Selamat Menikmati Tradisi!
Bulan ini di Solo sedang berlangsung dua festival kesenian: Festival Bonraja dan Bengawan Solo Festival. Keduanya dilaksanakan berurutan. Festival Bonraja dilaksanakan pada 11-13 Desember sedangkan Bengawan Solo Festival tanggal 14-16 Desember.
Seperti yang sudah-sudah, dua festival itu diisi dengan pentas kesenian tradisi. Banyak group pentas di sana: musik, tari, wayang, kethoprak, dan banyak lagi. Beda dengan tahun sebelumnya, kedua festival itu dipusatkan di Kawasan Sriwedari: sebuah kawasan kesenian di Solo yang kini sedang dalam proses sengketa.
Terus terang, saya sebenarnya agak malas datang dalam dua festival itu. Dalam hati, saya membatin: paling-paling acaranya ya hanya begitu-begitu saja. Kesenian tradisi ditampilkan dengan segala keunikannya—atau yang lebih tepat disebut sebagai “keanehan”—dan para penonton terpukau bukan oleh “isi” dari tradisi itu, tapi oleh gaya mereka menari atau kostum mereka yang aneh-aneh.
Barangkali kecenderungan di atas tak bisa ditolak. Orang-orang Solo memang bukan lagi orang yang paham akan “filosofi tradisi”, tapi orang yang haus akan “budaya” sebagai tontonan. Saya kira kebijakan Walikota Jokowi mengadakan berbagai “acara kebudayaan” atau acara kesenian di Solo sebenarnya tak pernah beranjak dari kecenderungan menjadikan seni sebagai hanya sekedar “tontonan yang menghibur”.
Saya tak tahu akankah kecenderungan di atas diakui oleh para penyelenggara kesenian tersebut, terutama para pejabat di Disparta Solo dan para pegiat event organizer budaya di Solo. Yang jelas, kecenderungan itu akhirnya saya temukan kembali ketika menonton Pertunjukan “Ondo Langit” dalam Pembukaan Bengawan Solo Festival kemarin.
Pertunjukan itu—yang sebenarnya merupakan tradisi masyarakat Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Magelang, dalam meminta berkah terhadap Tuhan agar merahmati anak keturunan mereka—tampil di antara sorot mata orang kota yang “terkagum” dengan keanehan kostum para penari perempuannya yang memakai kebaya sekaligus kaca mata hitam sambil membawa tenggok dan para penari laki-lakinya yang menggunakan kostum dengan rumbai-rumbai mirip suku pedalaman. Saya lihat—tentu saja—banyak wartawan dan fotografer di sana. Saya tebak mereka merasa mendapat objek berita yang lumayan wah. Dan esok hari saya menebak apa yang akan mereka laporkan: sebuah festival yang sangat bagus karena masih memberi ruang pada kesenian tradisi untuk tampil di tengah gerusan arus globalisasi!
Duh, saya bisa tebak: tak akan ada kritik bagi acara macam itu. Saya tak tahu apakah memang festival kesenian macam itu tak usahlah mendapat kritik saja. Biarlah acara-acara demikian terus berjalan, terus ada, dan oleh karenanya Solo akan dianggap oleh orang-orang dari luar kota dan terutama oleh orang-orang bule sebagai “kota budaya” yang masih menganakemaskan tradisi. Biarlah semua orang merasa aneh dengan akhirnya kagum dengan kostum yang macam-macam dari para penampil kesenian tradisi dan tak usahlah berurusan dengan filosofi, hakekat, dan tetek bengek lainnya. Bukankah ini zamannya orang banal berkuasa? Bukankah ini zaman di mana segala hal harus bisa diterima dengan tanpa berpikir, tanpa refleksi, tanpa kerutan di kening?
Ya ya, kalau kemudian itu yang terjadi, maka jangan lagi berpikir secara mendalam kalau anda temukan slogan-slogan bombastis dari festival itu, seperti “Lebih Akrab dengan Tradisi”. Tak usahlah mencoba mengerti apa makna slogan itu. Tak usahlah coba mengkritisi benarkah festival kesenian itu akan membuat masyarakat Solo makin dekat dengan tradisi. Tak usahlah mengira-ira kenapa sih slogan yang bombastis itu harus dipasang dalam sebuah pertunjukan yang merubah seni sekedar sebagai tontonan.
Sudahlah, anda datang ke Bengawan Solo Festival atau Festival Bonraja kan bukan untuk berpikir dengan seksama soal kesenian! Jadi, terima saja semuanya. Terima saja slogan itu dan cobalah percaya bahwa festival tiga hari itu akan membuat anda makin akrab dengan tradisi. Percayalah atau pura-puralah percaya saja kalau semua tontonan yang anda saksikan sebenarnya memiliki filosofi luhur yang mulia meski anda tak tahu apa itu. Lagi pula, niat anda datang kan sebenarnya cuma cari hiburan. Jadi, ya nikmati saja keanehan gerakan tari yang ditampilkan. Nikmati dan cobalah tersenyum dan berdecak kagum—seperti yang saya lihat dilakukan Jokowi sore itu ketika nonton “Ondo Langit”—tiap anda menyaksikan sebuah adegan paling seru dari sebuah tampilan.
“Ondo Langit” atau “Likok Aneuk Nanggroe”—yang asal Nanggroe Aceh Darussalam—kan tidak ada bedanya buat kita, para penikmat kesenian tradisi yang hanya mencari keanehan. Mana yang paling aneh, mana yang paling menggelikan, mana yang paling bagus buat difoto, itu kan yang kita cari. Jadi, kalau anda adalah seorang yang kesepian yang bosan dengan sinetron yang itu-itu saja, atau tayangan infotainment yang tak kreatif, cobalah anda pergi ke festival kesenian tradisi. Di sana, mungkin ada hiburan yang sedikit berbeda dan cukup membuat kebosanan anda hilang. Setelah itu, anda bisa pulang ke rumah, lalu menyimak perceraian Ahmad Dhani lagi. Selamat menikmati!
Sukoharjo, 15 Desember 2007
Haris Firdaus
Komentar