Yang Punya Otak, Bisa Ditaruh Dulu
Membaca buku “sajakkartun” karya Nasirun PurwOkartun yang berjudul “Sajak dari Republik Kartun”, kesan saya mula-mula sama dengan Dwi Susanto, pengajar Sastra di Universitas Sebelas Maret, Solo. Seperti Dwi, saya lebih tertarik pada kartun-kartun dalam buku itu ketimbang sajaknya. Tapi beda dengan Dwi, saya tak menyayangkan bahwa Nasirun ternyata belum mampu membuat sebuah “genre” baru dalam persajakan Indonesia.
Ya, Nasirun memang belum membuat sebuah genre baru dalam persajakan Indonesia, sebab seperti dinyatakannya sendiri dalam kata pengantar bukunya, sajak dalam karyanya hanya sebuah “media”. Isinya, alias ruh karyanya itu, tetaplah kartun. Maka, wajar kalau kemudian Nasirun mengatakan bahwa dirinya lebih baik disebut sebagai “kartunis” dan bukan “penyair”. Karena memanfaatkan sajak hanya sebagai “media” dan tampaknya tak ada keinginan buat menekuninya lebih lanjut, mana mungkin Nasirun bisa membuat sebuah genre baru dalam persajakan Indonesia?
Sejak awal, Nasirun sudah memaklumkan bahwa pembuatan “sajakkartun” adalah sebuah upaya mengubah kartun menjadi sajak. Sajak hadir sebagai “yang kedua” di sana dan otomatis bukan hal ihwal yang utama. Secara historis, pembuatan “sajakkartun” dilatarbelakangi oleh larangan menampilkan kartun yang berbau protes politik saat orde baru berkuasa. Saat itu, karena dilarang menyiarkan kartun-kartunnya yang berisi kritik terhadap kondisi dalam negeri Indonesia, Nasirun mengubah kartun-kartunnya menjadi sajak. Kata-kata dalam sajaknya, diusahakan mirip dengan kartun: menyindir secara sosial, tapi tidak dengan kata-kata tajam. Sindiran dalam “sajakkartun” adalah sindiran yang membuat tersenyum, dan bukan membikin marah.
Sebagai konsekuensi dari pilihannya, sajak-sajak Nasirun tentu melenceng dari “konvensi” persajakan pada umumnya. Kata-kata Nasirun lugas, mengalir tanpa metafora yang berarti, dan tanpa strategi literer yang memadai. Nasirun hanya berusaha membuat kata-kata yang lucu, yang bisa diterima, sekaligus berusaha cerdas. Saya yakin, Nasirun tak akan membikin puas para pengamat sastra, terutama pengamat dan penikmat puisi. Sajak yang dihasilkan Nasirun cenderung seragam baik dalam bentuk maupun isinya, dan jelas tak bisa dinikmati ala “membaca puisi”.
Saya kira Nasirun tahu itu dan ia memang tak sedang memuaskan para pengamat dan penikmat puisi. Ia hanya sedang berusaha berkomunikasi dengan masyarakat dari berbagai golongan tentang berbagai persoalan hidup yang terjadi di Indonesia, dengan harapan mampu membuat orang-orang tersenyum dan bisa sedikit merenungkan berbagai masalah itu. Jadi, sekali lagi, apa yang dilakukan Nasiruyn tak perlu diberi penilaian yang terlalu “serius” terutama dilihat dari segi perkembangan puisi Indonesia modern.
Yang lebih tepat untuk ditanyakan sebenaranya bukan apakah “sajakkartun” Nasirun berhasil memuaskan para penikmat puisi atau tidak, tetapi apakah sajaknya itu mampu memuaskan para penikmat kartun atau tidak? Sebab, seperti telah dikatakan, meski “sajakkartun” berwujud teks literer, ia teruatama bukanlah sebuah sajak, tapi sebuah kartun. Maka, yang perlu ditanya adalah para pakar kartun dan bukan para pakar puisi.
Sampai di sini, terasa ada yang kurang dalam peluncuran buku Nasirun pada Senin (12/11) di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, lalu. Pada peluncuran yang menyajikan berbagai pertunjukan dari mulai pembacaan sajak sampai nasyid itu, yang lebih banyak tampil adalah “bau puisi” daripada “bau kartun”. Dua pembicara yang didaulat untuk memberi apresiasi terhadap “sajakartun” Nasirun adalah dua orang yang berasal dari “kaum sastra”: selain Dwi Susanto, ada Langit Kresna Hariadi, si novelis “Gajah Mada” yang juga ayah teman saya itu. Pemilihan dua pembiacara ini, menyiratkan kecenderungan untuk menilai “sajakkartun” Nasirun secara “sastra”, dan bukan secara “kartun”.
Saya tak tahu kenapa pilihan yang demikian yang diambil. Bukankah Nasirun telah mewanti-wanti bahwa karyanya itu terutama adalah sebuah “kartun” dan bukan sebuah “sajak”? Lalu, kalau sudah ada kesadaran yang demikian, kenapa nekad mencoba melihat “sajakkartun” itu dengan sebuah peneropongan “ala sajak”? Bukankah hasilnya hampir bisa dipastikan tak memuaskan kedua belah pihak?
Tapi, ah, sudahlah. Agaknya mendikotomikan “sajak” dan “kartun” serta mencoba membuat sebuah standar penilaian bukanlah otoritas saya. Lebih dari itu, melakukan kerja yang demikian juga bukan merupakan hobi saya. Jadi, saya hendak mengikuti saran Nasirun saja dalam menikmati buku itu. Dalam peluncuran bukunya kemarin, sebelum membacakan sajaknya, Nasirun sempat berpesan bahwa “lebih baik mendengarkan pembacaan ‘sajakkartun’ tanpa menggunakan otak”. Bahkan, ia sempat menyatakan: “Yang punya otak, bisa ditaruh dulu.”
Sehari setelah peluncuran buku itu, saya membaca buku Nasirun di sebuah siang di kampus saya. Saya membacanya cepat-cepat, dan kadang terhibur dengan gambar kartunnya yang lucu, kadang tersenyum dengan kata-kata Nasirun yang memang kocak, tapi kadang juga tak puas dengan model dan tema kata-katanya yang hanya itu-itu saja. Saya menyelesaikan buku itu dengan ringan, tanpa beban apa-apa, dan merasa telah sedikit terhibur. Yah, namanya saja “pembacaan tanpa otak”.
Sukoharjo, 13 Nopember 2007
Haris Firdaus
Komentar