Diri Sendiri
Ada sebuah kalimat dalam Novel Demian-nya Herman Hesse yang saya sukai: “Sekarang aku menyadari bahwa tidak ada di dunia ini yang lebih dibenci oleh seseorang daripada mencoba melangkah menuju dirinya sendiri.”
Kalimat itu diucapkan Emile Sinclair, tokoh pokok novel itu. Sinclair, seorang anak dari keluarga kaya yang terombang-ambing dalam dua dunia—lebih tepatnya, imajinasi tentang dua dunia—, berusaha melakukan pencarian dalam hidupnya dengan satu tujuan: menjadi dirinya sendiri.
Sejak saya membaca separuh awal Demian, saya telah bertanya-tanya: apa artinya “menjadi diri sendiri”? Lebih dari itu, apakah “diri sendiri” itu ada? Benarkah ia bisa mewujud dalam perilaku dan kehidupan sehari-hari kita? Kalau bisa, bagaimana ia mewujud? Bagaimana kita menemukannya?
Kita mengenal Rene Descartes yang dianggap sebagai peneguh kehadiran manusia sebagai “subjek modern”. Melalui kalimatnya yang amat terkenal: “Aku berpikir maka aku ada”, Descartes mengenalkan akal atau rasionalitas sebagai alat yang melapangkan manusia mencapai kebenaran atawa hakikat kenyataan yang ada di sekelilingnya. Subjek ala Descartes yang kemudian dikenal sebagai “Subjek Cartesian” adalah sosok diri otonom yang memaknai dan memberi arti kondisi lingkungannya lewat suatu proses pikir yang rasional.
Descartes menyebut, “cogito” alias subjek yang berpikir merupakan dasar kepastian untuk mengetahui realitas. Dengan menyatakan ini, ia sebenarnya menegaskan bahwa manusia, melalui pikirannya yang rasional, adalah “penentu” segala realitas yang ada di sekelilingnya. Kepastian tidak terletak di luar manusia, tapi di dalam “cogito”. Proses penalaran ini kemudian menghasilkan simpulan bahwa kesadaran manusia adalah sumber pengetahuan utama. Rasionalisme Descartes dengan gigih menyebut bahwa pengetahuan diperoleh melalui deduksi dari asas-asas apriori yang ada dalam pikiran manusia.
Jika mengikuti rute pikir Descartes, maka menemukan diri sendiri berarti melakukan interogasi kritis atas segala hal di sekeliling kita menggunakan akal. Akal yang kita punyai adalah instrumen utama dalam menuju diri sendiri. Segala pengalaman, perasaan, dan berbagai norma sosial, harus dinilai kembali melalui. Menjadi diri sendiri adalah melalui akal.
Tapi Descartes telah banyak ditolak. Demikian pula empirisme yang menekankan pengalaman manusia sebagai segala-galanya. Rasionalitas telah terbukti mengabaikan banyak hal, sementara mendasarkan pengetahuan pada pengalaman semata adalah sesuatu yang bodoh sebab indera yang kita miliki terlampau sering salah—fatamorgana misalnya, adalah bukti kesalahan itu. Saya kira, itulah kenapa Immanuel Kant berusaha mengambil “jalan tengah” dengan membagi realitas menjadi “fenomenon” dan “noumenon”. Yang pertama merupakan realitas yang bisa ditangkap subjek, yang kedua merupakan realitas senyatanya yang tak pernah bisa digapai.
Hubungan manusia dengan realitas, kata Kant, sebenarnya hanya merupakan hubungan manusia dengan fenomenon, bukan realitas yang sesungguhnya. Kant menolak empirisme tapi juga tak sepenuhnya menyepakati Descartes karena ia masih percaya akan adanya noumenon. Tapi kita juga bisa bertanya pada Kant: apa gunanya noumenon itu? Bukankah ia tetap merupakan sesuatu yang tak bisa ditangkap dan oleh karenanya tak akan masuk ke dalam level kesadaran manusia? Pada akhirnya, noumenon mungkin tak “berguna” karena Kant lebih menekankan pada kemampuan subjek dalam mengategorisasi realitas yang sampai padanya, dan ujung-ujungnya, subjek bisa mencampuri realitas itu—bahkan menentukannya.
Kant mengawali aliran idealisme di Jerman yang menyebut bahwa yang nyata adalah “idea”, bukannya materi. Dalam idealisme, realitas subjektif sangat bergantung pada kesadaran subjek, bukan pada kenyataan yang di luar sana. Pada Kant, menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang terbatas karena manusia sebenarnya tak pernah mampu bersentuhan dengan realitas senyatanya—selalu ada bagian yang luput. Meski terbatas, manusia tetaplah dapat menjadi diri sendiri melalui kesadarannya karena sebagai subjek ia memiliki kemampuan absolut dalam mengonstruksi realitas—lebih tepatnya, mengonstruksi fenomenon.
Setelah Descartes dan Kant, sebenarnya masih banyak rute pemikiran dari sejumlah filsuf yang bisa kita lewati. Tapi, untuk segera menunjukkan kontras, kita bisa berkunjung pada Michel Foucault. Bagaimana Foucault memandang manusia dan subjektivitasnya? “Sebelum adab 19 manusia tidak ada. Manusia adalah penemuan baru… cepat sekali tua… sepertinya ia sudah menunggu selama ribuan tahun di dalam kegelapan sampai datang penerangan yang membuat pada akhirnya ia dikenali…,” tulis Foucault dalam sebuah bukunya. Namun, ia buru-buru menambahkan, bahwa manusia, ”mungkin sedang mendekati kematian.”
Ide tentang subjek manusia, kata Foucault, muncul ketika ilmu pengetahuan mulai mengarahkan penyelidikannya pada manusia. Tatkala manusia menjadi bahan kajian bagi sains, misalnya, ia kemudian ditempatkan sebagai subjek. Dalam ilmu bahasa, manusia dianggap sebagai subjek yang bicara. Dalam ilmu ekonomi, manusia adalah subjek yang produktif. Secara ironis, Foucault menyebut proses ini sebagai objektivasi. Pewujudan manusia sebagai subjek ternyata terjadi lewat objektivasi: manusia hanya menjadi subjek tatkala ia menjadikan dirinya sendiri sebagai objek bagi penyelidikan ilmu pengetahuan.
Foucault adalah pemikir yang menolak subjektivitas manusia. Melalui sejumlah penelitiannya, ia berusaha melacak bagaimana subjektivitas manusia terbentuk. Penemuannya adalah bahwa subjektivitas manusia yang murni sebenarnya tidak ada. Subjektivitas adalah hasil bentukan. Bagi Foucault, manusia ternyata sebatas konstruksi dari aturan main sistem pengetahuan tertentu. Diri manusia, menurut dia, dikonstruksikan oleh relasi kekuasaan dalam wacana tertentu sejak para pemegang tafsir wacana menentukan kategori tertentu bagi dirinya di dalam hubungannya dengan masyarakat. Pada tahap pemikirannya yang ini, ia kemudian memroklamirkan “kematian manusia”.
Sampai pada Foucault, menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang menggelikan. Manusia tak akan sampai pada pernyataan bahwa “ia telah menjadi diri sendiri” karena dirinya tak pernah benar-benar “sendiri”—ia selalu berhubungan dengan aturan diskursif tertentu dan tak bisa mengambil jarak dengannya—dan parahnya, di tengah “ketaksendiriannya” itu, manusia juga bukan sesuatu yang menentukan. Ia selalu ada dalam tegangan dan tarikan yang seringkali tak kuasa ia tolak. Penolakan atas satu tarikan, misalnya, selalu merupakan akibat dari penerimaannya akan tarikan yang lain. Masalahnya, penerimaan dan penolakan atas tarikan itu, bukan ditentukan oleh subjektivitas manusia—yang telah dimatikan oleh Foucault—tapi ditentukan oleh seberapa kuat tarikan itu bisa memengaruhi manusia.
Namun, kematian manusia ala Foucault mungkin tak mesti kita terima dengan taklid karena toh Foucault juga menunjukkan ambiguistas tertentu dalam soal ini. Yang jelas, setelah ia hadir, kita tak bisa lagi percaya mutlak bahwa manusia bisa menjadi diri sendiri semata-mata atas dasar pilihan sadarnya, rasionalitas yang ia miliki, proses “mengalami” yang ia lakukan, atau kemampuannya dalam mengonstruksi realitas.
Mengutip—dengan sedikit modifikasi—pendapat Bambang Sugiharto, diri manusia lebih tepat dilihat sebagai produk sementara dari hubungan dialogis-kritis dengan pelbagai “teks” lain yang terus berlangsung, atawa sintesis-sintesis sekunder dan mudah berubah dari multiplisitas primer hubungan-hubungan.
Sebagai “produk sementara” atau “sintesis sekunder”, diri manusia akan selalu berubah beriringan dengan interaksi yang terjadi antara dia dengan “teks” atau “realitas” di sekeliling dia. Menjadi diri sendiri, oleh karenanya, tidak pernah ditentukan oleh person
alitas, keinginan, atau kesadaran kita saja—seperti Emile Sinclair dalam Demian yang menuju diri sendiri dengan provokasi dari temannya, Max Demian.
Pilihan kita untuk menjadi A atau B, misalnya, harus kita curigai sebagai “bentukan” atau “hasil hubungan”, bukan semata karena keinginan, rasionalitas, atau proses “mengalami” kita saja. Tentu saja, ketiganya selalu ada, tapi keinginan, rasionalitas, atau proses “mengalami” yang murni dan menentukan segala-galanya adalah sesuatu yang, saya kira, sifatnya imajiner. Sekali lagi, kita adalah hasil dari multiplisitas hubungan-hubungan, semacam simpulan dari hasil berbagai dialog.
Yang juga perlu ditegaskan, menjadi diri sendiri tak sama dengan menemukan sebuah posisi diri yang stabil di antara banyak posisi lainnya. Diri sendiri adalah sesuatu yang bergerak, tidak statis atau stagnan. Menjadi diri sendiri, oleh karena itu, adalah sebuah perjalanan. Juga, sebuah penciptaan yang terus-menerus.
Sukoharjo, 27 September 2008
Haris Firdaus
Komentar