Risiko
:lintanglanang
Bung, kini kita tahu: laku menulis adalah sebuah laku yang tak pernah bebas dari sebiji—atau lebih—risiko. Dalam pokok soal ini, meminjam Nirwan Dewanto dengan sedikit modifikasi, kita bisa melakukan “pembacaan jauh” atau “pembacaan dekat”. Membaca jauh, berarti dalam soal ini kita akan ingat dengan banyak nama: Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, Seno Gumira Ajidarma, atau kalau mau lebih jauh: Ki Hajar Dewantara, Multatuli, Tirtoadhisoerjo, dan banyak nama lainnya.
Tapi membaca jauh mungkin akan merabunkan persoalan ini. Seolah laku menulis kita—sebagai blogger—pantas dibandingkan dengan mereka. Ketimbang melakukan pembandingan-pembandingan yang superlatif dengan nama-nama itu, mari kira realistis, Bung. Mari mendekati persoalan ini secara dekat saja, membaca soal ini dengan sebuah pembacaan dekat.
Saya sendiri selalu merasa geli, sekaligus aneh, ketika ada blogger—yang karena tulisannya—mendapat kecaman dengan tuduhan-tuduhan yang berlebihan, ancaman-ancaman, atau ajakan berkelahi. Saya selalu merasa mereka yang melakukan kecaman dan ancaman itu sebagai manusia yang terlampau paranoid, terlalu emosional, atau mungkin tak punya nafas panjang guna berdebat secara pantas dan baik.
Saya kira, infrastruktur dunia blog sebenarnya memungkinkan sebuah tukar pendapat yang jernih dengan amat cepat, amat personal, dan karenanya bisa jadi akan efektif. Tapi di negara kita ini, sebagian orang lebih suka menempuh jalan pintas: ketimbang membantah sebuah tulisan secara jernih dan santun, sebagian kita mungkin lebih suka menulis kalimat-kalimat pendek di shoutbox dengan nada yang mengecam atau mengancam.
Infrastruktur yang baik tapi tak digunakan secara baik itu memang sebuah realitas yang menyedihkan. Melalui blog, kita bisa membuat polemik yang panjang, santun, dan bermanfaat, sebenarnya. Tapi yang kemudian sering terjadi adalah debat kusir, gelontoran kata-kata kasar,kecurigaan-kecurigaan yang selalu dikeluarkan tanpa suatu dasar yang pasti, dan segala hal lain yang menjauhkan kita dari golongan manusia yang cukup beradab untuk bertukar pikiran.
Is Mujiarso (http://rumputeki.multiply.com), blogger yang mantan wartawan itu, pernah diancam dengan amat mengerikan oleh seorang sutradara karena Mumu—panggilan akrab Is Mujiarso—menulis sebuah resensi tentang film si sutradara dengan nada yang jelek. Tapi di luar dugaan si sutradara, ancaman itu malah menjadi sebuah topik diskusi secara luas dan risiko lebih besar harus ditanggungnya: namanya makin dikenal luas sebagai “pengancam” ketimbang sutradara yang baik.
Nong Darol Mahmada (http://nongmahmada.blogspot.com), seorang aktivis Jaringan Islam Liberal yang juga blogger, mendapat kecaman karena pendapatnya di dunia nyata dan juga tulisan-tulisannya di blog. Di shoutbox Nong Darol, bisa kita temukan nada-nada untuk mengkafirkan dirinya dari orang-orang yang identitasnya tentu saja gelap. Semua itu tentu berhubungan dengan aktivitasnya sebagai aktivis JIL—sesuatu yang mungkin bagi sebagian orang terlihat sebagai sebentuk kontroversi—yang mungkin dianggap kebablasan dalam menafsir agama.
Zen Rachmat Sugito (http://pejalanjauh.com) pernah dituduh sekaligus dikecam sebagai manusia sombong karena sebuah tulisannya yang polemis. Zen juga pernah mendapat serangan saat sebuah resensinya atas satu buku seorang begawan muncul di koran. Resensi yang dibikin Zen itu memang menyimpulkan buku begawan tadi dengan nada yang tak terlampau menyenangkan sehingga mungkin ada pihak-pihak yang tak bisa berterima.
Muhammad Sulhanudin (http://hanyaudin.blogspot.com), karena sebuah tulisannya yang panjang dan memikat tentang “Blog FPI Online”, pernah berpolemik dengan amat panjang dan melibatkan “cara-cara tingkat tinggi”. “Investigasi” Sulhanudin atas blog itu membuatnya tak disukai pihak-pihak yang bermain di balik blog tersebut sehingga, dalam era polemik itu, ia tentu diganjar dengan kata-kata yang keras.
Dan kau (http://lintanglanang.blogspot.com), karena tulisan-tulisanmu soal Ahmadiyah, FPI, dan Munarman, akhirnya juga menerima risiko yang hampir sama. Modusnya pun sama: menulis kalimat-kalimat kecaman yang berlebihan di shoutbox untuk memancing emosi.
Saya membaca kalimat-kalimat di shoutbox blogmu dan kadang tertawa karena melihat ada orang yang begitu emosi atas tulisan-tulisanmu. Tapi saya juga tahu: mereka yang melakukan pengecaman dan pengancaman itu mungkin saja tidak main-main. Mereka, mungkin memang orang-orang yang terpancing untuk bereaksi dan memberi tanggap atas tulisanmu. Dalam dunia blog, mereka tentu punya hak. Sayang, hak itu digunakan secara tidak ideal.
[Daftar blog yang mendapat kecaman di atas, tentu bisa diperpanjang. Dan kau, Bung, atau para pembaca yang budiman, bisa membantu saya memerpanjangnya].
***
Sebagai sebentuk jaringan sosial, blog memang membuat kita—para warga biasa yang tak menduduki status istimewa dalam struktur sosial kemasyarakatan—mampu menyuarakan suara dengan cara yang sesuai dengan hati kita. Kita bisa dengan bebas memberi komentar atas satu pokok soal dengan cara yang sedikit sarkas atau sinis, atau memilih membuat tulisan yang santun. Semuanya, tidak lagi ditentukan oleh orang di luar kita. Dalam blog, kita adalah penentu, mungkin juga satu-satunya penentu.
Tapi status demikian jelas membuat laku ngeblog sebagai sebuah laku yang berisiko. Akan ada orang yang tak suka dengan tulisan kita dan kemudian mengecam kita atau menghadiahi kita dengan kata-kata yang keras. Modus menulis kalimat-kalimat kecaman yang buruk dan pendek di shoutbox adalah modus yang sering terjadi.
Seperti kemudian juga kau alami, kecaman-kecaman itu sama sekali bukan sebuah tawaran dialog. Kecaman-kecaman pendek itu, adalah sebentuk teror agar blogger yang bersangkutan “turun mentalnya” dan menderita sebentuk kegentaran. Kecaman-kecaman itu adalah segugus gagasan untuk menundukkan, untuk membuat kita kehilangan kebebasan dalam menulis dan akhirnya mungkin akan membuat kita melunak.
Tapi, Bung, sebagian blogger yang menerima “sampah” itu justru hampir semuanya tak mundur. Mereka tak lantas menutup blognya atau kemudian tak lagi bicara secara kritis. Para blogger itu tetap seperti sediakala: tidak gentar, tetap jadi penguasa atas tulisan mereka sendiri, pendeknya: tetap seorang yang merdeka.
Saya kira, ini karena mereka percaya bahwa perdebatan atau kecaman itu sebenarnya akan sama-sama membawa proses pendewasaan. Sebagai blogger, kita akan tambah dewasa dengan datangnya “sampah” itu. Mungkin kita juga berharap, mereka yang tak sepakat dengan kita bisa juga tambah dewasa.
Untunglah, kita semua ada di Indonesia: sebuah negara yang tak memberlakukan sensor terhadap blog, sebuah negara di mana seseorang—meminjam Goenawan Mohamad—kini, bisa mencela Kepala Negara-nya tanpa takut akan dipenjara atau menerima hukum penggal. Di negara ini, mungkin serangan-serangan—dari sesama warga—macam itu yang akan kita dapat.
Tapi, akankah semua itu membuat kita menundukkan muka? Saya kira, tidak dan memang tidak akan pernah!
Sukoharjo, 19 Juni 2008
Haris Firdaus
kukira ketika orang mulai menuliskan sesuatu, dia sudah siap dengan segala konsekuensinya.
dan bukankah kecaman datang dari orang yang ketakutan?
@ Haris
terima kasih atas ulasan dan dukungannya mase..
anda benar, sampai kapanpun ‘saya’ (dan semoga juga ‘kita’)akan tetap berusaha menjadi manusia ‘merdeka’. yang (seperti bahasa anda) ‘tidak dan tidak akan pernah menundukkan muka’ hanya karena hal sekecil itu.
(he3.. saya malah menganggapnya sebagai hiburan mas.. oh iya, ada blog menarik yang bisa buat ngisi waktu kalo pas pusing http://indonebia.blogspot.com atau http://indonebia-online.blogspot.com
kontroversi yang lahir dari sebuah tulisan, baik di blog, di milis, maupun di media cetak sebenarnya sudah merupakan hal yang sangat wajar. banyak wartawan yang dikecam,diteror,bahkan dihilangkan nyawanya hanya karena tulisannya dianggap “merugikan” pihak tertentu. Tetapi tulisan hasil riset yang mendalam, investigasi yang handal dan kedalaman fakta, bukan tak mungkin membawa perubahan yang signifikan. tengok saja Carl Bernstein dan Bob Woodward yang berhasil melengserkan NIxon dengan skandal watergate-nya. Cek juga Veronica Guerin yang kematiannya membawa revisi besar-besaran UU di Irlandia tentang pembekuan aset para pelaku kriminal. Mereka bisa jadi pemompa adrenalin kita untuk menyuarakan “apa yang seharusnya menjadi kebenaran”. Jangan takut, jangan lemah, jangan pernah menyerah…mati gara-gara sebuah tulisan yang kontroversial masih lebih keren daripada bunuh diri seperti para rockstar.khe.khe.khe..
To:dewi.
tak smua orang menulis tahu risiko. juga tak semua kecaman datang dari orang yangketakutan.
to: lintanglanang
baguslah, mase. dadi hiburan? bagus bangettuh:) indonebia? wah, symahdah pernah bk itu. emanglucu, mase. ha2:)
to: suarahimasa
betul, emanglebih keren daripada bunuh diri dg cara apapun!
Wah, apakah ini sejenis posting yang khusus ditujukan kepada mas Lintang Lanang? Memang benar2 seru debat kusir shoutboxnya, bahkan kotak kecil itu bisa mengalahkan konten lain di dalam blognya, haha.
Syukur alhamdulillah saya belum pernah ‘dibantai’ dengan cara keji seperti itu. Karena tulisan-tulisan di blog saya memang dangkal, cuman main di ‘permukaan’. Tapi itulah untungnya nulis yang ringan dan remeh, jarang ada yang melawan. Maen aman? Bisa jadi iya :D.
Tapi saya pernah satu atau dua kali dicap pandir dan bodoh gara2 postingan di blog saya, haha.
Yah itulah dunia blogging, kita bisa cari kawan, ato justru lawan yang datang. Konco sewu isih kurang, mungsuh siji wis kakean
Baca juga: Ngeblog Juga Penuh Resiko
to: Dony Alfan
bener, mas. ini postingan persembahan (halah) utk mas lintanglanang. sy gemes aja lihat debatkusir nan panas dan berbau kekerasan itu di shoutboxnya. suatu saat kita kayake jg harus bersiap dg kemungkinan yg sama.ya gak?
Senang sekali membaca tulisan di blog anda ini, terasa dan mempunyai roh.
Salm,
Inas
saya kira menyenangkan bisa berdebat di blog. berdiskusi. beradu argumentasi. kadang-kadang diajak berkelahi. walaupun saya belum pernah mengalami, maklum pendatang baru di dunia perblogan. sebelumnya saya mengikuti beberapa milis–teknologi satu tingkat di bawah blog, he-he-he. sebagian penuh dialektika. apalagi kalau menyerempet-nyerempet soal ‘ideologi tertentu’ sebagaimana diceritakan di muka.
blog semakin menjadi trendsetter. seperti booming jurnalisme sesaat pasca reformasi, saya kira blog-blog yang memang bermutu yang dapat eksis. seperti rumahmimpi salah satunya, he-he-he.
salam,
kapan-kapan kunjungi rumah maya saya di: masmpep.wordpress.com