Marjinalisasi Perempuan dalam Film Horor

You may also like...

7 Responses

  1. Nunung Mulyani says:

    hu uh kaya’nya sosok wanita “laris” buat film horor, kaya’ suster ngesot, kuntilanak, sinder bolong, banyak pokoknya, ya nggak?

  2. Haris Firdaus says:

    iya, wanita emang jadi komoditas yang laris-manis di film horor. sayangnya, ya itu tadi, posisinya marjinal.

  3. Rivai says:

    Saya pikir, dalam peran perempuan di dunia film horor, istilah yg tepat bukannya ‘marjinalisasi’, tapi ‘sentralisasi’, atau mungkin malah ‘eksploitasi’. Sebab bukankah peran wanita menjadi pusat dari cerita?

    Soal isi cerita yang menempatkan perempuan sebagai makhluk lemah yang hanya mampu melawan setelah jadi hantu, saya rasa itu bukan suatu manifestasi ide yang sengaja dibuat dalam film horor. Itu HANYA sekedar penggambaran dari realitas perempuan pada saat itu. Memang seperti itulah keadaan perempuan di masa film2 itu dibuat. Kalau film itu membuat tokoh perempuan yang gagah perkasa dan feminis, justru film itu jadi tidak realistis. Jadi, yang salah bukan film horornya. Memang begitu kenyataannya.

    Lalu, mengapa sekarang keadaannya tak jauh beda? Kenyataannya, sudah banyak film2 horor yang menjadikan perempuan sebagai tokoh utama dewasa ini. Kecuali dalam beberapa kasus yang tetap mengeksploitasi sensualitas perempuan, itu adalah bukti bahwa di zaman sekarang perempuan masih dijajah pria. Tampaknya feminisme tidak benar-benar berhasil membebaskan perempuan dari penjajahan itu, selain hanya memindahkan dari satu penjajahan ke penjajahan lain.

  4. haris says:

    to: rivai,
    realitas media kan bukan realitas yang sesungguhnya. realitas itu dipengaruhi oleh ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang berlaku tatkala isi sebuah media dibuat. sy tak sepakat kalo fim horor yang mengeksploitasi wanita dikatakan sebagai realistis. seolah2 klaim itu membuat film2 itu sah dan dibenarkan utk diproduksi.

    apa maksudmu dg sentralisasi? sentralisasi itu ada di wilayah permukaannya, menurutku. di wilayah yang lebih dalam, wilayah ideologis, yg ada adalah marjinalisasi.

  5. geka says:

    Suzanna Sang Legenda, dia telah pergi, tapi namanya tercatat sebagai Ratu Horor ya.

  6. Rivai says:

    Haris: “realitas itu dipengaruhi oleh ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang berlaku tatkala isi sebuah media dibuat.”

    Nah, itu yang saya maksud. Ketika film itu dibuat, ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang memarjinalkan perempuan sudah ada dan sudah sangat umum di masyarakat. Film tsb tidak berusaha menciptakan realitas baru (realitas marjinalisasi terhadap perempuan) tapi hanya sekedar meniru realita yang ada pada saat itu. Mengklaim suatu hal sebagai realistis tidak berarti pembenaran terhadap realita, sebab bagaimanapun juga film itu memberikan informasi kepada kita tentang kondisi perempuan saat itu, bukan berusaha membentuknya.

  7. Nyante Aza Lae says:

    perempuan saat ini dianggap sebagai objek promo ekspolitatif yg paling menarik….ntah kenapa….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>