Patah Hati Itu Mahal
Satu-satunya kesimpulan yang sedikit “berarti” yang bisa saya ambil dari film “Badai Pasti Berlalu”-nya Teddy Soeriaatmadja adalah bahwa patah hati itu mahal. Ya bagaimana tidak, bila seorang yang patah hati dan kemudian sakit hati—ya iya lah masak patah hati kok senang!—harus menenangkan dirinya ke Bali dan menginap di sana sampai berhari-hari di sebuah rumah mewah dekat pantai yang tenang.
Duh, bagaimana tidak mahal, kalau kesakitan hati itu mesti dibayar dengan aktivitas yang hanya baca buku, bepergian di pantai, sedikit melihat senja, dan aktivitas lain yang tentu saja membutuhkan duit banyak karena dilakukan di Bali dan di rumah mewah lagi!
Kalau saja ada orang yang mau bersusah-susah menganalisa film remake itu dengan teori marxis, maka jelas akan didapat kesimpulan bahwa film yang memajang Vino G Bastian dan Raihaanun sebagai pemeran utama itu merupakan sebuah propaganda buat melemahkan semangat kaum buruh guna melakukan revolusi! Tapi, sudah sudah. Toh tak akan ada orang yang dengan sukarela melakukan kerja tadi. Pasti dong, buat apa sih bersusah-susah melakukan analisa terhadap film yang alurnya terasa sebagai sinetron itu?
Oke oke. Saya tahu Tedy “hanya” melakukan remake dan cerita film itu berasal dari novel garapan Marga T. Tapi, bukan berarti posisi yang demikian harus membuat film “Badai Pasti Berlalu” jaman ini jadi terasa keterlaluan aroma sinetronnya.
Semenjak awal, kita sudah disuguhi adegan klise yang tanpa pengembangan: seorang patah hati dengan wajah lesu yang sedang membaca buku di pantai, kadang ditemani siluet senja, dan kemudian datang pria berwajah tampan yang coba menarik perhatian. Ho ho, ada yang pernah membaca rumus ini di sinetron-sinetron kita? Tentu saja sudah ada yang membacanya. Dan kemudian alur mengalir dengan datar, dan hampir-hampir memenuhi logika cerita cinta kebanyakan.
Adegan-adegaan yang kemudian datang silih berganti adalah adegan pemancing emosi yang sayang sekali tidak bisa ditampilkan secara maksimal. Masalahnya, adegan-adegan macam itu sudah terlalu banyak dan sudah sering kita lihat dan kemudian kalau tak ada perbaruan dalam adegan yang demikian, kita tentu jadi bosan. Maka, adegan di mana Vino dan Raihaanun bermesraan tentu jadi adegan-adegan yang biasa saja, tanpa ada emosi yang bisa ikut bangkit.
Adegan di mana Vino mengajak Raihaanun ke toko buku lalu memberi sebuah buku, juga tentu biasa saja. Yang keterlaluan justru adegan di mana Raihaanun melihat buku-buku berserak di dalam mobil Vino lalu bertanya: “Itu semua buku-buku kamu?” Aduh, adegan itu kan sudah ketinggalan jaman beberapa tahun. Bukankah sudah banyak cerita yang mengisahkan seorang wanita yang tertarik pada buku-buku teman prianya lalu berimajinasi bahwa teman prianya itu adalah seorang “intelektual” yang suka baca buku? Saya kira, imajinasi kita tak berkembang ke mana-mana setelah menonton potongan adegan itu.
Untunglah, separo akhir film itu cukup bagus. Alur berjalan lebih cepat dan tak membuang-buang waktu untuk adegan mesra-mesraan dan guyonan para lelaki di sebuah pesta yang garing. Kisah berjalan dengan cepat, dan kita adapati Sisca kemudian salah paham tentang cintanya pada Leo. Waktu yang dipercepat menjadi tujuh bulan kemudian membuat Sisca bertemu Helmy yang manajer restoran dan kemudia Helmy memaksanya menikah dengannya.
Cerita sedih kemudian bergulir terus-menerus: Sisca yang dipaksa kawin, ayahnya yang selingkuh, Helmy yang bejat, dan anak Sisca dengan Helmy yang tiba-tiba meninggal. Parade kesedihan itu terus bertahan sampai akhir dan kita tahu “badai” yang dimaksud dalam judul itu adalah kesedihan-kesedihan yang bergulir itu. Dan akhirnya, Sisca kembali depresi. Sebelumnya, ia telah bertemu kembali dengan Leo yang kini jadi dokter dan menyadari bahwa keputusannya putus dengan Leo adalah sebuah kesalahpahaman yang konyol. Saat itu, kita tahu mulai ada benih keraguan pada Sisca.
Cerita diakhiri ketika Sisca yang depresi kembali memutuskan pergi ke Bali untuk refreshing. Lalu tiba-tiba, saat ia duduk di ayunan depan pantai di mana terdapat banyak pasangan yang sedang pacaran, Leo datang di sampingnya. Ini adegan yang juga aneh, tapi biarlah, demi menambah kedramatisan sebuah sinetron tentu tak apa. Lalu Leo yang masih mencintai Sisca kembali menyatakan perasaanya dan malah nekad melamarnya. Dan Sisca menerimanya lalu film berakhir dengan adegan peluk-pelukan di tepi pantai saat matahari terbenam.
Ah, masak sih, orang yang baru saja kehilangan anak, baru saja minta cerai dari suaminya dan mungkin belum mengurus berkas cerainya, mau maunya menerima lamaran orang lain, sekalipun orang itu adalah orang yang paling dicintainya? Ah, ini kan sinetron, Mas. Jadi, ya boleh dong.
Sukoharjo, 24 Desember 2007
Haris Firdaus
Hahahaha, bukan filem tapi sinetron.