Sebuah Harapan dalam Tulisan Pendek
-Saya ucapkan turut berduka cita atas semua ini-
Melihatmu menuruni undakan tangga siang itu, saya akhirnya bisa lega. Meski saya lihat kau berjalan dengan amat perlahan, dan tampak bahwa cara berjalanmu sedikit tak wajar, saya toh tetap menemukan sebuah kelegaan. Bagaimanapun, pertemuan itu menjadi istimewa karena hari-hari terakhir kita adalah hari-hari yang menegangkan.
Saat kita saling berpandangan, kau tersenyum dengan raut muka letih. Saya menyambutmu dengan senyuman pula, dan kemudian menatapmu dalam-dalam. Saya merasa sudah amat lama kita tak bertemu, meski saya tahu itu tidak benar. Saya tanya kabarmu, dan kemudian kita ngobrol beberapa lama. Pertemuan kita hari itu, sekali lagi, seperti menerbitkan kelegaan tersendiri.
Iya, saya tahu, cerita pertemuan kita siang itu sama sekali tidak heroik. Bukan seperti yang sering ditampilkan sinetron-sinetron yang keterlaluan. Cuma, berada dalam hari-hari yang dirundung bencana di dekat kita, bertemu denganmu adalah sebuah kebahagiaan. Akhirnya, setelah lama kita hanya bisa berkabar lewat sms, siang itu kita bisa ngobrol dengan cukup lama, dan saya cukup bahagia dengan itu.
Meski saya tahu: kau capek karena sehari tidak pulang, dan kalaupun pulang, tak ada tempat yang bisa digunakan buat istirahat. Ah, kita sama-sama tahu: bencana memang membikin sebuah kesulitan pada manusia. Banjir yang melanda daerahmu, membuat kau sekeluarga akhirnya mesti mengungsi. Memang, tak ada korban jiwa. Juga, tak banyak kerugian materi yang mesti ditanggungkan. Tapi kecapekan, juga fobia terhadap datangnya air, saya kira, cukup membuat kita semua stress.
Di warung makan saat hari itu kita makan bersama, kau bercerita tentang bagaimana banjir melanda. Ada sebuah nada getir dalam pembicaraan itu. Semacam kelelahan, semacam kebingungan, atau nada sedih yang tak mudah dijelaskan. Saya diam ketika mendengar kau bercerita tentang rumah-rumah yang dipenuhi air, tentang barang-barang yang mesti dipindah ke tempat tinggi, tentang tidur yang tak nyenyak, tentang ibu-ibu berpakaian basah karena terendam banjir yang membawa televisi, tentang pengungsi yang berada di sepanjang jalan, dan banyak lagi.
Saya mendengar semua itu, sambil merasa kasihan. Semua cerita itu, memang saya lihat di televisi. Tapi televisi, juga koran, seperti menerbitkan jarak ketika kita membaca atau melihatnya. Kita memang tahu apa yang tersaji di media itu suatu fakta yang asli. Tapi, sambil kepercayaan itu ada, terkadang ada semacam “perasaan” yang mengatakan bahwa “semua itu tidak terjadi di dekat saya”. Saat kau bercerita tentang semua bencana itu, saya tak lagi bisa mengelak. Akhirnya, saya mau tak mau tunduk dan percaya bahwa semua kejadian itu benar-benar berjarak amat dekat dengan saya.
Saya memandang wajahmu yang sayu yang tampak sedikit tak berselera makan, dan bertanya pada diri saya sendiri: apa yang bisa saya lakukan untukmu? Tapi saya tak menemukan jawaban. Maka, tangan saya menyendok nasi di piring depan saya, sambil terus diam dan sedikit-sedikit mengeluarkan candaan, buat mengusir suasana murung. Saya senang ketika kau tertawa. Sejak dulu, saya memang menyukai saat-saat kau tertawa.
Saya bayangkan akhir-akhir ini kau sangat jarang tertawa. Kesedihan akan lebih banyak merundungmu. Tapi, saya harap, bencana ini tak akan mengubah satu hal: semangat dan optimisme bahwa harapan akan selesainya bencana dalam waktu dekat bukan suatu yang mustahil. Saya selalu mengajakmu berdoa, sambil tetap percaya bahwa Tuhan akan menyelesaikan semua cobaan ini, dalam waktu yang telah Ia tetapkan.
***
Sore hari ketika kemudian kita berpisah, saya berharap bahwa semua akan segera membaik. Air akan segera surut, dan hujan tidak turun lagi sehingga banjir pun tak lagi berulang. Saya harap kau sekeluarga segera bisa menjalani hidup secara normal. Demikian pula dengan banyak korban lain. Mereka yang kini terdampar di GOR Manahan atau Balaikota atau tempat-tempat lainnya untuk mengungsi, semoga bisa segera pulang ke rumah, dan hidup sebagaimana mestinya.
Sukoharjo, 29 Desember 2007
Haris Firdaus
Komentar