Di Antara Puntung Rokok dan Bunga Plastik
Apakah hidup itu semacam imajisme?
Pagi sampai siang tadi saya sebenarnya melakukan banyak hal. Pagi-pagi, setelah bangun tidur dan menunaikan sembahyang, saya menekuni surat-surat Iwan Simatupang pada B Soelarto yang terkumpul dalam Buku “Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966”.
Menjelang agak siang, saya berangkat ke kampus. Mengurusi syarat untuk pengajuan beasiswa, kemudian menemui pembimbing untuk penelitian yang hendak saya lakukan. Setelah semua itu, saya nongkrong di sekretariat organisasi sambil ngobrol tentang persiapan acara yang akan kami gelar.
Di tengah obrolan, Joko Sumantri (Koordinator Redaksi Pawon Sastra) mengirims sms agar saya hari itu juga mampir ke Rumah Sastra untuk mengurusi proposal Kemah Sastra. Di Rumah Sastra, saya ketemu Hans Gagas, Sekretaris Redaksi Pawon Sastra, yang sedang menandatangani proposal Kemah Sastra. Beberapa saat kemudian, ada beberapa kawan yang ikut hadir. Saya sempat memilih-milih buku-buku yang ada di sana untuk dibeli. Lalu kemudian saya balik ke kampus.
Dengan semua aktivitas di awal hari itu, saya sama sekali tak membayangkan akan menemui kekosongan. Tapi, di luar dugaan, sehabis Dhuhur, ketika saya ketemu dengan sahabat saya yang paling akrab, saya justru merasai kekosongan itu. Tiba-tiba saya teringat beberapa beban, beberapa soal yang belum saya selesaikan, sambil merasa belum banyak berbuat apa-apa. Pada titik itu pula, rasa kosong muncul di hati saya. Kekosongan itu pula yang barangkali “merusak” pertemuan tadi.
Kami sempat berbicara dan sedikit berdebat tentang mau ke mana dan melakukan apa siang itu. Karena sama-sama tak menemukan ide, akhirnya kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing.
Di jalan, sembari mengendarai sepeda motor, saya melamun dan merasai bahwa hati saya memang benar dihinggapi kekosongan. Kekosongan itu pula yang tiba-tiba saja membuat kening saya berkerut dan hari terasa jadi lebih berat.
Ketika hari menjelang sore, saya teringat pada Sapardi Djoko Damono dan sebuah puisinya yang mencerminkan “kekosongan”. Saya cari buku Sapardi di antara tumpukan buku yang ada dan kemudian membuka-buka halamannya, mencari puisi yang meruapkan “kekosongan” itu. Dan inilah puisi yang saya maksud:
Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seseorang yang tiba-tiba/
menghela nafas panjang lalu berdiri./
Bunga plastik dan lukisan dinding bercakap tentang seorang/
yang berdiri seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan
menghancurkannya./
Jam dinding dan penanggalan bercakap tentang seorang yang/
mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi tanpa me-/
nutupnya kembali./
Topeng, yang bergantung di dinding itu, yang mirip wajah pem-/
buatnya, tak berani mengucapkan sepatah kata pun; ia/
merasa bayangan orang itu masih bergerak dari dinding ke/
dinding; ia semakin mirip pembuatnya karena sedang/
menahan kata-kata.//
Puisi yang berjudul “Percakapan dalam Kamar” itu memang penuh dengan benda-benda: puntung rokok, kursi, bunga plastik, lukisan, jam, tanggalan, dan topeng. Tapi, semua benda itu justru tak memberikan kesan “penuh” di sana. Kesan yang timbul ketika saya merenungi puisi itu adalah “kekosongan”.
Barangkali karena seseorang yang dicakapkan tadi justru tak mewujud, ia lebih berupa tindakan yang terlihat separo-separo: menghela nafas lalu berdiri, membuka pintu tanpa menutup, menahan kata-kata. Semua tindak-tanduk “seseorang di antara benda-benda” itu adalah pola aktivitas dari seseorang yang sedang mengalami “kekosongan”. Ia ingin melakukan sesuatu, tapi tak pernah benar-benar yakin akan apa yang mesti ia lakukan.
Di situlah “kekosongan” hadir: dalam laku seseorang yang seperti linglung yang justru direkam oleh benda-benda. Pada titik ini, manusia yang linglung tadi, yang “kosong” itu, ternyata tak lebih berpunya kesadaran ketimbang benda-benda di sekitar dia.
Itu dilihat dari segi “isi”. Dilihat dari segi ”bentuk”, puisi Sapardi memang benar-benar “kosong”. Tentu saja, kita mesti membaca “kekosongan” itu sebagai ketiadaan “amanat” atau “pesan” dalam sajak tadi. Yang justru mesti dikejar, barangkali, adalah kesan yang lalu menimbulkan perenungan, dan perenungan itu yang kemudian melahirkan “makna”.
Hasan Aspahani, dalam pertemuan dengan saya di Yogya beberapa bulan lalu, mengatakan bahwa Sapardi adalah penyair Indonesia yang paling paham hakekat “imajisme” dan kemudian mempraktekkannya. Dan “imajisme”, mengambil penjelasan Subagio Sastrowardoyo, adalah genre sajak yang “menekankan kepada pengalaman-pengalaman yang konkret dan mengelakkan pemikiran yang intelektuil dan abstrak”.
Merujuk pada pendapat Subagio tadi, kita bisa yakin bahwa sajak Sapardi yang saya kutip adalah sebuah sajak imajis. Mengambil kata-kata Goenawan Mohamad, puisi Sapardi tadi bukanlah puisi yang “platonis”: bukan puisi yang dibebani dengan sekian ide tertentu yang hendak digelontorkan pada pembaca.
Saya kira, itulah kenapa puisi Sapardi adalah juga sebuah “kekosongan”.
***
Hari ini, saya merasai diri hampir mirip dengan “seseorang” dalam sajak Sapardi tadi. Kekosongan yang tiba-tiba berkunjung sepertinya menghilangkan “emosi baik” yang saya punyai sebelumnya. Saya tiba-tiba suka melamun, dan memandang ke depan tanpa batas, tanpa tahu apa yang sebenarnya saya pandang. Cuma, alasan yang benar-benar rasional kenapa saya jadi demikian tak saya ketemukan.
Ah, jangan-jangan, terkadang hidup memang menjelma jadi semacam imajisme.
Sukoharjo, 18 Februari 2008
Haris Firdaus
sesungguhnya semua yang ada di dunia adalah ilusi. kosong adalah isi, isi adalah kosong
– Biksu Tong di serial Kera Sakti
gak semua adl kosong. masih tersisa hal2 yg berisi, cm kdang yang berisi itu bs hilang tiba2..