Jam
Tepat ketika saya berusia 22 tahun pada akhir Maret lalu, beberapa kawan memberikan sebuah jam weker pada saya. Saya menyukai pemberian itu karena memang membutuhkannya: jam itu pasti akan berguna buat membangunkan saya dari tidur tiap pagi.
Tapi, terlepas dari masalah yang pragmatis itu, ada soal lain yang membuat hadiah tersebut jadi menarik. Lama saya merenung dan akhirnya menyadari: jam weker itu jadi memesona karena saya adalah manusia yang sangat mungkin “terobsesi” pada waktu.
Saya tak tahu adakah kebanyakan manusia memendam hasrat untuk memikirkan sekaligus “menggandrungi” waktu. Namun, menurut Nicolaus Drijarkara, manusia memang berada dalam posisi yang unik dengan persoalan waktu: ia adalah entitas yang “terkurung” dalam waktu tapi sekaligus juga makhluk yang mampu “mengatasi” waktu.
Kemampuan “mengatasi” waktu—sehingga ia berada dalam posisi yang “transeden” terhadap waktu—membuka kemungkinan bagi manusia untuk melakukan refleksi atas waktu. Refleksi itu pula yang akhirnya membikin manusia sanggup mengambil hikmah dari masa lalu sekaligus melakukan pembayangan atas masa depan.
Meski demikian, masa lalu dan masa depan, kata Drijarkara, tetap dilihat oleh manusia dalam kerangka masa sekarang. Masa lalu dan hari depan hanya bisa dibayangkan berdasar titik pangkal kondisi saat ini. Penghayatan manusia atas “masa sekarang” itu pada intinya adalah semacam kesadaran tentang hakekat dirinya. Melalui kesadaran itu, manusia yakin bahwa dirinya “ada” tapi sekaligus juga “berubah”.
Barangkali, penghayatan sebagai makhluk yang terus “berubah” di dalam waktu yang terus berjalan itulah yang mengakibatkan manusia menjadi sosok yang seringkali gentar menghadapi waktu. Kenyataan bahwa ia sanggup berpikir tentang waktu tapi juga tak mungkin melepaskan diri dari kurungannya membuat manusia akhirnya harus memasrahkan diri.
Pada akhirnya, ia jadi makhluk yang lebih sering takut dan gemetar di hadapan waktu. Afrizal Malna, dalam puisi “Kalung dari Teman”, menyebut waktu seperti “binatang buas”. Dalam puisi yang bercerita soal persahabatan yang gagal itu, waktu jadi sesuatu yang diharapkan bisa menghasilkan “rekonsiliasi”. Tapi rekonsiliasi itu tak pernah berhasil. Waktu bahkan bukan hanya menjadi “binatang buas”, tapi juga sebuah “kuburan”.
Afrizal tampaknya seorang yang pesimis. Ia menyandingkan waktu dengan metafora yang hampir semuanya selalu merupakan kesakitan bagi manusia: binatang buas, kuburan, api, dan kebakaran. Sosok teman dan komunikasi—yang hadir dengan metafora “bahasa”—pada akhirnya hanya menjadi sesuatu yang hendak digapai tapi tak pernah berhasil.
Si teman yang sebenarnya “ingin membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu”, ternyata hanya mengalami kebuntuan. Pada akhirnya, seperti dikatakan Afrizal, “saya dan teman saya menjadi kalung api”.
Beda dengan Afrizal yang gentar, Sapardi Djoko Damono justru seorang yang congkak di hadapan waktu. Dalam sebuah puisnya, Sapardi jelas menyebut waktu sebagai sesuatu yang “fana”. Saya kutipkan satu bait Sapardi:
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
Pada puisi itu, waktu adalah sesuatu yang dihadapi dengan kepala tegak. Manusia adalah sosok yang rileks di hadapannya. Ia bukan makhluk yang mesti tegang dan berkerut kening tiap kali menyadari eksistensinya di hadapan waktu. Sapardi dengan baik menggunakan metafora yang mengesankan suasana santai: “bunga” dan “lupa”.
Kalau “bunga” adalah metafora tentang keindahan yang membikin bahagia, “lupa” adalah simbol dari sesuatu yang santai, yang membuka kemungkinan manusia untuk terlena. Pendeknya, “lupa” adalah kondisi di mana kita seringkali “tak waspada”. Dan “tak waspada” mengandaikan sebuah kesadaran yang tak selamanya “terjaga”.
***
Nicholas Alexandrovitch Berdyaev, seorang eksistensialis yang lahir di Kiev, menyebut penghayatan manusia atas waktu ada dalam berbagai dimensi. Dimensi pertama adalah waktu kosmis, yakni waktu yang dihayati manusia sehubungan dengan gejala alam, semacam terbit dan tenggelamnya matahari.
Dimensi kedua, adalah waktu kesejarahan, yaitu suatu penghayatan berkait dengan masa lampau dan masa depan. Dimensi yang ketiga adalah waktu eksistensial yang secara puitis disebut Berdyaev sebagai “waktu dari alam subyektivitas”.
Saya tak yakin adakah ketiga dimensi itu akan dihayati manusia dalam posisi yang selalu “seimbang”. Yang jelas, saya belum menemukan penjelasan itu dari Berdyaev. Dalam benak saya, yang terbayang adalah kalaupun penghayatan tadi merupakan sesuatu yang pada awalnya “seimbang”, ia sangat mungkin goyah suatu saat.
Manusia modern kebanyakan yang sibuk, misalnya. Ia memang masih punya penghayatan terhadap keseluruhan dimensi itu, tapi akan sangat mungkin ia lebih menghayati dimensi yang pertama. Bersamaan dengan perkembangan rasionalitas yang oleh Habermas disebut sebagai “rasionalitas instrumental-bertujuan”, kesadaran manusia akan lebih banyak tertuju pada hal-hal obyektif yang “berdaya guna”.
Kesadaran demikian menuntut “pengabaian” pada hal-hal yang tak obyektif dan tak berdaya guna. Maka, penghayatan waktu oleh manusia yang sangat memerhitungkan efisiensi waktu akan terarah pada waktu kosmis: mereka barangkali hanya akan peduli apakah hari sudah siang atau masih pagi, apakah ini bulan Januari atau Desember.
Dimensi waktu kesejarahan dan waktu eksistensial hanya akan muncul sesaat, terutama saat mereka mengalami kondisi-kondisi tertentu atau momen-momen penting dalam waktu. Demikianlah, kita kemudian melihat banyak manusia sibuk yang akhirnya berhenti sesaat untuk merenung tiap tahun baru atau saat ulang tahun. Pada kondisi demikian, manusia baru menyadari dirinya sendiri—mengambil kata-kata Drijarkara—sebagai “kehausan akan bahagia”.
Pada sisi yang lain, manusia yang mengidap semacam “obsesi” pada waktu adalah mereka yang menaruh kesadarannya lebih banyak pada dimensi ketiga. Ia memang masih menyadari waktu kosmis dan kesejarahan yang tak bakal bisa ditinggalkannya, tapi waktu eksistensial memiliki peranan penting dalam pembentukan kesadarannya.
Pada titik itu, waktu yang reguler beserta penanda waktu yang fisik—seperti jam dan kalender—hampir selalu dilihat dalam “kerangka eksistensial”. Afrizal dan Sapardi barangkali ada dalam posisi tersebut. Saya, sangat mungkin, juga sedang menuju kecenderungan itu.
Sukoharjo, 25 April 2008
Haris Firdaus
Komentar