Masa Lalu dan Penolakan Posmodernisme
Di Indonesia, perbincangan tentang posmodernisme telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat mengenai topik itu datang dari kalangan yang beragam: akademisi, aktivis LSM, mahasiswa, sampai seniman. Diskursus mengenai posmodernisme itu sendiri melibatkan banyak kajian yang sifatnya interdisipliner karena keluasan medan perbincangan tentang posmodernisme memang tak memungkinkan meringkas wacana posmodernisme dalam bingkai satu ilmu tertentu.
Bambang Sugiharto, dalam sebuah tulisannya di Majalah Basis (Edisi Januari-Februari 2002), menyebut bahwa posmodernisme merupakan sebuah “istilah-payung” yang ibaratnya seperti “keranjang besar yang kosong”: ia bisa diisi dengan banyak ragam benda yang mungkin memiliki perbedaan yang signifikan. Namun, betapapun beragam isi istilah posmodernisme itu sendiri, tetap ada kecenderungan umum yang menyatukan mereka.
Kecenderungan itu antara lain: (1) menganggap “realitas” sebagai suatu konstruksi semiotis, artifisial, dan ideologis; (2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang “substansi” objektif; (3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara; (4) paham tentang sistem sebagai sesuatu yang otonom dianggap tidak lagi memadai; (5) tidak lagi melihat oposisi biner sebagai sesuatu yang memadai; (6) melihat dan memberi tempat kepada kemampuan lain selain rasionalitas, seperti imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb; dan (7) menghargai segala hal “lain” (otherness) secara luas yang selama ini termarjinalkan oleh wacana modern.
Pembicaraan tentang posmodernisme di Indonesia tentu dipengaruhi oleh publikasi tulisan baik di media massa, jurnal, internet, maupun yang berbentuk buku. Posmodernisme sendiri merupakan wacana yang datang dari luar sehingga perbincangan mengenainya pun tak mungkin melepaskan diri dari konstruksi pemikiran para intelektual non-Indonesia. Kaum cerdik pandai di Indonesia pada awalnya mengenal wacana posmodernisme dari literatur-literatur asing yang mereka dapatkan dalam studi formal maupun dalam relasi intelektual yang informal. Seiring pertambahan waktu, buku-buku tentang posmodern pun mulai dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia.
Selain itu, para pemikir Indonesia pun telah banyak yang menulis tentang posmodernisme. Tahun 1996, Bambang Sugiharto menerbitkan buku bertajuk Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Melalui buku itu, Bambang menggambarkan bahwa “gerakan posmodern” ternyata melakukan “penyerangan” terhadap konsep filsafat modernis sehingga filsafat ada dalam “krisis”. Namun, Bambang tak sekadar mendeskripsikan penyerangan itu tapi juga berusaha mencari jalan keluar atas kondisi “krisis” yang diakibatkan penyerangan tadi.
Selain Bambang, penulis Indonesia yang kerap “bermain-main” dengan wacana posmodernisme adalah Yasraf Amir Piliang. Yasraf merupakan penulis buku dan artikel yang produktif dan secara konsisten memilih tema-tema tentang kondisi kebudayaan manusia yang sedang memasuki fase baru seiring penemuan teknologi baru yang mampu melakukan “rekayasa realitas”.
Beberapa buku Yasraf Amir Piliang yang berkait—baik langsung maupun tak langsung—dengan wacana posmodernisme antara lain: Sebuah Dunia yang Dilipat (terbit pertama tahun 1998, direvisi dan diterbitkan kembali menjadi Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan pada tahun 2004 oleh penerbit yang berbeda), Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos (2001), Hipermoralitas: Mengadili Bayang-bayang (2003), Transpolitik: Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (2003), dan Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika (2004).
Beberapa buku terjemahan mengenai posmodernisme juga banyak beredar dalam Bahasa Indonesia seperti karya Madan Sarup yang berjudul Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis (2004), karya Steven Best dan Douglas Kellner yang berjudul Teori Posmodern: Interogasi Kritis (2003), dan Buku Visi-visi Postmodern (2005) yang dieditori David Ray Griffin. Beberapa buku pemikir yang kerap membahas masalah posmodernisme juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia seperti karya-karya Jean Baudrillard, antara lain Berahi (2000), dan Masyarakat Konsumsi (2004).
Salah satu buku terjemahan tentang posmodernisme yang cukup penting dan sedikit berbeda adalah Menolak Posmodernisme karya Alex Callinicos yang awal tahun ini baru saja diterbitkan oleh Resist Book. Buku Callinicos ini merupakan buku yang secara terang-terangan berusaha menolak dalili-dalil posmodernisme. Diawali dengan pembahasan mengenai asal-usul posmodernisme, Callinicos berusaha menguliti kenapa banyak intelektual di barat mengalami ketakjuban pada wacana posmodernisme. Pada akhirnya, buku ini sampai pada kesimpulan bahwa posmodernisme hanya semacam eksperimen intelektual yang “kenes” dan banyak bersandar pada “permainan bahasa” serta akan membuat kaum terpelajar lupa terhadap realitas penindasan masih terjadi karena adanya gurita kapitalisme global.
Terbitnya edisi Bahasa Indonesia karya Alex Callinicos ini bisa jadi akan menyulut kembali perdebatan tentang posmodernisme di kalangan intelektual kita. Perdebatan itu, tentu saja merupakan sesuatu yang positif karena akan membuat wacana posmodernisme di Indonesia makin meluas, mendalam, dan berpotensi digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah masalah kebudayaan di negara kita.
Haris Firdaus
(Dimuat di Suara Merdeka, 19 Oktober 2008)
gambar diambil dari sini
STA, di awal tahun 80-an, sudah pernah menulis soal posmodernisme. Hanya saja, tidak dengan semangat menggebu seperti Yasraf (misalnya), tapi masih dilambari etos seorang pembela modernisme yg gigih.
Itulah STA.
*im back, bro*
to: zen
mungkin karena di tahun 80-an, emang belum ada yang perlu digembar-gemborkan soal posmodernisme di indonesia, zen.
btw, siplah u balik! tapi kok aku ngertine telat ya! wah gawat ki!
begitu ayat pertama turun, islam sudah posmodern. karena meminta membaca segala hal, yang artinya menisbatkan bahwa semua adalah teks, hehehe…
wes dijupuk honore, hihiihi… makan2 dung!
to: omahseta
berarti menurut mas aul, islam membolehkan dekonstruksi segala hal dunk? ha2.
*durung tak jipuk, mas. lagi sesuk* ha2
sayangnya posmodernisme pada akhirnya menjadi tempat “bersembunyi” yang rindang untuk pemuja kedangkalan, lalu menjadi alibi untuk kemalasan berpikir.
tau sangat sedikit tentang banyak hal rupanya lebih keren dibanding tau banyak tentang sedikit hal…
to: galendo. sy kok tidak melihat posmodernisme diposisikan sg tempat bersembunyi bagi kedangkalan. adakalanya begitu, tapi juga tak selalu begitu, mas.