Marjinalisasi Perempuan dalam Film Horor
Di Indonesia, film horor tak pernah bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Film horor yang pertama kali diproduksi di Indonesia, yakni Doea Siloeman Oeler Poeti en Item, memiliki tokoh utama perempuan dan seluruh bangunan ceritanya berpusat pada perempuan.
Film yang diproduksi pada tahun 1934 oleh The Teng Cun ini berkisah tentang siluman ular putih yang keluar dari gua pertapaannya dan kemudian menyamar menjadi seorang perempuan cantik. Dalam perjalanan hidupnya, sang siluman ular kemudian jatuh cinta pada seorang pria, lalu keduanya melangsungkan pernikahan.
Pada tahun 1970-an, ketika genre horor mulai laku di pasaran film Indonesia, sosok perempuan mulai menampakkan dominasi yang jelas. Satu nama perempuan yang tak bisa dilepaskan dari kisah film horor tahun 1970-an adalah Suzanna. Artis bernama lengkap Suzanna Martha Frederika van Osch ini adalah figur yang dijuluki sebagai “Ratu Film Horor Indonesia” karena keterlibatannya dalam sejumlah produksi film bertema hantu yang bisa dibilang menuai sukses di pasaran.
Sejak membintangi Beranak dalam Kubur tahun 1971, nama Suzanna memang melambung dalam jagat film horor Indonesia. Ada sekira 14 film horor yang dibintanginya yang menangguk sukses besar. Bahkan, beberapa bulan sebelum meninggal pada 15 Oktober 2008 lalu, Suzanna masih membintangi sebuah film horor dengan judul Hantu Ambulance (dirilis pada Feberuari 2008).
Nama Suzanna yang legendaris dalam jagat film hantu Indonesia menunjukkan, betapa sosok perempuan memang lebih familiar dengan film horor. Bahkan, kita di Indonesia hanya mengenal Suzanna sebagai “Ratu Film Horor Indonesia”, tanpa pernah ribut siapa yang seharusnya menyandang gelar “Raja Film Horor Indonesia”. Kenyataan ini merupakan bukti tak terbantahkan betapa sosok perempuan memang lebih akrab dengan dunia film horor dibandingkan dengan laki-laki.
Setelah dekade tahun 1970-an, artis perempuan masih terus menjadi tokoh utama dalam film-film horor. Kisah-kisah film horor Indonesia pada tahun-tahun berikutnya terus-menerus menjadikan perempuan sebagai pokok utama cerita. Tengok saja sejumlah judul film horor tahun 1980-an yang jelas-jelas menampilkan perempuan sebagai tokoh utama, seperti Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi Blorong (1983), Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Ratu Buaya Putih (1988), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989), dan banyak lagi.
Pada tahun 1990-an, sejumlah film seperti Misteri Permainan Terlarang (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri di Malam Pengantin (1993), Gairah Malam (1993), Si Manis Jembatan Ancol (1994), dan sejumlah judul lain juga menampilkan kisah horor dengan perempuan sebagai unsur utama. Memasuki dekade 2000, memang film horor tak lagi selalu menggunakan perempuan sebagai pusat kisah, seperti Jelangkung (2002) dan Kafir (2002), tapi tetap ada film yang memanfaatkan perempuan sebagai unsur dominan kisah.
Representasi dan Marjinalisasi
Problem pokok dalam tiap teks yang menampilkan sosok perempuan adalah masalah representasi. Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam isi sebuah teks. Sara Mills (1997) mengingatkan kita, bahwa representasi perempuan dalam teks yang diproduksi oleh budaya dengan dominasi patriarki biasanya cenderung bias. Perempuan condong ditampilkan sebagai pihak yang marjinal dibandingkan laki-laki.
Dalam film-film horor Indonesia, representasi perempuan cenderung berbeda-beda dalam tiap dekade. Namun, meski memliki variasi, ada kecenderungan perempuan ditampilkan sebagai sosok yang marjinal jika dibandingkan laki-laki. Pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an, kebanyakan kisah film horor berpusat pada tokoh perempuan yang teraniaya sampai mati, lalu menjadi hantu gentayangan. Tatkala masih hidup dan eksis sebagai manusia, perempuan adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan laki-laki. Perlawanan para perempuan terhadap laki-laki hanya bisa dilakukan ketika mereka telah meninggal dan menjadi hantu.
Setelah menjadi hantu, para perempuan itu baru bisa membalas perlakuan para laki-laki atas mereka. Dalam film-film itu sering digambarkan sejumlah lelaki bejat mati secara mengenaskan di tangan arwah perempuan gentayangan. Sekilas, racikan kisah macam ini seolah menampilkan sosok perempuan yang mampu membalas penindasan yang diterimanya dari kaum laki-laki. Tapi kalau diamati lebih dalam, nyatalah bahwa film itu memosisikan perempuan sebagai sosok marjinal.
Kenapa? Sebab perlawanan perempuan terhadap laki-laki itu hanya terjadi ketika sang perempuan telah meninggalkan dunia yang nyata dan menjadi arwah. Selama masih menjadi manusia, perempuan adalah sosok tak berdaya. Melalui kisah macam itu, film-film horor Indonesia pada 1970-an sampai 1990-an sebenarnya merepresentasikan sosok perempuan sebagai manusia tak berdaya. Ya, sebagai manusia yang eksis, perempuan tak berdaya. Baru kemudian, jika mereka mati dan menjadi hantu, mereka akan berubah jadi sosok yang berdaya. Pada posisi inilah, marjinalisasi terhadap perempuan terjadi di dalam film-film horor.
Marjinalisasi perempuan dalam film horor juga terjadi tatkala sosok perempuan—sebagai manusia yang utuh—direduksi sebagai sekadar tubuh yang digunakan untuk alat pemuas kebutuhan seksual. Mulai dekade 1980-an, film-film horor mulai memasukkan adegan-adegan panas dalam bangunan alur mereka. Mula-mula sebagai bumbu, tapi lama-kelamaan seks justru menjadi inti cerita. Pada tahun 1990-an, amat banyak film horor yang menyajikan adegan seks secara vulgar dan berlebihan. Pada dekade itu pula lahir sejumlah artis wanita yang sering dijuluki sebagai “bom seks” karena peranan mereka dalam film horor.
Relasi fisikal tubuh antara laki-laki dan perempuan dalam film horor tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah relasi biologis semata. Adegan-adegan seksual yang umumnya menempatkan perempuan sebagai pihak yang tak berdaya itu juga menjadi sebuah petanda adanya relasi ideologis. Dalam relasi ideologis tersebut, perempuan hampir selalu berada sebagai pihak yang marjinal. Seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang (2004), di dalam dunia kapitalisme yang dipengaruhi wacana patriarki, perempuan akan selalu ditempatkan sebagai sekadar “objek kesenangan” dari dunia laki-laki.
Haris Firdaus
(Dimuat di Suara Merdeka, 22 Oktober 2008)
gambar diambil dari sini
hu uh kaya’nya sosok wanita “laris” buat film horor, kaya’ suster ngesot, kuntilanak, sinder bolong, banyak pokoknya, ya nggak?
iya, wanita emang jadi komoditas yang laris-manis di film horor. sayangnya, ya itu tadi, posisinya marjinal.
Saya pikir, dalam peran perempuan di dunia film horor, istilah yg tepat bukannya ‘marjinalisasi’, tapi ‘sentralisasi’, atau mungkin malah ‘eksploitasi’. Sebab bukankah peran wanita menjadi pusat dari cerita?
Soal isi cerita yang menempatkan perempuan sebagai makhluk lemah yang hanya mampu melawan setelah jadi hantu, saya rasa itu bukan suatu manifestasi ide yang sengaja dibuat dalam film horor. Itu HANYA sekedar penggambaran dari realitas perempuan pada saat itu. Memang seperti itulah keadaan perempuan di masa film2 itu dibuat. Kalau film itu membuat tokoh perempuan yang gagah perkasa dan feminis, justru film itu jadi tidak realistis. Jadi, yang salah bukan film horornya. Memang begitu kenyataannya.
Lalu, mengapa sekarang keadaannya tak jauh beda? Kenyataannya, sudah banyak film2 horor yang menjadikan perempuan sebagai tokoh utama dewasa ini. Kecuali dalam beberapa kasus yang tetap mengeksploitasi sensualitas perempuan, itu adalah bukti bahwa di zaman sekarang perempuan masih dijajah pria. Tampaknya feminisme tidak benar-benar berhasil membebaskan perempuan dari penjajahan itu, selain hanya memindahkan dari satu penjajahan ke penjajahan lain.
to: rivai,
realitas media kan bukan realitas yang sesungguhnya. realitas itu dipengaruhi oleh ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang berlaku tatkala isi sebuah media dibuat. sy tak sepakat kalo fim horor yang mengeksploitasi wanita dikatakan sebagai realistis. seolah2 klaim itu membuat film2 itu sah dan dibenarkan utk diproduksi.
apa maksudmu dg sentralisasi? sentralisasi itu ada di wilayah permukaannya, menurutku. di wilayah yang lebih dalam, wilayah ideologis, yg ada adalah marjinalisasi.
Suzanna Sang Legenda, dia telah pergi, tapi namanya tercatat sebagai Ratu Horor ya.
Haris: “realitas itu dipengaruhi oleh ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang berlaku tatkala isi sebuah media dibuat.”
Nah, itu yang saya maksud. Ketika film itu dibuat, ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang memarjinalkan perempuan sudah ada dan sudah sangat umum di masyarakat. Film tsb tidak berusaha menciptakan realitas baru (realitas marjinalisasi terhadap perempuan) tapi hanya sekedar meniru realita yang ada pada saat itu. Mengklaim suatu hal sebagai realistis tidak berarti pembenaran terhadap realita, sebab bagaimanapun juga film itu memberikan informasi kepada kita tentang kondisi perempuan saat itu, bukan berusaha membentuknya.
perempuan saat ini dianggap sebagai objek promo ekspolitatif yg paling menarik….ntah kenapa….