Pergi
pada: nhw
Dulu, saya hampir selalu memandang kepergian sebagai sesuatu yang berat. Saya selalu membayangkan, suatu saat kelak, ketika akhirnya saya harus melangkahkan kaki untuk pergi dan barangkali tak akan kembali lagi kecuali hanya untuk sesaat—dan itupun hanya untuk “menengok”—, saya pasti akan merasakan semacam rasa sakit.
Rasa sakit itu, barangkali muncul karena kepergian adalah sesuatu yang sepenuhnya “mengejutkan”. Ia membuat rutin yang kita alami sehari-hari jadi rusak dan suasana nyaman yang menyertai diri kita menjadi lenyap. Pergi berarti meninggalkan banyak hal yang bisa membuat kita tersenyum karena bahagia, menangis karena terharu, dan tertawa-tawa bersama segenap kawan yang dekat dengan kita.
Saya menyadari itu sepenuhnya dan akhirnya saya gentar. Dulu, saya selalu khawatir bila suatu saat masa itu akan tiba. Saya selalu membayangkan, masa-masa kepergian adalah masa dengan banyak kekhawatiran, ketidaknyamanan, dan nyali yang lebih banyak ciut. Pada saat itu, ketika akhirnya saya mesti merasakan sakit itu, saya mungkin akan termenung sendirian di pojok ruangan dan membayangkan masa-masa yang lewat dengan semacam ratap.
Ratap itu, memang tak berguna. Tapi bisakah saya menolaknya? Saya kira tidak. Saya barangkali akan tetap demikian meski tahu situasi tak berubah menjadi lebih baik. Ratap, barangkali hanya semacam mekanisme psikologis yang melepaskan kesedihan kita dalam bentuk ragawi agar beban mental itu menjadi lebih berkurang. Setelah ratap itu digelontorkan, situasi sebenarnya tetap sama sulitnya: saya masih harus pergi meninggalkan banyak hal yang selama bertahun-tahun bukan hanya memberi kenyamanan tapi juga menjadi sinonim dengan diri saya sendiri.
Saya tahu itu. Barangkali karena pengetahuan macam itulah, ketika tiap kali saya ngobrol serius denganmu, sambil menatap wajahmu yang melankolis itu, saya tak dapat menahan haru. Ia tiba-tiba muncul di hati saya, berubah jadi bulu kuduk yang berdiri, dan tiba-tiba ada semacam air yang mendesak keluar dari mata saya. Pagi itu, ketika saya kembali ngobrol dengan amat serius denganmu, saya memang berhasil menahan air itu keluar, tapi keharuan tetap datang dan saya menyadari kedatangan itu sepenuhnya.
Pagi itu, saya seperti didatangi ketakutan itu kembali. Sudah lama sebenarnya saya tak mengalami ketakutan akan pergi, tapi semuanya seakan kembali dari nol ketika saya mendengar semua permasalahan dalam sesuatu yang saya—dan barangkali juga kau—anggap sebagai “rumah”. Saya ingin sekali tak terlampau memikirkan segala masalah yang melanda “rumah” itu. Sudah lama saya mencoba melepaskan diri dari sana, sembari yakin bahwa ia bisa tetap lestari tanpa saya. Tapi pagi itu, saya tak bisa menolak kenyataan bahwa dalam hati saya yang paling dalam, saya masih memikirkan “rumah” itu dengan sedikit berlebih.
Saya masih memiliki kekhawatiran atasnya, masih memikirkan bagaimana kelak ia bisa bertahan, dan banyak lagi. Saya tak bisa mengelak bahwa pagi itu kepergian jadi tampak kembali sebagai sesuatu yang menggentarkan. Ia muncul dengan wajah yang tak sangar-sangar amat memang, tapi tetap membuat saya jadi berpikir bahwa ia sesuatu yang pantas membuat saya merenung di pojok ruang untuk beberapa saat lamanya.
Kepergian itu sudah lama saya bayangkan dan bahkan sudah lama pula ia saya gubah jadi sebuah puisi. Belakangan, puisi tentang kepergian itu jadi salah satu dari tiga puisi saya yang lolos ke sebuah perlombaan seni mahasiswa. Setelah pertemuan denganmu pagi itu—yang kembali mendatangkan segenap keharuan tentang “rumah” yang sebenarnya ingin saya kubur dalam-dalam—saya kembali mengingat puisi itu:
Misalkan aku pergi dari rumah ini
jaga ia supaya tetap ramai
dalam belai tawa, derai bahagia,
dan air mata yang seperti senja
Pada ruangan itu,
kita memang pernah sama-sama bungkam
Tapi, sebentar kemudian kau berkata,
“Kakak, lihatlah senja di luar.”
Aku tersenyum sambil memeluk
kata-katamu yang berlarian dalam angin yang basah
“Kau hujan,” ucapmu sambil menghapus
gerimis di pipiku
Aku pernah bertanya: “Makhluk apakah kita?”
Tapi kau menjawabnya dengan
sebuah jari yang menempel di bibirku
“Lihatlah senja, Kakak.”
“Tapi senja yang indah itu, Adik,
justru menyimpan kecewa:
sebab tahu ia akan hilang.”
Misalkan aku pergi lewat pintu itu
jaga supaya ia tetap terbuka
agar bila senja datang
kau bisa berkata, “Ia tetap mencintaimu.”
Puisi itu, sekarang, ingin sekali saya imbuhi dengan inisial namamu di bawah judulnya. Saya kira, ketika suatu saat saya benar-benar pergi—dan saya tahu masa itu sudah hampir tiba—puisi itu akan jadi salah satu puisi yang paling saya ingat. Sebab, ia menjadi monumen atas semua yang pernah saya terima dari “rumah” yang kita tinggali bersama. Ia juga akan mengingatkan saya bahwa “rumah” itu pernah menancapkan keharuan pada saya dengan amat dalam. Puisi itu—dengan imbuhan inisial namamu di bawah judulnya—juga akan mengingatkan saya padamu dan wajahmu yang melankolis itu.
Sukoharjo, 12 Mei 2008
Haris Firdaus
rumah adalah kesepakatan malam, setelah setengahnya terlampaui, dimana kita bermalam hari ini?.. ( he he)
rumah adlh sesuatu yang akan harus ditinggalkan. mau atau tidak, mbak. sy sedih meninggalkannya, tapi adakah pilihan lain?
adakah yang lebih berharga selain perhatian tulus dari seseorang. terimakasih. heni
betul, hen. sangat betul. terima kasih kembali….