Imajinasi dan Kenapa Perlu Asimilasi
Seorang kawan memberikan catatan penting atas esai saya, berjudul “PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa”, yang dimuat di Kompas Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Kawan saya itu bilang bahwa saat ini tidak banyak keturunan Tionghoa yang mau mengusahakan asimilasi. Mereka, kata kawan saya tadi, lebih suka bekerja dan tinggal di luar negeri. Esai di bawah ini adalah semacam catatan pembanding dari catatan kawan saya tadi.
***
Persoalan yang muncul terkait posisi warga keturunan Tionghoa di Indonesia sedikit atau banyak berurusan dengan persoalan “imajinasi”. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekannya di sebuah pagi pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia pada dasarnya adalah sebuah “imajinasi”. Ia dibayangkan ada, dengan batas tertentu, serta simbol-simbol yang memberi penguat atas “imajinasi” tadi.
Bennedict Anderson menyebut kemunculan nasionalisme dunia ketiga adalah akibat logis dari imperialisme sekaligus dipengaruhi penyebaran gagasan “cinta tanah air” di dunia pertama. Mengikuti pendapat yang demikian, gagasan tentang bangsa—sebagai sebuah “komunitas terbayang”—di dunia ketiga mulai dianggit dengan sebuah simbol pemersatu: solidaritas sebagai rakyat yang terjajah oleh satu bangsa tertentu.
Maka, bisa kita lihat bahwa pembentukan identitas sebagai bangsa Indonesia akhirnya menggunakan imperialisme Belanda sebagai “rujukan”. Artinya, entitas yang akhirnya dilekati identitas sebagai “bangsa Indonesia” adalah sebuah wilayah—sekaligus penduduk di dalamnya—yang sama-sama dijajah oleh Belanda. Perasaan solidaritas sebagai “bangsa” terjajah adalah simbol yang menyatukan imajinasi tentang bangsa tadi.
Jadi, bukan letak geografis atau persamaan budaya yang akhirnya “membentuk” gagasan tentang apa itu “bangsa Indonesia”. Dari sini, bisa kita telusuri kenapa kemudian keturunan Tionghoa di Hindia Belanda amat sulit diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia ketika akhirnya wadah dari bangsa itu—sebuah negara—telah terbentuk setelah proklamasi oleh Soekarno dan Hatta.
Tidak masuknya warga keturunan Tionghoa dalam entitas yang disebut sebagai “bangsa Indonesia” itu bukan karena perbedaan garis lahir maupun keturunan. Kalau seandainya pembedaan demikian yang dipakai, bangsa Indonesia tak akan pernah terbentuk—atau minimal akan sangat sulit terbentuk—karena bangsa tersebut terdiri dari pelbagai kebudayaan beserta garis lahir dan kompleks karakteristik masing-masing.
Tidak masuknya warga keturunan Tionghoa dalam “bangsa Indonesia” saat itu, lebih karena fakta bahwa warga keturunan Tionghoa tidak masuk menjadi bagian dari “rakyat yang terjajah” oleh imperialisme Belanda. Ketika kolonialisme berkuasa di Hindia Belanda, golongan Tionghoa tidak berada dalam satu “nasib” dengan suku-suku lain di kawasan itu yang akhirnya kemudian mengindetifikasi diri mereka sendiri sebagai Indonesia.
Politik segregasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda memberi keistimewaan pada warga keturunan Tionghoa. Mereka berada dalam level yang lebih tinggi daripada kaum “pribumi” tapi ada dalam strata yang lebih rendah dari kaum Eropa. Kondisi demikian membuat warga keturunan Tionghoa tidak diidentifikasi sebagai “yang sama” oleh suku-suku “pribumi”.
Warga keturunan Tionghoa yang menikmati keleluasaan juga dianggap pro pada pemerintah kolonial sehingga mereka pun menjadi sasaran kebencian sebagian dari kaum “pribumi”. Ketika Indonesia merdeka, dan suku-suku yang terjajah di Hindia Belanda mulai membuat “imajinasi” tentang sebuah komunitas yang menyatukan mereka, mereka tak mengikutsertakan warga keturunan Tionghoa dalam “imajinasi” tadi.
Bagaimanapun, kenyataan segregasi dalam masa kolonial dan kecurigaan bahwa keturunan Tionghoa sebenarnya memihak Belanda membuat kelompok-kelompok yang kemudian menghimpun diri menjadi bangsa Indonesia itu akhirnya mengidentifikasi keturunan Tionghoa sebagai “yang lain”. Apalagi, pemihakan pada revolusi kemerdekaan Indonesia oleh keturunan Tionghoa juga belum dinyatakan secara tegas.
Maka, seperti kata Thung Ju Lan (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sikap elite politik “pribumi” terhadap etnis Tionghoa dipenuhi dengan “keraguan dan ketidakpercayaan”. Semasa demokrasi liberal, kecurigaan itu berkembang menjadi sikap yang terlalu berlebihan karena diekspresikan melalui struktur kebijakan dari pemerintah.
Pada awal 1950 misalnya, Menteri Kesejahteraan RI, Djuanda, mengumumkan kebijakan tentang impor perdagangan yang hanya membolehkan pengusaha “pribumi” melakukan impor untuk jenis barang tertentu. Kebijakan yang sering disebut sebagai “Politik Benteng” itu tentu saja merugikan para pengusaha Tionghoa di Indonesia.
Pada 19 Maret 1956, Mr Assaat—yang pernah menjadi Penjabat Presiden Republik Indonesia—, dalam sebuah pidatonya pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, mengatakan bahwa “perlu diberi perlindungan khusus di bidang ekonomi kepada warga negara Indonesia asli”.
Pernyataan itu sepintas “wajar-wajar” saja. Namun, pidato Mr Assat tadi ternyata berkembang menjadi sebuah gerakan “pribumisasi” yang mendapat sambutan luas dari penduduk di beberapa pulau seperti Jawa, Lombok, Sumatera, dan Sulawesi.
Sjafruddin Prawiranegara juga memberikan dukungannya pada ide itu. Pada Kongres Masyumi, Desember 1956, ia mengatakan bahwa perlu dibentuk kelas pengusaha nasional yang sehat melalui “penyaringan alami” bagi kelompok pribumi. Secara ekstrem, Sjafruddin bahkan menganjurkan agar dalam tempo dua tahun semua toko kecil hanya dimiliki oleh orang Indonesia.
Gagasan “pribumisasi” tadi tentu saja tidak muncul hanya karena beban sejarah jaman kolonial. Kondisi ekonomi Indonesia saat itu memang sedang didominasi oleh golongan Tionghoa. Hampir semua toko—baik toko kelontong, bahan bangunan, sampai warung makan—dimiliki oleh keturunan Tionghoa. Dominasi oleh etnis Cina itu kemudian memunculkan reaksi dari kelompok pribumi karena kelompok yang terakhir ini gagal dalam melakukan persaingan bisnis. Kegagalan bisnis itu kemudian ditebus dengan mengeluarkan ide-ide agar pemerintah melakukan pembatasan terhadap bisnis Tionghoa.
Lalu, muncullah “malapetaka” itu: Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang melarang orang asing melakukan perdagangan dalam level eceran di tingkat kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka tangan pribumi. Peraturan ini terutama memang ditujukan buat orang Cina. Akibatnya, hampir sekitar 500 ribu pengusaha Cina babak belur dalam hal ekonomi.
Peraturan itu juga yang kemudian mengakibatkan eksodus besar-besaran etnis Cina dari Indonesia menuju kampung asalnya. Hilangnya mata pencaharian, sekaligus munculnya gelombang pengusiran bahkan sempat ada penembakan oleh militer Indonesia terhadap dua perempuan Tionghoa, makin membuat gelombang migrasi besar-besaran terjadi.
***
Di jaman orde baru, etnis Tionghoa “disingkirkan” antara lain karena dosa masa lalu dari Baperki (Bapan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia)—organisasi yang berhajat “mewarganegarakan warga Tionghoa”—yang dianggap terlalu condong ke arah PKI.
Di jaman reformasi, kebebasaan berekspresi etnis ini mulai diberi tempat. Terakhir, SBY sudah menandatangani surat keputusan yang memungkinkan keturunan Tionghoa bisa mendapatkan segala dokumen yang berkaitan dengan hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
Apa yang ingin saya tekankan dalam esai ini adalah bahwa pembentukan sebuah bangsa adalah hasil dari sebuah “pembayangan”. Karenanya, integrasi etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia agaknya mesti juga melewati proses “pembayangan” itu. Dalam proses tadi, anggota-anggota dari sebuah bangsa sebagai “komunitas terbayang” melakukan sebuah pengidentifikasian tentang siapa yang masuk sebagai anggota dari komunitas mereka dan siapa yang tidak.
Tapi,
“pembayangan” itu tadi hanya bisa berlangsung bila ada situasi-situasi pendorong dalam dunia faktual. Pada titik inilah asimilasi menjadi perlu. Asimilasi, secara kamus, bisa berarti penyatuan atau peleburan sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan sekitar.
Mengikuti PK Ojong, proses peleburan dalam sebuah asimilasi harus diarahkan sampai pada suatu kondisi di mana istilah “minoritas Tionghoa” menjadi tak ada. Untuk mencapai kondisi demikian, perlu asimilasi yang komprehensif sekaligus butuh campur tangan pemerintah, kata Ojong.
Melalui asimilasi, eksklusivitas jadi hilang. Dalam artinya yang luas, asimilasi sebenarnya sudah terjadi. Bagaimanapun, interaksi antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi sedikit banyak akan mengakibatkan “peleburan” sifat-sifat asli masyarakat keturunan Tionghoa ke dalam sifat-sifat “pribumi”.
Tapi, kalau kemudian asimilasi diartikan “secara amat ideal”, seperti yang dikatakan Ojong, tentu asimilasi belum sepenuhnya berhasil. Perlu usaha kultural dari masyarakat—baik “pribumi” maupun keturunan Tionghoa—sekaligus usaha struktural dari pemerintah.
Sampai di sini, saya belum bisa menjawab pesimisme kawan saya soal “niatan” warga keturunan Tionghoa saat ini untuk melakukan asimilasi. Tapi, saya percaya, tak semua dari mereka tak memiliki orientasi keindonesiaan: sebuah bekal utama dalam melakukan asimilasi.
Sukoharjo, 5 Maret 2008
Haris Firdaus
wah..setuju! asimilasi membantu eklusivitas itu berkurang..
warga tionghoa sendiri memiliki suatu budaya yang pasti dilestarikan juga..warga pribumi juga demikian..mengapa tidak melestarikan kedua budaya itu saja?bukankah perbedaan yang ada membuat hidup lebih hidup? *weee..kek iklan ajah 😛 q rasa bukan budayanya yang menjadi masalah,tapi semua itu kembali sama pelaksana budaya itu sendiri, maukah kita saling menghargai satu sama lain,bineka tunggal ika cink..
*ngomong apa see? huehuehueh
permisiii.. ^^
tulisane keren amat
asimilasi memang mensyaratkan saling pengertian dan tahu bahwa masing2 tak boleh saling mengalahkan.mas elmo dan kw, terima kasih dah memberi tanggapan…
*gubrak! dipikir cowo lagi ne q..hihihi