Saya Tak Bisa Melukis Kehilangan Itu
Saya tak terlampau tahu, adakah saya sudah melupakan bagaimana rasanya kehilangan, ataukah sejak lama saya memang tak paham bagaimana sebenarnya rasa kehilangan itu. Entahlah, saya merasa tiba-tiba tak tahu bagaimana melukiskan sebuah kehilangan dengan kata-kata, ketika dengan berbisik kau bertanya: “Apa yang kau rasakan ketika dulu ayahmu meninggal?”
Saya terdiam, bukan karena sedih dengan pertanyaan yang demikian. Saya diam semata-mata karena saya bingung: harus dengan kalimat yang bagaimana saya melukis perasaan kehilangan itu? Akhirnya, setelah sempat terdiam sejenak, dan memikir kata yang tepat, saya menjawab kalimat tanyamu dengan sebuah kata pendek: “Kaget.”
Ya, satu-satunya perasaan yang masih saya ingat ketika lima tahun lalu ayah saya meninggal dunia adalah kaget—di samping tentu saja sedih. Bagaimana tidak kaget bila di pagi hari kita masih melihat ayah kita sehat bugar, tapi beberapa jam kemudian kita dapati ia telah meninggal. Begitulah yang terjadi pada saya.
Pada Jumat pagi itu, ketika saya melangkahkan kaki menuju tempat biasa saya menunggu bus sebagai kendaraan ke sekolah, saya masih sempat bertemu ayah. Ia masih sanggup menyetir mobil, bersama ibu saya sehabis belanja ke pasar. Saya masih tersenyum padanya, dan ia membalas senyum saya. Tak ada perasaan apa-apa. Tak muncul firasat yang macam-macam. Hari itu, saya pikir, akan berlalu dengan hari yang seperti biasa: saya sekolah, pulang, makan, tidur, bangun, dan seterusnya.
Tapi hari itu tak berakhir dengan biasa. Belum selesai pelajaran di kelas saya tuntaskan, seorang guru memanggil saya. Ia bilang: “Bapakmu sakit. Sekarang saya antar kamu ke rumah sakit.” Mulai saat itu, perasaan saya sudah tak enak. Jangan-jangan, kata “sakit” hanyalah sebuah eufemisme buat menunda berita kematian itu. Sampai rumah sakit, saya tahu: perasaan saya benar. Disambut ibu yang menangis, saya kemudian mendapati ayah telah tiada. Ia dipanggil Tuhan beberapa jam sebelum saya tiba.
Ibu memeluk saya, sambil menangis. Saya tak tahu mesti bagaimana. Saat itu, saya hanya pemuda belasan tahun yang terlihat sok tapi sebenarnya tak mampu berpikir terlampau banyak. Saya hanya diam. Merasakan tangan dan tubuh ibu yang memeluk saya, dan mendengar ia menangis. Saya masih terus saja diam, dengan raut muka berusaha tegar. Seolah saya adalah seorang dewasa yang siap ditinggalkan. Tapi di hati, saya juga turut menangis, sambil masih merasa kaget dengan waktu yang demikian cepat merubah keadaan.
Ketika mengingat momen itu kembali, saya sadar: manusia memang tak bisa berbuat terlampau banyak. Barangkali kita hanya harus menerima, tanpa sanggup menarik hikmah apa-apa. Pada momen yang demikian, seolah kebijaksanaan tak lagi berguna. Kedewasaan juga tak membantu. Sebab, pada saat kesedihan tiba, manusia akan selalu kembali pada nalurinya yang paling dasar: kanak-kanak.
Dan seorang kanak-kanak, kita tahu, adalah seorang yang gampang mengumbar tangis sebagai tanda kesedihan sekaligus ketakutan. Kesedihan, juga ketakutan, dalam kamus orang dewasa adalah dua hal yang harus diatasi oleh manusia. Ia mesti ditaklukkan. Tapi pada kanak-kanak, keduanya tak dibendung. Keduanya diberi tempat. Kanak-kanak memang makhluk yang picik, tapi justru karena kepicikannya itulah ia punya saluran emosi yang lebih mapan. Mungkin karena itulah, seorang dewasa adalah seorang yang pada kondisi tertentu akan kembali menggauli sifat kanak-kanak.
Ah, seperti kau bilang, persoalan yang kau dan saya hadapi memang beda. Dulu, kesadaran akan kehilangan itu belum tumbuh. Saya masih mengira bahwa saya akan tetap bersama ayah sampai waktu yang belum saya duga. Tapi nyatanya, tidak. Ayah saya pergi dan saya dapati diri saya sebagai seorang pemuda tanggung yang serba bingung mengambil sikap karena kehilangan yang demikian tak pernah saya sangka, dan otomatis, tak pernah saya persiapkan.
Tapi ketiadaan kesadaran itulah yang membuat saya tak mengalami ketakutan yang macam-macam selama ayah saya sakit. Dan kau sebaliknya. Kau mengalami ketakutan-ketakutan ketika kau dapati seorang yang paling dekat denganmu sakit dan divonis dengan berat. Saya tahu, bagaimanapun ketakutan itu tak mungkin dibendung. Juga kesedihan yang kadang berlarut-larut. Keduanya hadir sekaligus, dan kita mungkin sadar: betapa beratnya bayangan sebuah kehilangan. Betapa menyakitkannya bayangan apabila kita ditinggalkan.
Bayangan seperti itulah yang agaknya sedang mendekatimu. Tapi kau pun tahu: barangkali kita tak akan kuasa menolaknya. Ia bisa saja tetap hadir seberapa kuat penolakan kita atasnya. Lalu, mesti bagaimana? Saya tak tahu. Saya hanya ingin diam dan mendengarkan ketika kau bercerita tentang semua ketakutan itu. Saya tak ingin bicara terlalu banyak karena tahu: bicara pun terkadang tak berarti apa-apa.
Sukoharjo, 7 Nopember 2007
Haris Firdaus
Komentar