Kesadaran Jadul Seorang Sastrawan
“Saya tak pernah memandang Barat sebagai suatu yang perkasa. Bagi saya Barat adalah penghancur tatanan moral ketimuran. Jadi tak perlu dikagumi. Apalagi dianut konsep estetiknya. Sebagai bagian keberagaman Indonesia, harus kita pegang budaya ketimuran yang adiluhung.”
Baiklah, tarik nafas dulu. Jangan langsung berprasangka bahwa kutipan kalimat di atas saya ambil dari omongan seorang “empu kebudayaan timur” yang telah ompong dengan rambut panjang memutih yang merasa terusik dengan “Barat” dan perlu dengan gigih mempertahankan apa yang ia sebut sebagai “Timur”. Bukan, kutipan di atas bukan kutipan seorang “pemikir timur yang bangkotan cara berpikirnya”. Kutipan itu justru datang dari sebuah golongan yang “seharusnya” berpikiran terbuka dan berani: sastrawan!
Sabar, saya tahu Anda pasti bertanya lebih lanjut: apa iya kutipan kalimat yang meruapkan bau pemikiran jadul itu keluar dari mulut (atau tinta) seorang sastrawan? Jawabnya: iya! Dan sastrawan yang Anda tuduh berpikiran jadul itu adalah nama yang pasti agak asing buat Anda penikmat sastra di Jakarta: Kusprihyanto Namma. Siapa sih dia? Itu lho, cerpenis dan penyair asal Ngawi yang dulu membidani lahirnya RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman), yang karyanya konon dimuat dalam “Sastrawan Angkatan 2000”, yang pernah diundang sebagai pembicara dalam Mimbar Penyair Abad 21.
Hah, pasti Anda kaget setengah mati dan lalu bertanya lagi: kenapa sastrawan yang masuk kategori “Angkatan 2000” dan pernah berbicara dalam “Mimbar Penyair Abad 21” kok masih berpikir dengan struktur pikiran dikotomis-benar-salah yang memisah-misah manusia berdasar kategori aneh “Barat-Timur”? Wah, kalau pertanyaan Anda sudah sejauh ini, saya tak bisa menjawab.
Tapi beginilah ceritanya. Kusprihyanto mencantumkan kalimat yang saya kutip di atas dalam kata pengantarnya untuk Kumpulan Cerpen terbarunya: “Samin”. Kumpulan cerpen yang diluncurkan serentak di 14 kota itu merupakan buku sederhana yang berisi sepuluh cerpen yang telah dimuat di berbagai media. Cerpen-cerpen dalam buku itu—yang semuanya bernuansa pedesaan—sebenarnya unggul dalam kesederhanaan dan cara pandang tokoh-tokohnya yang khas desa.
Tapi, sayangnya, kok ya Kus harus mencantumkan kata pengantar yang buruk dengan berusaha mengintrodusir lagi terminologi “Barat-Timur” yang ketinggalan jaman itu. Sebagai sebuah pengantar, kata pengantar Kus dalam “Samin” tentunya ditulis untuk mengantar pembaca memasuki dunia yang dibangun cerpen-cerpennya. Dan dalam dunia pedesaan yang penuh perlawanan itu, ketulusan manusia sebenarnya banyak mendapat sorotan.
Tapi, bertolak belakang dengan nuansa yang demikian, kata pengantar Kus justru beraroma perlawanan yang tak tulus. Perlawanan Kus terhadap “Barat” dalam kata pengantarnya, saya curigai sebagai sebuah upaya mewujudkan eksistensi dirinya saja. Seolah dengan tampil sebagai cerpenis yang menolak “Barat”, maka buru-buru orang akan melirik padanya, datang pada dia, dan mengucapkan: “Pak Kus, Anda hebat. Saya kagum dengan Anda!”
Tentu saja saya bisa salah. Tapi “perlawanan” bukanlah narasi besar jaman ini lagi. Apalagi sebuah perlawanan terhadap “Barat” sambil merasa diri sebagai yang “Timur”. Sungguh, narasi demikian sebenarnya sudah tak akan mampu membangkitkan simpati apa-apa lagi. Sebab, dengan banyak pemikir sosial yang hadir dengan konsep kebudayaan yang asimilatif dan globalisasi yang “tak tertolak”, dikotomi “Barat-Timur” adalah dikotomi paling rentan terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis.
Seperti yang sudah-sudah, saya pun bisa mengajukan pertanyaan “kritis” yang di jaman sekarang sudah terdengar lazim itu: Siapa sih “Barat” dan siapa sih “Timur”? Bagaimana membedakan keduanya secara tegas? Bagaimana sih membuat yang “Barat” tetap jadi murni tanpa “Timur” sama sekali, juga bagaimana melakukan hal sebaliknya? Dan bagaimana sih wujud kebudayaan “Timur yang adiluhung” itu? Dalam sastra, siapa sih “Barat” itu? Apakah yang luar negeri mesti “Barat”? Kalau “Barat” adalah Eropa dan Amerika Serikat, apa iya sih konsep estetik “Barat” akan merusak tatanan moral “Timur” yang adiluhung itu?
Pertanyaan itu masih bisa didaftar lagi dengan deret yang panjang. Tapi, Anda pasti tahu lanjutan dari semua pertanyaan itu karena Anda saya yakin bukan seorang “sastrawan jadul lagi”. Muara semua itu adalah bahwa batas antara “Barat-Timur” sebenarnya telah meruntuh. Atau, jangan-jangan, batas yang kukuh yang diandaikan memang memisahkan secara tegas “Barat-Timur” itu adalah sebuah “batas yang fiksi”.
Maka, perlawanan Kus sebenarnya adalah “perlawanan yang fiksi”. Ia berimajinasi bahwa “Barat” adalah entitas real yang benar-benar terstruktur secara jelas dan secara yakin telah membuat definisi bahwa “Barat” berbeda dengan dirinya yang “Timur”. Padahal batasan antara dua kebudayaan tak bisa dibedakan secara pasti lagi saat ini, sebuah waktu di mana masyarakat sebuah negara bisa menjadi “warga negara dunia”. Dan masuknya kita dalam tata hidup yang tak mementingkan identitas “Barat-Timur” itulah yang seharusnya membuat kita bisa berpikir lebih baik bahwa menganggap semua yang “Barat” adalah buruk dan “penghancur tata moral ketimuran” adalah sebuah anggapan yang tak sesuai lagi dengan perkembangan pemikiran sosial dewasa ini. Kesadaran yang demikian, karena itu, adalah kesadaran yang telah ditinggalkan masyarakatnya.
Sukoharjo, 6 Nopember 2007
Haris Firdaus
Saya juga tidak menganggap orang Barat lebih pintar dari kita, hanya sistem mereka yang lebih sistematik. Dan itu salah mereka juga, kita kelamaan dijajah.