Sayembara Sastra, Rangsangan Menulis, dan Pencapaian
Tahun 1998, saat Kongres Bahasa Indonesia VII, penyair Taufiq Ismail pernah menyebut jarangnya sayembara sastra sebagai salah satu persoalan dalam perkembangan sastra Indonesia saat itu. Tapi, soal jarangnya sayembara sastra ini, kalau kita melihat realitas sekarang, justru tak perlu dikhawatirkan lagi Sebab, beberapa tahun terakhir ini, sayembara sastra memang mengalami peningkatan jumlah dan ragam dengan presentase yang bisa dibilang luar biasa.
Raudal Tanjung Banua, tahun 2004, pernah menyebut bahwa fenomena sayembara sastra adalah fenomena yang amat marak dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Pada tahun itu saja, berdasar catatan Raudal, beragam sayembara sastra diadakan: mulai dari Krakatau Award Dewan Kesenian Lampung, lomba cerpen oleh Creative Writting Institute (CWI) dan Depdiknas, Sayembara Menulis Cerpen Horison, Sayembara Penulisan Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta, dan banyak lagi.
Tentu saja, sayembara sastra bukan fenomena baru dalam pertumbuhan sastra kita. Tahun 1950-an, misalnya, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) biasa memberi penghargaan pada karya sastra yang dianggap “terbaik” saat itu. Meski penghargaan macam itu tak bisa seratus persen disebut sebagai “sayembara” karena karya yang diberi penghargaan memang tak dibuat dengan ketentuan khusus seperti laiknya dalam sayembara yang “biasa”, tapi penghargaan macam itu menggunakan sistem penjurian: salah satu penanda penting dalam sebuah sayembara.
Pada tahun 1960-an, ada yang khas dari sayembara sastra di Indonesia, yakni kentalnya nuansa politis yang mewarnai jalannya proses sayembara. Tahun 1960, Moh. Rustandi Kartakusumah menolak penghargaan BMKN yang diberikan padanya. Segera setelah penghargaan itu diumumkan di Bandung, Rustandi segera menyatakan penolakannya. Alasannya: ia meragukan mutu juri.
M. Poppy Hutagalung pada sekitar dekade itu juga pernah menolak penghargaan dari Majalah Sastra yang dipimpin HB. Jassin. Ketika Sastra memilih puisi Poppy Hutagalung sebagai puisi terbaik dalam majalah itu, ternyata Poppy menyatakan penolakannya. Padahal Sastra adalah sebuah majalah sastra yang amat bergengsi di Indonesia saat itu. Belakangan, konon ditemukan bukti bahwa Pramoedya Ananta Toer ternyata ada di balik sikap penolakan Poppy.
Meski dua penolakan itu kelihatannya hanya berkait dengan persoalan juri, ada soal lain yang lebih memengaruhi penolakan itu: ketegangan politis antar kelompok sastrawan. Perdebatan antara humanisme universal dengan realisme sosialis saat itu—yang pada akhirnya menjadi “polemik politik”, bukan sekadar “polemik kebudayaan”—memang begitu gencar dan akhirnya berdampak pada banyak hal, termasuk pada sayembara sastra.
Padahal, sayembara sastra sering dilihat sebagai sesuatu yang “bebas” dari kepentingan politis. Bagaimanapun, kebanyakan kita akan mengafirmasi kalau secara ideal sayembara sastra memang seharusnya hanya memergunakan ukuran estetika sastra dalam proses pengambilan keputusannya.
Sayembara sastra yang hanya menggunakan ukuran estetika sastra sebagai dasar pengambilan keputusannya adalah sayembara yang langsung atau tidak akan memberi sumbangan bagi keberlangsungan sastra Indonesia. Di saat jumlah sastrawan mengalami lonjakan, sayembara dibutuhkan karena dua hal.
Pertama, ia akan merangsang para sastrawan—terutama yang muda atau yang masih berstatus “calon”—untuk terus menulis. Meski saat ini jumlah media untuk mensosialisasikan karya jauh meningkat dibanding dulu ketika sastra Indonesia baru tumbuh, tapi tak selamanya ruang sosialisasi tersebut memberi pilihan yang menguntungkan bagi sastrawan muda atau “calon sastrawan”.
Koran atau majalah sastra, meski jumlahnya mengalami peningkatan, kadang masih merupakan media yang “tak ramah” bagi mereka. Sedangkan internet—melalui blog dan milis—memang menawarkan media sosialisasi yang jauh lebih terbuka dan bahkan tanpa saringan apapun tapi mensosialisasikan karya di internet seperti berteriak di sebuah pasar yang sibuk dan penuh teriakan orang lain.
Artinya, menyebarkan karya lewat internet memang mudah tapi tak selamanya karya itu akan serta merta dibaca orang atau dihayati sampai si pembaca menangis. Di milis-milis sastra yang jumlah anggotanya bisa ribuan orang, lebih banyak karya sastra yang diacuhkan saja atau bahkan dihapus dari folder inbox email segera setelah karya itu diterima. Jumlah karya yang diberi perhatian dan dibahas secara interaktif dalam sebuah milis atau blog biasanya amat sedikit.
Di tengah “dilema” itulah sayembara sastra seharusnya ditempatkan. Ia menjadi ruang yang—meski terbatas—bisa memberi rangsangan yang besar pada orang untuk menulis. Jumlah hadiah yang cenderung besar dan tenggat waktu yang jelas biasanya menjadi daya tarik utama sayembara jika dibanding media sosialisasi karya lainnya. Kelebihan itulah yang membuat beberapa penulis lebih merasa “cocok” dengan model sayembara ketimbang cara sosialisasi karya lainnya.
Selain merangsang untuk terus menulis, sayembara sastra juga memudahkan seorang penulis untuk tahu seberapa tinggi atau jauh “pencapaian” yang sudah ia buat. Seorang sastrawan yang baik adalah mereka yang bukan hanya terus menulis tapi juga terus berusaha melakukan estimasi atas “pencapaian estetika” yang berhasil digapainya. Ia adalah orang yang berusaha membandingkan apakah karyanya yang sekarang mengalami peningkatan estetik atau tidak.
Salah satu alat mengukur pencapaian itu adalah sayembara sastra. Meski tentu saja tidak bisa dijadikan satu-satunya patokan, sayembara sastra bisa menjadi ukuran apakah karya kita sudah jauh lebih bermutu atau belum.
Tapi yang perlu ditegaskan adalah sayembara hanya merupakan alat, bukan tujuan. Sayembara bisa sesekali diikuti, tapi tak boleh menjadi sarana utama dalam karir kepenulisan seseorang. Kalau kemudian ada penulis yang hanya menulis tiap kali hendak mengikuti sayembara, tentu saja itu suatu yang hal yang menggelikan. Bila ada penulis yang demikian, saya kira, lebih baik ia berhenti menulis saja.
Sukoharjo, 7 Mei 2008
Haris Firdaus
Komentar