Aa Gym yang Berhenti
Dari Aa Gym, saya belajar betapa pentingnya berhenti. Minggu lalu, saya melihat ia tampil dalam “Kick Andy”. Penampilan ustadz muda ini di acara yang disiarkan Metro TV itu menarik karena ia telah lama tak tampil di televisi. Ia masih sama: memakai surban dengan gaya yang itu-itu juga, masih suka tersenyum dengan cara yang hampir sama, dan logat bicara kesunda-sundaan yang juga tak berubah.
Tapi saya lihat, wajahnya jauh lebih teduh. Ia tampak lebih tenang, juga lebih menyejukkan. Kata-katanya juga lebih pelan temponya. Nada bicaranya kadang sangat lirih, dan hampir-hampir beberapa kali ia terdengar ingin menangis. Kita semua tahu: ada yang telah berubah dari Aa Gym. Semenjak ia memutuskan menikah lagi, dan kemudian publik Indonesia menganugerahinya gosip dan kabar burung plus tuduhan-tuduhan, Aa Gym memang seperti “berhenti”.
Ia tak muncul di televisi. Wajahnya seperti tiba-tiba lenyap, suaranya yang khas juga demikian. Acara-acara yang diasuhnya secara reguler tenggelam. Dan orang pun seakan lupa bahwa mereka pernah punya Aa Gym. Poligami yang ia lakukan, ternyata membawa dampak yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia perkirakan. Ketika ia “mengumumkan” pernikahan keduanya, masyarakat terpana, ibu-ibu yang menggemarinya sebagian marah dan mengganti namanya amenjadi “Ee Gym”. Bahkan Istana Negara pun merasa perlu ikut campur dengan membawa soal poligami ke rapat di sana.
Poligami yang bagi sebagian orang merupakan urusan privat seseorang, menjadi berubah. Diskusi tentang poligami marak di televisi, dan tiap orang yang ada kaitan dengan poligami dimintai keterangan. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya tahu: ini adalah efek resonansi media massa. Isu yang sebenarnya biasa, dikemas sedemikian rupa, lalu dilempar ke khalayak.
Khalayak menerima isu dengan sekian polesan, sekian dramatisasi, dan hiperbola yang sebenarnya meracaukan pesan komunikasi. Apalagi, sebagian masyarakat kita belum melek media. Mereka tak sadar bahwa realitas media adalah realitas kedua, atau bahkan ketiga. Maka, pesan media dikunyah sebagai realitas faktual. Parahnya, acuan utama sebagian besar masyarakat adalah pemberitaan media. Acuan pembanding hampir-hampir tak dikuasai. Maka, lengkap sudah: drama poligami Aa Gym pun jadi sesuatu yang “seksi” dan dramatik sehingga para pemirsa merasa perlu terlibat, merasa perlu mengambil sikap.
Maka, pengadilan pun terjadi. Aa Gym diadili atas sebuah tindakan yang sebenarnya bukan sesuatu yang “publik”. Bahkan publik sebenarnya tak berhak tahu kalau Aa Gym sudah poligami. Itu murni urusan pribadi Aa Gym. Tapi, di sebuah masyarakat yang terbiasa dengan gosip dan pergunjingan, soal tak penting ini pun perlu dibicarakan—kalau perlu dengan “ilmiah”—dan masyarakat merasa harus memberi penilaian moral.
Lalu, Aa Gym pun berhenti. Ia menyadari situasi tak mengenakkan pascapoligami yang ia lakukan ternyata membawa berkah lainnya: ia bisa istirahat dari sekian aktivitas dakwah yang “entertain” itu. Banyak acara bisa tinggalkan, dan saya bayangkan ia bisa menikmati sebuah sore hari dengan duduk santai membaca koran atau buku sambil bercanda dengan istrinya.
Saya bayangkan ia bisa pergi mengantar anaknya ke sekolah tanpa sorot kamera, tanpa diikuti rasa ingin tahu orang lain, atau nafsu memburu kaum infotainment. Dalam bayangan saya, ia bahagia meski ia kehilangan sejumlah kontrak, beratus juta uang, atau popularitas yang ia bangun seketika lenyap. Tapi seperti katanya, saat-saat berhenti dari kepungan televisi memang sudah ia nantikan.
Sejak aktivitas Aa Gym mulai padat, dan konsentrasi mulai hilang, ia sebenarnya sudah tahu: ada yang berbahaya dari kondisi yang demikian. Rutin membuat orang jadi hamba jadwal. Aktivitas yang padat membuat kesempatan refleksi jadi hilang. Lalu, manusia berpeluang jadi mesin. “Mesin”: kata itu juga yang diucapkan Aa Gym kala ia tampil di “Kick Andy” tempo hari. Ia bilang: “Saat dalam kesibukan itu, saya sudah seperti mesin.”
Pernyataannya itu membuat kaget: betapa seorang da’i sekalipun ternyata tak luput dari penurunan kualitas hidup ke titik yang rawan. Sebagai seorang penceramah, Aa Gym seharusnya tak boleh jadi mesin. Tausiyahnya harus merupakan sebuah ungkapan yang penuh kesadaran, penuh refleksi, dan bukan sekedar “hafalan” yang rutin. Kata-kata yang diceramahkannya seharusnya bukan sesuatu yang telah jadi bagian “di luar kepala”.
Mesin mengindikasikan sebuah manusia tanpa kesadaran yang pasti. Dan bukankah berbahaya apabila seorang penasehat, seorang ulama yang memberi peringatan, ternyata tak sepenuhnya sadar apa saja yang ia ucapkan, dan buat apa semua itu? Bukankah bila kondisi demikian yang terjadi, maka segala nasehat itu hanya akan jadi basa-basi manis yang keluar dari sebuah tape recorder?
Untunglah Aa Gym kemudian mampu berhenti dan kemudian punya banyak kesempatan melakukan refleksi. Dengan begitu, ia bisa membuang kemungkinan jadi mesin.
Sukoharjo, 11 Desember 2007
Haris Firdaus
Aku mau cerita tg ke ngototantku nonton AA GYm di KIck Andy. mungkin tak ada hubungannya dg tulisan Haris . siaran langsungnya di Metro tak sempat ku tonton karena kamis malam itu aku sdh pules. aku berjanji pada diriku mau nonton siaran ulangnya hari minggu jam 3 sore. hari minggu itu kebetulan aku mau ada acara workshop pengorganisasian petani di HOtel INdah Jaya. sebetulnya hari senin wsopnya, cuma peserta dan tamu dari jakarta dari lampung dan jkt datang sore itu. sejak sore aku sdh cek in, dg bawa seabrek brg, komp, lcd, laptop plano dll dg taksi. sampai di hotel masih jam jam 3 krg seprapat lah, kulihat di lobby ada tv, dan di kamr 114 kamarku juga ada TV. Lima menit lagi kick andi main. sdh lama aku ingin nonton, di iklan Aa GYm terlihat menitikkan air mata. pokokny aku pengin dan harus nonton kick andy.
setelah sampai kamar kupindah metro TV tenyata bruett bgt. aduuh kesel bgt aku kata resepsionit semua canel metro di hotel ini bruett. nggak ada suranya. aduuh mati aku, pdhal aku sdh ngebettt bgt pngin nonton acra itu. aku pun lgsung tancap gas ke rumah yuning temenku yg rmhnya tak jauh dari hotel t4ku nginep, yaitu di utara mie psar baru. e sampai disana, tvnya dipakai ponakannya buat nonton kartun, aduuuh. aku pun langsung tancap ke belakang holand bakery rumah kawan yg lain. E apes bgt sampai di belakang mangkunegaran ada moment polisi. aku cek lengkap kbtulan pinjam temen, sbb aku ke hotel naik taksi, kalo pake motorku malah spionnya baru satu.tapi tnyata saking buru2nya dompetku ketinggalan di kamar. aduuuh. sim diantar kawan dg naik taksi krn motornya kubawa. aku kena denda 35 rb.. sampai di rmh kawanku, kick andy sdh hampir habis,…. sebel deh. tulisanmu tg AA GYm yang berhenti itu begitu menggugah kita ya ris, yg kadang hrs dipaksa berhenti. itulah hikmah.. blessing behind accident..
wah2 mbak poetry pengalamannya menarikk banget sikh. lalu, ada hikkmahnya gak mbak pengalaman itu? he2