Waktu yang Begitu Kosong
Tahun 2008 hampir tiba dan kita mengalami “penyambutan” yang tak enak. Hari-hari ini, hampir di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur—juga daerah-daerah lain, kita tahu, bencana alam melanda dan banyak korban kemudian berjatuhan. Di Karanganyar, sebuah daerah yang tak jauh dari tempat tinggal saya, ada puluhan orang tewas karena tanah longsor. Di Madiun, ada sesuatu yang lebih menggetarkan: puluhan orang hanyut ke arus sungai yang deras setelah jembatan yang mereka naiki ambrol. Padahal, di Madiun, orang-orang yang hanyut itu sedang “menikmati” tontonan arus sungai yang deras tadi.
Tiga tahun lalu, juga di akhir tahun, tsunami menyapu sebagian wilayah Indonesia. Kita juga jadi tergetar oleh banyaknya korban, dan kerugian material yang ditimbulkan bencana itu. Kini, tepat tiga tahun setelah tsunami, banjir dan tanah longsor yang hadir dan memakan korban yang tak sedikit. Setahun sebelumnya, gempa juga datang pada kita dan tentu saja memakan korban yang tak sedikit.
Ketika situasi seperti ini, ketika kita ada di masa yang rawan bencana, apa sebenarnya arti duka cita? Saya teringat puisi Sapardi Djoko Damono yang meruapkan kesedihan tanpa mendefinisikannya. Puisi itu, “Berjalan di Belakang Jenazah”, adalah sebuah puisi yang terlampau subtil untuk ditemukan konsepnya secara utuh. Baris-baris yang hadir di sana adalah sebuah “pelukisan”, sebuah usaha menimpakan suasana. Baris pertama puisi itu dimulai dengan sesuatu yang menyentuh tapi tak terdefinisikan:
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
Tidak ada definisi di sana. Tidak ada sebuah penerangan atas apa itu kesedihan. Tidak kita temukan sebuah pengungkapan yang pasti, tentang duka cita, dan kenapa duka cita mesti hadir. Yang ada cuma gambaran: angin yang reda, jam yang mengerdip, dan siang yang tak terduga begitu lekas menepi. Gambaran-gambaran itu mengingatkan kita pada waktu—karena ada metafora “jam”—sekaligus pada perubahan, karena ada “angin yang reda” dan “siang yang menepi”. Dan waktu, juga perubahan, adalah semacam ciri bagi sesuatu yang fana.
Ya, hanya sesuatu yang fana saja yang selalu terikat pada waktu, dan hanya sesuatu yang fana saja yang bisa berubah. Sesuatu yang kekal, otomatis tidak mungkin “berubah”, dan selalu berada di atas waktu. Sesuatu yang kekal, selalu berada “melampaui waktu”. Maka, puisi Sapardi tadi memang bicara tentang sesuatu yang fana, dan kita bisa menebak bahwa itu manusia. Kata “jenazah”, tentu saja, adalah simbol kematian: simbol bahwa manusia bisa berubah dan selalu terikat pada waktu. Barangkali karena menyadari itulah, kita bisa menangkap aroma kesedihan pada puisi Sapardi. Meski tak ada pengertian yang baku di sana tentang kesedihan, tapi kita bisa menangkap suasana murung itu.
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Itu bait kedua sekaligus terakhir puisi Sapardi. Masih sama: ada citraan tentang kesedihan dengan “pohon demi pohon yang menundukkan kepala”, juga masih ada citraan waktu: “jam yang mengambang di antaranya”. Tapi Sapardi membandingkan kefanaan itu, dengan sesuatu yang—meskipun juga fana dan bisa berubah—relatif tak cepat berubah, setidaknya di mata manusia: matahari. Maka, Sapardi menulis: “matahari itu juga”, matahari yang—diasumsikan oleh si penyair—belum mengngalami perubahan. Dan “jam”, sebagai simbol waktu, mengambang di antara “yang berubah” dengan “yang relatif belum berubah”.
Sapardi menyusun citraan-citraan bendanya untuk melukis suasana dan tanpa terasa ia merasuki perasaan kita. Tanpa terasa, di bait keduanya itu ada sesuatu yang kontras: “pohon yang menunduk” dan “matahari yang itu juga”. Tapi lebih dari kontras itu, Sapardi menghunjamkan sebaris kalimat yang menekan kesadaran kita akan yang fana: “tak terduga waktu begitu kosong menghirupnya”. Ah, “waktu begitu kosong”? Kenapa citraan ini dipilih? Bukankah ini menggambarkan semacam penggal tempo yang tak diisi apa-apa, semacam rentang jam yang tak digunakan untuk sesuatu yang produktif? Ada yang terasa sia-sia dalam metafora “waktu begitu kosong menghirupnya”. Ada sesuatu yang tak lengkap, semacam perbuatan yang belum selesai, semacam janji yang belum tuntas, juga sesuatu yang tak bermakna apa-apa. Selain itu, jangan lupa, ada frasa “tak terduga” di baris terakhir itu: semacam simbol bahwa manusia terkadang harus menerima takdir tanpa tahu, atau tanpa persiapan sama sekali.
Membaca puisi Sapardi, di tengah bencana yang kemudian terjadi di dekat kita, seolah menyadarkan saya: betapa duka cita adalah semacam takdir yang mengingatkan kita pada kefanaan, juga pada perubahan. Dan manusia, kadang, menerima cobaan yang menimbulkan duka cita dengan tiba-tiba, tanpa menduga sama sekali.
Sukoharjo, 28 Desember 2007
Haris Firdaus
Komentar