadang tak perlu. Masih saja ada hal yang kita anggap lebih indah dari pada sekedar sesuatu yang efisien dan efektif. Selalu ada yang lebih menggairahkan dari pada hidup yang pragmatis.
Maka, kita berbincang tentang cita-cita dengan sekian banyak paradoks. Satu sisi, kita mesti realistis: bahwa hidup pada akhirnya harus dicita-citakan. Kita toh kini masuk dalam kategori “mahasiswa semester akhir” yang mudah sekali mendapat pertanyaan tentang masa depan yang membosankan itu. Saat ini, tentu saja kita tak lagi akan diperlakukan sebagai “mahasiswa baru” yang menatap dunia dengan gairah yang jauh dari pragmatisme. Optimisme telah berkurang, bukan karena pesimisme memenuhi hati kita. Tapi karena kita tahu, bahwa hidup memang bukan hanya berisi optimisme yang kekanakan.
Hidup pada akhirnya memang sebuah perencanaan. Tapi sekaligus, juga sebuah pilihan. Maka dari itu, kita menyimpan sisi yang lain dari hidup yang selalu penuh dengan cita-cita. Kita ingin gembira, dan bebas, sambil bisa tetap hidup dengan layak. Kita ingin punya cita-cita sebuah masa depan yang bisa kita nikmati dengan begitu dahsyatnya, sekaligus mampu menghidupi kita. Saya tahu, barangkali ambisi macam ini adalah ambisi remaja yang terlalu banyak memiliki sifat kanak-kanak. Pada akhirnya, kalau kita ikuti petuah para orang tua, hidup adalah proses yang berisi kerja keras dan pengorbanan, bukan?
Iya, kita memang bukan orang yang tak terlampau akrab dengan kerja keras, juga pengorbanan. Masalahnya, kau tahu, kita tak bisa lagi menjalani hidup dengan dua hal itu yang kita pandang dengan menggairahkan. Suatu saat, kita mungkin harus meninggalkan semua yang kita sukai saat ini: organisasi mahasiswa, persahabatan yang kadang begitu remaja, jalan-jalan tanpa beban di sebuah kota yang tak terlampau kita kenal, dan lain-lain, dan lain-lain.
Memang selalu tersedia sebuah pilihan yang tetap menyenangkan: cita-cita yang kita gapai itu, adalah pemenuhan kebutuhan “rohani” sekaligus kebutuhan dalam arti yang paling denotatif saat ini. Tapi, selalu ada kemungkinan lain. Selalu ada sebuah peluang yang mungkin saja meleset, mungkin saja bertolak belakang dengan keinginan kita. Tapi, kita mungkin tak menghiaraukannya dengan berlebih saat itu.
Saat itu, saat di mana kita membincangkan tentang cita-cita di sebuah siang pada hari-hari akhir Ramadhan itu, kita berusaha membuat cita-cita yang indah. Kau, misalnya, mengatakan bahwa menjadi pegawai negeri sipil itu enak. Bukan karena kerjanya yang tak keras tapi gajinya konstan, tapi karena dengan menjadi PNS kita tetap saja bisa menyalurkan hasrat kita pada hal-hal lainnya. Kau bisa tetap jalan-jalan, saya mungkin masih bisa nge-blog dan menulis puisi. Tapi katamu kemudian, lebih enak jika kita bekerja dalam sebuah bidang yang juga merupakan hobi kita, semacam kebutuhan rohani kita.
Iya, saya mengangguk. Tapi saya tahu bahwa menggapai cita-cita macam itu adalah sesuatu yang sulit. Bahkan, mencari cita-cita yang demikian saja sebenarnya sesuatu yang menemui kesulitan tersendiri.
Lalu kita berbincang tentang seorang kawan kita yang seniman, yang bulan depan hendak menikah. Sebagai seorang seniman “idealis”, ia—kawan kita itu—hidup dengan dunia yang ingin digapainya sendiri. Ia mengelola sebuah buletin dan pernerbitan buku, tapi dari keduanya ia tak mendapat bayaran. Justru, ia sering mengeluarkan uang untuk keduanya. Lalu, ketika ia hendak menikah, tentu saja sebuah kesulitan menghadang: dari mana ia dapat biaya pernikahannya?
Satu-satunya cara yang paling realistis adalah dengan meminjam. Tapi, meski kesulitan macam itu datang, kawan kita itu tak hendak murung: agaknya hidup yang demikian adalah hidup yang telah ia pilih. Ketika kemudian saya bertemu dengannya, ia tetap antusias berbincang tentang sastra, puisi, dan hal-hal yang baginya menggairahkan. Barangkali ia menyimpan sebuah optimisme: suatu saat, mungkin nasib akan berubah.
Iya, nasib memang mungkin saja berubah. Tapi, seperti kukatakan padamu siang itu: kisah hidup kawan kita itu adalah kisah yang indah diceritakan tapi sedih kalau kita yang harus menjalaninya.
Duh, hidup mungkin saja memang membingungkan, penuh paradoks, dan kadang kita tak tahu harus ke mana.
Sukoharjo, 13 Oktober 2007
Haris Firdaus
Komentar