Semacam Pelajaran dari Kawan Lama
Salah satu kebahagiaan saat kita berkumpul dengan teman-teman lama adalah kesadaran bahwa kita telah jauh bertambah dewasa. Tentu saja “dewasa” bisa berarti banyak hal. Tapi kedewasaan sebenarnya dengan mudah bisa kita lihat dari cara bicara, mimik muka, dan bagaimana kawan kita menyusun argumen-argumen dalam obrolan. Kesadaran ini saya kira merupakan sebuah kebahagiaan karena kita tahu bahwa ada yang berubah, dan hidup senantiasa bergerak maju.
Kebahagiaan inilah yang juga saya temukan ketika beberapa hari lalu saya bertemu kawan-kawan lama dalam sebuah camping di kaki Gunung Lawu. Di tengah hutan, saat matahari bersinar redup, dan pepohonan yang basah karena embun, saya tahu bahwa ada yang telah banyak berubah dari kami. Kami jadi jauh lebih serius dalam bicara soal masa depan. Tiba-tiba kami jadi lebih bisa bicara dengan serius dan tanpa banyak canda ketika seorang kawan membuka obrolan tentang cinta, pacaran, pernikahan.
Maka, obrolan seputar topik itu mengalir dengan dialog yang kaku, raut muka yang ditekuk serius, dan argumen-argumen yang dibumbui “filsafat tahap lanjut”. Sesekali sebagian dari kami merenung, mengingat masa lalu, kemudian kembali bicara dengan lebih mantap. Persoalan cinta, pernikahan, persoalan konflik dalam hubungan asmara, tiba-tiba berubah jadi persoalan yang penting dan serius untuk diperebatkan.
Sebagai orang yang tak terlampau banyak pengalaman tentang topik-topik itu, saya lebih banyak diam. Siang itu, saya ingin mendengar sebanyak-banyaknya mereka ngobrol serius karena saya tahu bahwa kesempatan yang begitu sangat jarang didapat. Saya menyimak dengan baik ketika seorang kawan yang kini telah berstatus sebagai guru berkonsultasi tentang kado apa yang mesti ia berikan untuk kekasihnya yang sebentar lagi ber-ulang tahun. Ini topik yang sepele dan sudah banyak yang mengulasnya. Tapi hari itu, obrolan tentang “kado yang tepat” adalah obrolan yang tak mudah selesai.
Seorang kawan memberi sebuah usul yang sedikit “bijaksana”. “Kado yang baik adalah kado yang merupakan hasil karya pribadimu,” kata kawan perempuan yang agaknya berpengalaman soal perkadoan itu. Kawan yang lain menyanggah dengan senjata “filsafat” yang akhirnya membuat kami semua takluk. Katanya, “Kado terbaik untuk kekasihmu adalah kehadiranmu. Ketika kau hadir di sampingnya saat ia ber-ulang tahun, maka sebenarnya itu sudah cukup.” Masing-masing dari kami tertawa dan terkejut karena ucapan kawan saya itu agaknya bisa diberi penghargaan sebagai “Ungkapan Terbaik tentang Kado Ulang Tahun”.
Selesai persoalan kado, obrolan berlanjut soal selingkuh. Seorang kawan—yang tentu saja laki-laki—bertanya dengan serius bagaimana sebenarnya kategori selingkuh itu. Semua kawan menanggapinya dengan serius. Kawan saya itu kemudian bercerita tentang pengalamannya berhubungan dengan dua perempuan sekaligus, meski dengan status yang berbeda. Dan akhir ceritanya adalah sebuah ending yang mirip dengan sinetron kuno: ia dipergoki oleh dua perempuan itu sekaligus dan disuruh memilih satu di antaranya.
Kalau saja saya melihat adegan itu di sinetron, saya pasti akan tertawa sepuasnya dan mengatakan bahwa adegan itu adalah adegan paling klise sekaligus membosankan yang pernah dibuat oleh sinteron. Tapi hari itu saya mendengarnya langsung dari seorang kawan, dan saya tentu saja tak tertawa. Saya semakin sadar: kawan-kawan saya sudah banyak berubah.
Ya, mereka memang sudah bukan seorang siswa SMA yang pacaran untuk mencari kesenangan dan memenuhi tuntutan gaya hidup. Kawan-kawan saya itu kini memandang persoalan cinta dengan kaca mata yang lebih dewasa. Cuma saya yang agaknya tak banyak mengalami kemajuan. Saya tetap saja diam ketika banyak kawan mengungkap persoalan cinta mereka. Saya hanya mendengar dan rasanya terlampau sulit membagi persoalan yang demikian, sekalipun terhadap kawan yang mirip saudara saya sendiri.
Ketika kemudian seorang kawan dengan percaya dirinya menebak bagaimana pandangan saya soal cinta, saya tersenyum kecut, sekaligus malu. Tebakan kawan saya itu banyak benarnya. Tapi di siang itu, saya juga hanya diam dan tak memberi reaksi apa-apa. Barangkali, dalam benak saya, masih ada pemikiran bahwa persoalan yang demikian adalah persoalan yang tak perlu diungkap pada banyak orang.
Bagaimanapun, saya merasa telah mendapat banyak asupan gizi dari mereka. Apalagi, beberapa saat kemudian, di dalam sebuah tenda, kawan saya yang lain bercerita tentang bagaimana sakitnya mengalami kenyataan bahwa kekasih kita harus meninggal dunia. Sampai tahap-tahap tertentu, saya bisa dengan yakin mengatakan bahwa saat kawan saya menceritakan tentang kekasihnya yang meninggal itu adalah saat di mana ia paling terlihat dewasa. Ia, seperti kemudian diceritakannya, langsung jatuh sakit ketika mendapati kenyataan bahwa orang yang dicintainya itu tak tertolong lagi. Dalam sakitnya, ia bahkan sempat berdoa agar Tuhan mengambil nyawanya sekalian.
Saya hanya bisa mendengar ia terus bercerita tentang bagaimana ia bertemu dan kemudian berhubungan dengan kekasihnya. “Semuanya penuh kebetulan,” katanya. Mungkin karena ia merasa demikian, ia lantas bertanya: “Kenapa Tuhan harus membuat banyak kebetulan yang mempertemukan kami kalau pada akhirnya kami harus berpisah?” Barangkali, kawan saya itu beranggapan bahwa akan lebih baik bila ia tak bertemu dengan kekasihnya itu. Atau ia sebenarnya memendam perasaan bersalah karena ia tak mampu menjaga kekasihnya agar bisa tetap hidup.
Tentu saja, saya tak mampu merasakan seperti apa kesakitan kawan saya itu. Karenanya, saya tak sanggup mengomentari, atau sok tahu memberi semangat. Yang saya lakukan, sedari awal ia bercerita cuma satu: mendengarkan.
Sukoharjo, 30 Oktober 2007
Haris Firdaus
Komentar