Kemandekan
pada: fa
Ahmad Wahib, dalam buku hariannya—yang di kemudian hari diterbitkan menjadi buku “Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib”—pernah menulis tentang kemandekan diri dan beberapa kawannya. Kemandekan itu, terkait posisi mereka di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Saat itu, 7 Agustus 1969, Wahib mencatatkan dalam diary-nya bahwa orang-orang seperti Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, dan Tawang Alun—plus tentu saja dirinya—adalah orang yang tak bakal lagi berkembang di HMI Badko Jawa Tengah. Mereka, demikian Wahib, sudah “tak masanya lagi” ada di sana karena kedudukan mereka di posisi itu hanya akan membuat “mereka merasa super”.
Secara obyektif, Wahib beranggapan ketiganya memang memiliki superioritas yang lebih dibanding kader HMI lainnya. Cuma, di situlah duduk soalnya. Justru karena mereka sudah “lebih jauh berlari” dibanding kawan mereka lainnya, mereka mesti pindah dari lingkungan itu. Bagi Wahib, potensi mereka untuk berkembang akan mati karena di HMI Badko Jawa Tengah mereka tak akan menemukan kawan latih tanding yang seimbang.
Di lingkungan itu, mereka berempat justru harus terus-terusan “menyuapi” kawan-kawan lainnya sehingga potensi mereka sendiri justru akan terhambat. Dalam bahasa Wahib, jika superioritas mereka yang sebenarnya baru dalam taraf “potensi” itu kemudian berubah menjadi realitas yang senyatanya, maka “jiwa mereka akan rusak semasa masih muda”.
Untuk itulah, bagi Wahib, mereka harus segera hengkang dari HMI. Mereka, lebih baik berada di tempat lain yang masih memungkinkan perkembangan pribadi mereka terus melaju, terus berlari dengan kecepatan yang bisa disetel semaksimal mungkin.
Pada akhirnya, Ahmad Wahib memang harus menulis dengan nada getir: “Saya kira kami memang sudah harus meninggalkan lingkungan yang dirasa tak memberikan rangsangan untuk kemajuan pribadi.”
Ada nada untuk terus mencari dan berproses menjadi seorang intelektual dalam kalimat itu. Tapi, dalam kalimat yang sama kita juga bisa menemukan suatu sikap yang dengan gampang bisa dicap sebagai “egoisme”.
Barangkali kita bisa bertanya pada Wahib: kalau semua orang yang lebih superior dari pada kawan dan lingkungan tempat ia berada—dan oleh karenanya tak bisa lagi berharap mengembangkan diri—mesti pindah demi pencapaian kemajuan pribadi, lalu bagaimana nasib lingkungan yang ia tinggalkan itu?
Bukankah lingkungan itu juga masih punya hak untuk mengembangkan diri? Dalam kasus Wahib, bukankah kawan-kawan Wahib di HMI secara umum masih berhak mengembangkan diri dengan “belajar” dari dirinya, Djohan, Dawam, dan Tawang?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, agaknya kita bisa sebentar menoleh pada Jean Paul Sartre. Dari dia, saya kira, kita bisa belajar tentang orang lain dan “penaklukan”. Sebagai seorang eksistensialis, Sartre adalah salah satu pemikir yang menaruh salah satu patok pemikirannya pada persoalan hubungan dengan orang lain. Orang lain, dalam usaha pikir filsuf itu, hampir selalu dilihat secara “pesimis”.
Komunikasi dengan orang lain, kata Sartre, tak bakal terwujud tanpa sebuah “sengketa”. Maksudnya, tiap kali kita berhubungan dengan orang lain, pasti terjadi “saling obyektivikasi”: antara kita dan orang yang terlibat dalam komunikasi dengan kita pasti terjadi usaha untuk “saling membekukan”.
Dalam bahasa yang lebih mudah, perjumpaan dengan orang lain pastilah membuat “derajat” kita “turun” dari posisi subyek ke posisi obyek. Manusia yang dalam eksistensi individualnya berposisi sebagai subyek yang mengontrol dirinya sendiri, ketika berhubungan dengan orang lain akan terpengaruhi kesadarannya itu sehingga ia sekadar sebuah obyek yang tak lagi berdaulat atas dirinya sendiri.
Inilah yang saya sebut sebagai “penaklukan”. Tiap kali kita berkomunikasi dengan orang lain, kita sebenarnya sedang berusaha untuk “ditaklukkan” sebagaimana kita pun juga sedang berusaha “menaklukkan” orang lain itu. Itu berarti perhubungan dengan orang lain selalu mengurangi otonomi individual kita.
Saya kira, Wahib ada dalam posisi yang demikian. Ketika berpikir untuk keluar dari HMI, ia barangkali mengalami ketakutan akan “ditaklukkan” oleh kawan-kawannya yang sehari-hari ia temui. Artinya, Wahib takut naluri kegelisahan yang ia punyai suatu saat—oleh karena perhubungan dengan kawan-kawannya yang tak memiliki naluri yang sama—akan dibekukan oleh proses interaksi yang terus-menerus.
Di sini, saya akan menjawab pertanyaan yang saya ajukan di muka. Ketika memutuskan untuk keluar dari HMI, saya kira, Wahib bukan meninggalkan tanggung jawabnya untuk ikut mengembangkan organisasinya itu. Ia keluar dari HMI karena tahu bahwa atmosfer di HMI saat itu memang tak bakal mendukung proses intelektual dia sekaligus ia sadar bahwa proses intelektual yang dipunyainya hampir tak mungkin ia “tularkan” di organisasi tersebut.
Jadi, kalau Wahib sendiri merasa tak lagi mampu melakukan “penaklukan” terhadap kawan-kawannya di HMI—selain Djohan, Dawam, dan Tawang, tentu saja—buat apa ia masih menjalin perhubungan dengan mereka? Bukankah ketika kemungkinan penaklukan yang ia lakukan sudah tertutup, yang terbuka justru kemungkinan ia ditaklukkan?
Tapi, bagaimanapun, Wahib masih beruntung: ia masih bisa undur diri dari perhubungan yang tak membuatnya berkembang. Saya, yang dalam gradasi tertentu berada dalam situasi yang mirip dengannya, justru merasa tak bakal “bisa” undur diri dari perhubungan yang demikian. Setidaknya, mekanisme psikologis dalam diri saya tak memungkinkan itu.
Sukoharjo, 4 April 2008
Haris Firdaus
See Please Here
bukannya ‘tak bakal bisa’ mas..
sekedar belum..
suatu saat, mekanisme psikologis sampeyan pasti akan memungkinkan.. bahkan ketika kita tak menginginkannya sekalipun, terkadang waktu yang memutuskan..
dan satu hal yang patut diingat, ‘pergi’ tak berarti berhenti memberi..
‘pergi’ untuk mencari, selanjutnya untuk ‘dibagi’…
matur suwun..
mas lintang, sy memang akan pergi suatu saat. tapi bukan dengan cara yang ditempuh Wahib. sy dan wahib akan pergi dengan cara yang berbeda meski kami punya kegaulauan yg sama.
sy tak tahu, masihkah sy bisa “memberi” ketika sy telah “pergi”