Siksa yang Menyelamatkan
Ketika Sigmund Freud mulai mengobati pasien-pasien neurosa—yang merupakan fase awal bagi penemuannya atas psikoanalisa—ia menjadi tahu bahwa pengalaman masa lalu menjadi amat penting dalam penyembuhan pasien-pasien itu. Freud keluar dari kepercayaan medis saat itu yang menyebut bahwa semua gangguan psikis berasal dari salah satu kerusakan organis di dalam otak.
Dalam sebuah cermahnya, Freud mengatakan bahwa “memang dalam awal perjalanan kita untuk sejenak akan kita temani para dokter, tetapi tidak lama kemudian kita akan berpamitan dengan mereka, agar bersama Dr. Breuer menempuh suatu jalan yang istimewa.”
Siapa Dr. Breuer? Ia seorang ilmuwan dari Wina, Austria, yang berusaha menyembuhkan pasien penderita gangguan-gangguan psikis dengan “cara yang lain”. Freud belajar pada orang itu dan bersamanya menerbitkan sebuah buku bertajuk “Studi-studi Tentang Histeri”.
Dari Breuer, Freud tahu bahwa gangguan psikis tak melulu disebabkan oleh kelainan organis dalam otak. Ada yang disebut sebagai “histeri”: sebuah gangguan jiwa yang memiliki akar psikologis yang ditandai oleh gangguan fungsi-fungsi badani tertentu. Dari metode pengobatan Breuer atas pasiennya yang bernama Nona Anna. O, Freud kemudian mendapati kenyataan bahwa kejadian masa lalu yang menimbulkan tekanan-tekanan, bisa mengakibatkan neurosa.
Dan, guna menyembuhkan neurosa itu, pasien perlu dipancing untuk mengingat dan mengungkapkan kembali kejadian-kejadian apa saja yang membuat ia tertekan. Freud bahkan mengambil kesimpulan bahwa “terdapat kemungkinan juga untuk melenyapkan sama sekali gejala-gejala penyakitnya, asal saja dalam keadaan hipnosa ia dapat teringat—disertai dengan pengungkapan perasaannya—pada kesempatan mana dan dalam hubungan mana gejala-gejala itu timbul untuk pertama kali.”
Satu catatan perlu ditambahkan: ketika mengungkapkan soal hipnosa, Freud merujuk pada Breuer yang memang menggunakan metode itu untuk memancing ingatan dan pengungkapan pasien atas tekanan di masa lalu. Di masa berikutnya, Freud menggunakan metode yang berbeda dengan Breuer guna memancing ingatan dan pengungkapan itu.
Tapi beda itu hanya soal metode. Freud, sama dengan Breuer, berkesimpulan bahwa “pasien-pasien histeris kita menderita karena ingatan-ingatan.”
***
Saya seolah mendapati visualisasi dari kalimat Freud itu ketika menonton “The Photograph”, sebuah film karya Nan Achnas yang menampilkan Shanty dan Lim Kay Tong dalam peran utama. Film yang berkisah tentang Johan, seorang fotografer keliling yang “tradisional” itu, merupakan sebuah gambaran yang baik tentang ingatan yang menyiksa.
Johan yang suatu hari memutuskan pergi meninggalkan istri dan anaknya, di tengah perjalanan kepergian itu, menemukan realitas menyedihkan yang kelak akan ingat sampai menjelang nyawanya meregang: istri dan anaknya itu mati karena tertabrak kereta api di mana ia menumpang.
Johan yang kaget saat merasakan benturan pada kereta api yang ia tumpangi kemudian turun dan bersama orang ramai ia dapati potongan-potongan tubuh penuh darah yang terbelah-belah. Dengan kamera yang menggelayut di lehernya, ia memotret potongan-potongan itu tanpa sadar siapa pemiliknya.
Sesaat kemudian, ketika ia melihat bagian tertentu, ia sadar bahwa potongan-potongan itu milik istri dan anaknya yang belum lama ia tinggal pergi. Saat itu, ia seperti melihat istri dan anaknya sedang berdiri di samping rel kereta api tempat kecelakaan itu terjadi.
Johan menangis dan terus merasa bersalah. Sampai kemudian ia tua, ia terus saja menaruh “sesaji” di tempat kecelakaan itu sebagai semacam doa, tapi sekaligus monumen yang menghentikan ingatannya pada masa kecelakaan tersebut terjadi. Melalui ritual itu, Johan terus-menerus mengulang momen kecelakaan tersebut sebagai sebuah ingatan di otaknya.
Johan memang tak sampai menderita neurosa atau histeri. Barangkali, itu disebabkan karena ia tak menahan pelampiasan emosinya saat kecelakaan itu terjadi. Lebih dari itu, ritual hariannya menaruh “sesaji” barangkali juga bisa disamakan dengan “pelepasan emosi” yang menyelamatkan dirinya dari kemungkinan sebagai penderita histeri.
Freud, mengikuti Breuer, mengatakan bahwa sebuah histeri biasanya terjadi karena penekanan emosi yang kuat. Ketika seorang sedang mengalami momentum yang penuh tekanan tapi ia tak mengijinkan pelepasan emosi melalui tanda emosionil yang cocok—seperti kata-kata atau perbuatan tertentu—ia bisa saja menderita histeri.
Yang juga bisa dianggap “menyelamatkan” Johan dari histeri adalah kesanggupannya untuk terus menempatkan ingatan atas momen kecelakaan tersebut dalam taraf kesadarannya. Breuer menemukan kenyataan bahwa para pasiennya hanya mengingat kejadian-kejadian yang menyebabkan histeri dalam kondisi tak sadar saja.
Dalam kondisi sadar, pasien Breuer sama sekali tidak tahu-menahu tentang persitiwa-peristiwa patogenis dan pertautannya dengan gejala-gejalanya. Setelah mereka dihipnotisir, para pasien itu baru dapat mengingat kembali peristiwa-peristiwa tersebut dan melalui pengingatan itu pula gejala-gejala neurosa dapat ditiadakan.
Johan tak mengalami itu semua. Ia tak merepresi ingatan yang menyiksanya itu sampai dalam taraf tak sadar. Ia justru mengingatnya, terus-menerus, dan bahkan secara proaktif menggelar monumen agar supaya ingatan itu secara konstan hadir.
Itulah kenapa kondisi psikisnya tak membutuhkan kompenasasi-kompensasi tertentu atas hasrat yang direpresi. Sebab, ia memang tak merepresi apa-apa. Ia membiarkan ingatan itu hadir, menemani hidupnya, memengaruhi jalan hidup yang ia pilih, dan bahkan mengawaninya sampai kemudian ia mati.
Orang lain akan melihat Johan sebagai orang aneh yang kasihan. Bahkan Sita, seorang penyanyi karaoke yang kos di rumah Johan dan pada akhirnya menjadi orang yang paling dekat dengan Johan, tetap saja memandang Johan dengan penuh kasihan. Ia seperti mendakwa bahwa Johan salah ketika ia tetap mengingat masa lalu yang meyiksanya tersebut.
“Yang penting itu yang masih hidup, bukan yang sudah mati, Pak,” kata Sita suatu kali pada Johan. Kalimat itu seperti menyalahkan pilihan Johan untuk terus menganggap penting “mereka yang sudah mati”. Bagi Sita, hidup barangkali mesti dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa harus disiksa oleh ingatan-ingatan yang sudah lalu.
Bagi saya, Sita mungkin saja salah. Barangkali perempuan itu tak tahu kalau ingatan yang menyiksa Johan secara terus-menerus itulah yang justru menyelamatkannya.
Sukoharjo, 6 April 2008
Haris Firdaus
aku pernah denger kalo alam bawah sadar (kejadian masa lalu yang dipendam) mempengaruhi perilaku seseorang hingga 88%, sementara alam kesadaran cuman mempengaruhi perilaku seseorg sebanyak 12%.
Jadi pengen tau nih, jangan2 tanpa kusadari aku menyimpan masa lalu yang kelam dalam benakku
rey, kalo kamu bener punya masa lalu yg kelam di alam bawah sadarmu, mngkn itu akan keluar di perilaku2 yg jarang kmu sadari. coba kamu teliti lho!