Pesimisme dan Kehendak yang Buta
pada: helmy
Kalau bagi Chairil Anwar hidup adalah menunda kekalahan, bagi Arthur Schopenhauer, hidup adalah “kekalahan” itu sendiri. Untuk filsuf yang menggemakan pesimisme hidup manusia itu, kehidupan tidak berjalan atas dasar rasionalisme. Kehidupan, menurutnya, berkembang di atas rel “kehendak buta” dan “ketidaksadaran”.
Setelah Masa Pencerahan tiba di Eropa pada abad 18 dan manusia diserukan untuk berani berpikir, optimisme akan hidup terus berkembang. Rasionalisme datang menghantam dogamtisme agama, penerimaan akan hidup tumbuh dan sikap menjauhi kesenangan dikecam. Sejak itu, sejarah manusia seolah akan berjalan secara paralel dengan keberhasilan teknologi, perputaran uang, dan kebebasan politik.
Tapi sejarah tidak pernah membuat manusia tenang dalam optimisme yang penuh. Ketika banyak orang dengan optimis dan berapi-api menyerukan akal budi sebagai dasar kehidupan manusia, Schopenhauer datang dan mengecam optimisme itu. Saya bayangkan, ia datang pada mereka yang optimis seperti melihat kanak-kanak yang naif.
Schopenhauer tiba dan mewartakan sesuatu yang jelas berkebalikan: hakekat manusia bukan terletak pada kesadaran atau akal budi. Kesadaran macam itu, cuma sebuah bungkus. Di balik bungkus itu, ada sesuatu yang disembunyikan, yakni kehendak yang buta, irasional, dan tidak sadar. Kehendak macam itulah yang menguasai akal budi dan menggerakkan kehidupan manusia.
Ketika kehendak macam itu yang membuat sebuah hidup bergerak, kehidupan akan jadi sinonim bagi penderitaan. Sebab, kehendak yang menjadi dasar atas hidup itu adalah sesuatu yang tak terbatas, ia menuntut untuk terus-menerus dipuaskan tanpa tapal yang pasti. Padahal, peluang yang tersedia untuk melakukan pemuasan terhadap kehendak selalu terbatas.
Tepat di situlah penderitaan menjadi dan manusia adalah sosok yang seharusnya pesimis. Sebab, hidup adalah rangkaian penderitaan yang tak akan habis. Di dalamnya senantiasa ada tuntutan dari kehendak untuk selalu dipuaskan. Malangnya, tuntutan tadi adalah sesuatu yang tak pernah selesai.
Dengan kata lain, kehendak yang menuntut itu tak punya titik akhir: ia adalah sesuatu yang tanpa telos sama sekali. Kalau keyakinan macam ini kita afirmasi, berarti kita memasuki sebuah lingkaran derita—yang tentu saja tanpa titik—yang menjerat kita tanpa ampun.
Dengan pemikirannya yang terlampau pesimis itu, Schopenhauer barangkali tak meninggalkan gema bagi semua orang. Tapi bagi Max Horkheimer, soalnya menjadi lain. Horkheimer memang seorang marxis—dan Marx harus kita lihat sebagai orang yang optimis terhadap dialektika sejarah—tapi dia tak pernah benar-benar melupakan Schopenhauer.
Meski Horkheimer adalah juga pembelajar Marx, Hegel, Kant, dan Freud, tapi kesan pribadi terhadap Schopenhauer tak pernah bisa dilupakannya. Kesan yang mendalam itu, barangkali terjadi karena buku filsafat pertama yang dibaca Horkheimer adalah “Aphorisms on The Wisdom of Life”, sebuah karya Schopenhauer. Horkheimer memanfaatkan filsafat Schopenhauer untuk membongkar irasionalitas masyarakat di jamannya yang justru bersembunyi di balik rasionalitas yang instrumentalis.
Horkheimer pada awalnya adalah orang yang teramat optimis memandang laju sejarah. Dengan bersemangat, bersama sekelompok pemikir lain dalam Institut für Sozialforschung di Frankfurt am Main, Jerman, ia mencoba menggagas sebuah teori yang “kritis” yang berusaha “mengembalikan” laju sejarah masyarakat sesuai dengan cita-cita awal Aufklarung.
Horkheimer dkk yang melihat akal budi masyarakat jaman itu didominasi oleh “akal budi instrumentalis”—sebuah rasionalitas yang hanya berperan dalam perumusan soal kegunaan saja—berpendapat bahwa akal budi yang seharusnya rasional itu ternyata menyimpan watak irasional. Alih-alih membebaskan manusia dari mitos, akal budi instrumentalis itu justru merupakan sebentuk mitos tersendiri.
Maka, Horkheimer pun geram dan ia berhasrat merekonstruksi pemikiran guna membuang selubung mitos tersebut sehingga perkembangan masyarakat akan kembali pada cita-cita Pencerahan. Masyarakat yang dibayangkan Horkheimer adalah masyarakat yang sepenuhnya rasional dan bebas dari belenggu mitos apapun.
Tapi optimisme Horkheimer—yang menyebabkannya berbeda amat jauh dengan Schopenhauer itu—tidak bisa ia pertahankan. Studinya justru menunjukkan bahwa manusia tak akan pernah bisa menjadi rasional. Segenap usaha manusia menjadi rasional, menurut Horkheimer, akan berakhir pada irasionalitas. Pembebasan manusia dari sebuah mitos lama akan mengantar manusia pada mitos yang baru.
Usaha manusia menjadi rasional, oleh karena itu, akan berakhir pada sebuah “dilema”. Dilema macam itulah yang dengan tepat dijelaskan Sindhunata melalui skripsi semasa ia masih mahasiswa dulu yang kemudian menjadi buku “Dilema Usaha Manusia Rasional”. Dalam buku yang coba memaparkan dua fase pemikiran Horkheimer itu, Sindhunata akhirnya menarik kesimpulan bahwa teori kritis Horkheimer secara ironis justru tiba pada kesimpulan bahwa tujuan awal teori itu—untuk melakukan emansipasi terhadap masyarakat yang terbelenggu irasionalitas—ternyata tak akan pernah bisa dicapai!
Ketika Horkheimer tiba pada pemikiran itu, ia seperti kembali ke pelukan Schopenhauer. Ia yang awalnya optimis, pada akhirnya jadi manusia yang memandang dunia secara pesimis. Dilema yang ditemukannya pada perkembangan masyarakat, juga kemudian memeluknya dengan erat.
Barangkali, kita bisa juga ada dalam dilema itu. Memang kita tak akan merasakan pesimisme seperti dirasakan Horkheimer sebab kita tak melakukan penjelajahan yang jauh seperti yang dijalankannya. Tapi, pesimisme dan optimisme adalah soal yang tak melulu berkait dengan hal besar. Ia bisa hadir dalam soal yang sepele di sekitar kita.
Pada titik itu, masing-masing orang, saya kira, bebas untuk ada di jalur mana: ia bisa dengan gagah hendak memertaruhkan hidup untuk kemudian berusaha memenangkannya, atau seperti Chairil yang cukup “rendah hati” dengan mengatakan bahwa hidup hanya menunda kekalahan. Atau, jangan-jangan, akan ada pula orang seperti Schopenhauer yang hidup justru untuk sekadar menerima kekalahan.
Sukoharjo, 27 April 2008
Haris Firdaus
pesimisme maupun optimisme, kedua-duanya sama-sama lahir dari kecenderungan sikap manusia dalam memaknai eksistensinya hidup di dunia.
saya tidak tau apakah anda optimimistis – atau bahkan pesimis – dalam menyikapi rute kehidupan yg kian runcing ini.
salam…
betul, keduanya lahir dari semacam tafsir atas hid eksistensial masing2. tapi keduanya selalu tak ajeg, kan mas? keduanya bs kita peluk dlm hidup ini secara bergantian.