Melihat Mereka Begitu Agresif, Saya pun Malas
Saya duduk termenung di atas sebuah tikar tergulung. Saya pandangi orang-orang yang lalu-lalang di depan saya. Ada yang mengobrol dengan serius, ada yang berteriak-teriak, ada yang sibuk merapikan alat makan yang baru selesai digunakan. Saat itu, saya bukan berada di sebuah tempat pesta. Saya ada di masjid di kampung saya, termenung melihat orang-orang sibuk sedang mengurus daging Idul Adha.
Siang itu, seluruh hewan kurban sudah selesai disembelih dan selesai diiris-iris. Hampir semuanya juga telah diwadahi dalam plastik hitam dan mungkin tinggal menunggu komando untuk dibagikan. Dari tahun ke tahun, saya lihat rutinitas yang hampir sama: orang-orang berkumpul di pagi hari untuk menyembelih, menguliti, sampai memotong-motong daging dalam ukuran kecil-kecil, lalu siangnya setelah sholat Dhuhur, beramai-ramai makan soto dengan kecambah mentah dan tengkleng.
Saat itulah saya baru menyadari betapa suasana masjid di kampung saya itu begitu hiruk-pikuk. Ramai dengan urusan macam-macam, riuh oleh percakapan dengan nada tinggi, dan sesak oleh orang-orang. Idul Adha di kampung saya berarti juga kegaduhan yang besar. Bahkan kegaduhan yang demikian tak berhenti ketika sholat Dhuhur ditunaikan. Sebagian besar warga malah terlihat tak menjalankan sholat berjamaah, dan lebih memilih tenggelam dalam tumpukan daging.
Berbeda dengan Idul Fitri yang berarti sepi karena banyaknya warga yang pulang kampung, Idul Adha adalah sebuah hajatan bersama. Saya memang melihat sebuah keguyuban di sana: orang-orang datang ramai-ramai buat membantu penyembelihan dengan suka, dan tak keberatan bila harus terciprat darah atau terkena lumpur dari lapangan di samping masjid. Suasana pagi hari sebagian besar diisi dengan teriakan komando untuk menjegal sapi, lalu-lalang orang yang mengangkat daging, dan kadang teriakan-teriakan canda para warga, juga ibu-ibu yang duduk di halaman beralaskan kertas tebal sambil ngerumpi dan mengiris daging.
Suasana siang hari, setelah sholat Dhuhur, ditandai dengan orang-orang yang duduk di serambi dalam masjid sambil makan soto. Setelah soto selesai disantap, makanan lain datang: tengkleng kambing dengan kuah yang kental. Saya tahu makanan yang demikian kurang baik buat kesehatan. Tapi orang-orang tetap saja berebutan. Hampir semuanya merebutkan makanan yang satu itu, dari mulai bapak-bapak pengurus masjid, sampai anak-anak SD yang datang ke masjid untuk bermain dan mengganggu. Dalam suasana berebut itulah, hiruk-pikuk Idul Adha di kampung saya tergambarkan dengan jelas dan kadang lucu.
Bagi saya, aneh saja melihat orang-orang berebut sebuah makanan tertentu dan kadang hampir sangat ngotot dan “menempuh segala cara” untuk itu. Yang membuatnya tambah lucu adalah kenyataan bahwa orang-orang yang berebut itu sebenaranya masih terikat sebuah norma tertentu. Mereka sadar mereka tak boleh berebut seenaknya karena banyak orang tua di situ, dan lagi mereka kan ada di dalam masjid.
Maka, kombinasi keinginan besar merasakan secuil daging yang melekat pada tulang kambing—yang disebut tengkleng itu—dengan perasaan bahwa keinginan itu harus tersalurkan dalam tindakan yang kalau bisa sesopan mungkin tapi efektif, membuat orang-orang itu akhirnya menempuh “cara-cara sindiran”. Ada kawan saya yang tak mendapat bagian mencoba membuat saya ikut tertarik pada tengkleng dan memprovokasi agar saya berinisiatif mengambil tengkleng dari tangan ibu-ibu yang duduk tak jauh dari kami. Merasa provokasinya tak berhasil, ia kemudian berteriak-teriak dengan sedikit keras, berusaha mengutarakan kalau ada kawan di dekatnya yang ingin makan tengkleng.
Sementara usahanya belum berhasil, bapak-bapak pengurus masjid bertindak lebih “agresif”. Sebagian mereka ada yang langsung maju ke barisan duduk ibu-ibu yang “memegang kendali” atas tengkleng lalu tanpa sungkan meminta jatah tambahan. Sebagian lagi bahkan membawa keluar sendiri baskom yang telah tandas isinya, lalu minta tambahan stok. Sebagaian lainnya, “memanfaatkan” istrinya yang duduk di dekat tengkleng yang masih banyak agar tengkleng bisa sampai ke mulutnya.
Kadang saya tersenyum sendiri melihat semua adegan itu. Betapa hasrat untuk memakan sesuatu ternyata bisa membuat manusia kadang “sangat nekad”. Manusia-manusia yang sebelumnya duduk secara rapi itu, karena ingin mendapat tambahan makanan, merasa perlu berdiri lalu mendatangi sendiri tempat di mana makanan itu berada untuk minta tambah, lalu dengan ekpresi wajah puas membawa makanan itu dan memakannya dengan lahap.
Meski tak maniak, saya sebenarnya orang yang bisa dan doyan makan tengkleng. Tapi siang itu, saya merasa terlalu berat mengubah letak duduk saya atau berdiri dan berjalan beberapa langkah demi memakan tengkleng. Rasanya malas kalau demi makanan itu saya mesti melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya sepele itu. Perasaan malas itu timbul begitu saja ketika melihat orang-orang siang itu begitu “agresif” berebut. Rasanya sebal ketika kawan saya menyuruh untuk berinisiatif mengambil makanan itu. Ya, benar-benar menyebalkan. Nafsu manusia untuk memakan ternyata bisa hadir dalam bentuk yang begitu membosankan. Entah kenapa.
Sukoharjo, 21 Desember 2007
Haris Firdaus
Komentar