“Telimpuh”: Suatu Interpretasi
1.
Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani (HAH), ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah.
Sajak-sajak dalam antologi itu seolah mewujud menjadi semacam “kisah-percakapan” dan “percakapan-kisah” yang melibatkan sejumlah manusia dengan ketegangan tertentu. Ketegangan itu terwujud karena hubungan manusia dengan bahasa—dalam satu atau banyak percakapan—tak selalu menjadi relasi yang berhasil. “Mekanisme bahasa yang normal”, seperti pernah ditegaskan tradisi linguistik Saussurian, ternyata tidak selalu terwujud dengan baik. Dalam sebuah percakapan, terkadang ada jarak, semacam jeda yang memisahkan satu sosok dengan sosok lainnya.
Tapi, ketegangan apapun tak akan pernah membuat manusia menghentikan percakapan-percakapan. “Berwacana atau bercakap adalah cara yang dengannya kita mengartikulasikan ‘secara signifikan’ intelijibilitas mengada-dalam-dunia,” tulis filsuf Martin Heidegger dalam karyanya yang terkenal, Being and Time. Bagi Heidegger, bercakap-cakap adalah satu aktivitas yang membawa pada penemuan siginifikansi keberadaan kita sebagai manusia di dunia. Oleh karenanya, percakapan adalah aktivitas yang hampir mustahil dihindari, bahkan jika kegiatan itu akhirnya mesti mengakibatkan ketegangan tertentu pada mereka yang melakukannya.
Telimpuh adalah sebuah “kitab-percakapan” yang kaya. Kumpulan itu terdiri dari tiga bab: “Kitab Komik”, “Kamus Empat Kata”, dan “Malaikat Penjaga Gawang”. Sejumlah sajak yang ada dalam tiap bagian memiliki satu nafas dominan yang sama. Pada “Kitab Komik”, semua sajak berkait dengan komik; pada “Malaikat Penjaga Gawang”, sajak-sajaknya berkait dengan sepakbola. Sedangkan pada “Kamus Empat Kata”, HAH membuat eksperimen unik: pada masing-masing sajak, ia memilih empat kata dengan huruf depan sama, kemudian menuliskan beberapa larik kalimat sebagai “penjelas” kata-kata tersebut.
2.
Pada awalnya yang paling ujung, kumpulan ini menghadirkan sebuah puisi yang, bagi saya, terlihat mirip dengan sketsa percakapan yang dipenuhi paradoks; sebentar terbata, sebentar terdengar penuh ketegasan. Seolah dalam sketsa itu, dua manusia yang menjalin dialog tak pernah bisa menemu kata sepakat, meski upaya menuju “satu pemahaman” tak pernah benar-benar berhenti. Saya kutipkan dua bait awal puisi yang saya maksud:
”LUPAKAN aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab
di bingkai pertama, balon percakapan
itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut,
juga dingin dan kata-kata di dalamnya
jadi percik rintik.
AKU menggambar payung untukmu,
tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu:
”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”
(Sajak ”Komik Strip, 1”)
Dua bait ini saja sudah cukup memberi kesan pada kita betapa percakapan adalah suatu yang tak mudah: sejak kalimat pertama digelontorkan, “balon percakapan” itu telah pecah dan kemudian tiba-tiba ia telah “menjelma kabut”. Percakapan yang pecah itu, lalu sekonyong disertai dengan “kata-kata” yang berubah jadi “percik rintik”. Ada semacam kesan tentang “kehilangan” di sana: percakapan yang pecah lalu menjelma kabut, kata-kata yang berubah jadi percik rintik—bukankah keduanya menyajikan semacam “peluang yang hilang”?
Peluang yang hilang itu adalah peluang untuk terus bercakap tanpa masuk ke dalam kabut; peluang untuk saling menukar kata tanpa takut harus basah karena percik rintik. Tapi, agaknya, “kehilangan” itu tak menyurutkan apa-apa: “percakapan yang tragis” itu tetap dilanjutkan dengan risiko yang tampaknya siap dihadapi. “Payung” yang dibuatkan aku-lirik untuk kawan dialognya itu pun ditampik. Rupanya, sang kawan lebih memilih “basah” dan “tenggelam”, lalu “hilang”. Penolakan terhadap “payung” serta pilihan untuk “basah” dan “tenggelam” adalah sebuah metafora tentang penampikan. Penampikan, sebuah sikap untuk tak sepakat, kemudian akan kita temui dalam tiga bait berikutnya dari sajak itu:
LALU kugambar sebuah rumah di bingkai kedua
dengan kamar-kamar labirin. ”Aku tersesat,” katamu.
”TIDAK! aku bersembunyi dan kau mencariku seperti
permainan petak-umpet!”
DI bingkai ketiga, kugambar genangan basah
air mata dan keringat yang
berpunca dari resah dan lelah,
”Aku mau pulang dan tidur,” pekikmu
Rumah dengan kamar-kamar labirin yang sebenarnya dibuat oleh aku-lirik untuk bermain petak umpet itu, ternyata malah menyesatkan kekasihnya. Barangkali, ini semacam kisah tentang percakapan antar-manusia yang punya kecenderungan berbeda: yang satu menyukai metafora seperti “rumah dengan kamar-kamar labirin”, yang lainnya lebih memilih jadi praktis dan akan segera merasa tersesat tatkala memasuki sebuah labirin. Di bait selanjutnya, ketika perasaan yang resah dan lelah telah meruapkan air mata dan keringat, kontras itu akan kembali terasa: seorang hendak pulang lalu tidur, seorang lain bersikukuh bahwa mereka belum menyelesaikan permainan. Sampai di sini, nyata bahwa “Komik Strip, 1” adalah “kisah-percakapan” yang dipenuhi tegangan, juga sebentuk pesimisme.
Tapi, sebenarnya, percakapan tak selalu hadir dalam tegangan yang memancarkan sebersit pesimisme. Ia justru bisa mewujud menjadi sesuatu yang amat dibutuhkan, semacam “penghidup” bagi sesuatu yang dulunya mati, menjadi “pewarna” bagi hal-hal yang sebelumnya kurang semarak. Simak sajak “Pelajaran Bebas Menggambar Komik”:
PADA saatnya tiba, kita harus memberi
percakapan pada gambar itu, lanskap
dengan huruf bisu itu. Kelak ketika kita
khatamkan kitab komik ini, tak ada senyap
turun mendekap gurun, hati yang gerun.
PADA saatnya tiba, kita harus membubuhi
warna pada gambar hitam putih itu, dengan
pastel pelangi. Kelak ketika kita kumpulkan
kertas kucal ini, tak ada bidang kosong
yang menjerit, menuntut minta diwarnai.
Pada Sajak “Catatan Seorang Pembuat Komik”, percakapan—meski hanya “imajiner”—tampil sebagai aktivitas yang lebih penting dari sekadar “pewarna”: ia menjadi sebuah jalan yang melapangkan renungan eksistensial. “Catatan Seorang Pembuat Komik” adalah narasi tentang seorang pembuat komik yang bercakap dengan—lebih tepatnya, diajak bercakap oleh—tokoh dalam komik yang dibuatnya. Dalam sajak itu, kita akan menemukan seorang tokoh komik yang tiba-tiba bangkit, lalu melontarkan sejumlah pertanyaan:
SUDAH kuduga dia: tokoh komik yang baru saja
terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat
mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat
pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3.
SIA-SIA bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
AKu pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
yang selalu didekap dada – kadang di kepala. Ada
skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks
, dan
balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.
“Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
sebenarnya hendak merantau kemana?” Siapa yang
berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan
kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.
….
Dialog-dialog yang terucap dalam puisi itu lebih menyerupai gumam yang kebingungan. Di satu sisi, jelas bukan hanya aku-lirik yang ada di sana, tapi pada sisi lainnya, sosok yang mengajak bercakap itu tak sepenuhnya nyata. Kisah-percakapan yang terbentuk dalam puisi itu, akhirnya membawa semacam renungan eksistensial tentang rumah, kepulangan, juga kematian. Komik, yang merupakan sebuah dunia rekaan, bangkit menjadi sebuah dunia hidup yang bahkan akhirnya menjadi “alternatif untuk pulang”. Dalam sajak ini, nyata bahwa HAH mencoba melebur batas dunia nyata dengan dunia imajiner melalui aktivitas percakapan lintas batas:
MASIH juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah
melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yang
membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang
terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi
nama dan tanggal kematian. “Namamu sendiri,
Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?”
3.
Saya berkali-kali membaca sejumlah esai pendek HAH tentang puisi, dan di antara sekian banyak tema-tema tulisan ringkasnya itu, agaknya salah satu yang paling disukai HAH adalah tentang “kebaruan” dalam sajak.
Beberapa tulisannya—terutama yang mengacu ke Joko Pinurbo atau Sutardji Colzum Bachri—mengandung sejumlah ide bahwa tiap kali seorang penyair menulis sajak, hendaknya ia memperhitungkan adanya kebaruan dalam karyanya. Jangan terus mengulang-ulang apa yang telah dicapai penyair dulu, begitu kata ringkasnya. Kebaruan agaknya menjadi sesuatu yang selalu diikhtiarkan HAH tiap kali ia menulis puisi. Dalam bukunya, Menapak ke Puncak Sajak, ia pernah menulis: “Tiba-tiba, bersama puisi, di depan dada terbentang gunung, langit, laut, sungai, semuanya juga menawarkan penjelajahan yang tak habis-habisnya.”
Dengan anggapan HAH tentang puisi sebagai “penjelajahan yang tak habis-habisnya”, tak heran kita akan menjumpai sejumlah “eksperimen” dalam banyak puisinya. Eksperimen itu mungkin tercium dari tema-tema yang digubahnya jadi puisi; dari bau intertekstualitas yang diruapkan oleh sajak-sajaknya; atau dari cara ucap puisinya yang cenderung terus melakukan pengelakan terhadap “logat sajak” penyair-penyair yang telah lampau.
Dalam Telimpuh, kebaruan itu terutama tercermin dari eksperimen “sajak kamus”-nya. “Sajak-sajak kamus” yang semuanya terangkum dalam bab kedua buku itu, merupakan sebuah percobaan yang menarik sekaligus menantang terhadap aturan bahasa yang cenderung menjadi kaku.
Pada sajak-sajak itu, kita akan menemukan semacam perlawanan terhadap “penjara bahasa” dalam bentuknya yang khas. “Sajak kamus” HAH memang tak melakukan perombakan menyeluruh dan radikal—semacam yang dilakukan Sutardji lewat puisi mantranya—terhadap bahasa. Alih-alih melakukan perombakan macam itu, “sajak kamus” justru memanfaatkan konvensi formal bahasa kita guna menyusun sebuah “konvensi” baru.
Tapi, saya harus buru-buru menambahkan, yang saya maksud sebagai tawaran “konvensi” baru itu bukan berujud kalimat definitif anyar bagi tiap kata—seperti yang lumrah terdapat dalam kamus bahasa manapun. Tawaran konvensi baru itu justru mengambil bentuk sebuah “kisah-percakapan” dan “percakapan-kisah” yang mengalir lancar, kadang diselipi humor, kadang ditambahi bumbu yang getir. “Kamus” yang sedang disusun HAH lewat sajak-sajaknya itu, oleh karenanya, menjadi sebuah kamus yang dipenuhi nuansa kehidupan.
Yang menarik, dalam beberapa “sajak kamusnya”, HAH ternyata membicarakan bahasa, percakapan, dan proses yang terkait dengan hal-hal itu—tema-tema yang juga ia eksplorasi di dalam bagian “Kitab Komik”. Pada sajak-sajaknya yang demikian, akan nampak dengan jelas bahwa bahasa, percakapan, dan manusia adalah tiga hal yang berada dalam ketegangan-ketegangan. Simak sajak “Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P”:
PERTAL: Dari bahasa ke bahasa, kita saling menerjemahkan.
Masih saja ada yang tetap tak bisa kita mengertikan
sepenuhnya. “Biar saja, aku yang melupakan bahasaku,”
katamu. “Tidak, biarkan aku yang memperfasih bahasamu,”
kataku. Atau adakah waktu bagi kita untuk belajar mencipta kata
mengucapkan kita, dengan kamus yang sejak semula terbuka?
PERUAK: Lalu jarak itu semakin melebar. Melabur semua lembar.
Di seberang kau berteriak, aku hanya mendengar. Kau melambai,
aku hanya menyebut, “ah, diri yang lalai.” Lalu kau tenggelam, aku
belum juga sadar, hari sudah malam. Sudah lama larut malam.
PERUANG: Padahal sebenarnya, kita pernah bersama belajar mantera.
Mengapung di permukaan air. “Tapi, aku ingin tenggelam bersamamu,”
katamu. “Aku ingin kita berangkulan, melawan arus yang tak terlawan.”
Padahal sebenarnya, aku masih ingin tenggelam dalam keasingan
bahasamu-bahasaku. Padahal sebenarnya, aku nyaris sampai pada
kesimpulan itu: mungkin sungai itu adalah kamus yang mencatat
seluruh kata dalam hidup kita.
PERUM: Lalu, aku sendiri. Ada yang sepertinya sudah aku mengerti. Di tepi
sungai yang mencatat akhir keasingan bahasamu-bahasaku,
aku melabuhkan batu penduga. Seperti ada yang menyapa di seberang
sana. “Hei, kau hendak berlayar kemana, Saudara?”
Dalam konvensi bahasa kita yang formal, kata ”pertal”, ”peruak”, ”peruang”, dan ”perum” memiliki makna yang cukup berjauhan. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Balai Pustaka, 2006) menyebut ”pertal” bermakna menerjemahkan; ”peruak berarti menjadi lebar; ”peruang” terdefiniskan sebagai ilmu atau mantra yang menyebabkan tidak tenggelam di air; dan ”perum” sebagai batu penduga. Makna keempat kata yang berjauhan secara formal itu, didekatkan oleh HAH dalam sajaknya. Puisi ”Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P” menggemakan pada kita problem berbahasa yang dialami manusia dengan selipan kisah serta percakapan yang tragis dan menggemaskan.
Dalam bait pertama, kita temui sejumput percakapan tentang bahasa, proses menerjemahkan, juga saling pengertian yang tak selalu berhasil. Ada sebuah jarak yang membuat ”masih saja ada yang tetap tak bisa kita mengertikan sepenuhnya”, meski jarak itu berusaha untuk diatasi dengan berbagai ”upaya”. Sayangnya, seperti bisa kita baca di bait kedua, jarak itu justru makin lebar dan saling pengertian makin menjadi sesuatu yang tambah sulit. Di bait ketiga, terungkap bahwa dua sosok yang bercakap itu sebenarnya telah sama ”belajar mantra” supaya tak tenggelam dalam keasingan masing-masing. Namun agaknya, ”peruang” yang telah dipelajari itu tak berfaedah. Bait terakhir sajak itu justru menegaskan keterpisahan: satu sosok akhirnya berdiri sendiri, merasa seolah telah mengerti sesuatu, tapi tiba-tiba ada pertanyaan yang membuyarkan keyakinan bahwa ia telah mengerti sesuatu.
Sajak ”Kamus Empat Kata Berhuruf Awal L, 2” juga berisi soal percakapan, bahasa, dan kata. Masih dengan situasi tarik-menarik yang khas, juga problem-problem yang mengalir, tapi kini dibumbui renungan-renungan:
LENGAR: Dia menyebutku dengan maksud yang lain,
kau mengartikanku dengan niat yang juga berbeda,
Dan pada akhirnya aku juga tak tahu dalam
percakapan sesederha apa hingga bisa memaknai<
br /> diri sendiri sepenuh-penuhnya. “Selamat pingsan
sajalah. Dalam kamus yang nyaman, kau sebaiknya
tidur saja.”
LENGGANA: Yang paling malang – atau paling beruntung – adalah
menjadi kata, yang bisa meramalkan takdir sendiri. Siapa yang
kini menyebutmu? Tak ada. Siapa yang kini mengertimu?
Tak ada. Siapa yang kini mengalimatkanmu? Semua
bisa menjawab dengan menyebutmu saja. Semua segan,
semua enggan, semua tidak lagi sudi meyakinkanmu sebagai
kata yang pernah ada.
LENGKARA: Berapa usia sebuah kata? Sebab ucap yang basah kelak
mengering jua; Sebab lidah yang tak bertulang tak pernah
mengingat apa yang dikatakannya; Sebab bibir yang punya
bahasa sendiri tak pernah minta disusun dalam kamus abadi;
maka kuucap saja kata yang terdengar mustahil, kata yang
seperti sesuatu yang tidak mungkin ada. Tapi ada. Tapi ia kata.
LENGKING: Dalam setiap kata, ada nyaring yang sama. Dalam setiap
suara ada makna yang bertahan meski telah lama mengabut gema.
Di dalam kamus, kau temui dia diam, sebisik pun tak bersuara.
Dalam jeritmu, dia mendengar kau meyakinkannya bahwa
dia memang ada. Dia punya makna.
“Lengar” artinya berasa seperti pening; ”lenggana” memiliki definisi segan, enggan, tidak sudi; ”lengkara” bisa diartikan sebagai mustahil, sesuatu yang tidak mungkin ada; dan “lengking” memiliki makna bunyi nyaring dan keras. Dilihat makna masing-masing, di antara kata-kata itu juga terpaut jeda yang jauh. Tapi, sekali lagi, HAH menunjukkan kemampuannya menyusun sebuah ”kisah-percakapan” yang padu tentang kata, bahasa, dan manusia, menggunakan kata-kata tersebut.
Sajak ”Kamus Empat Kata Berhuruf Awal L, 2” mengisahkan betapa makna dan kata tak selalu bergerak-berberengan. Salah satunya bisa mrucut dari yang lain dan oleh karenanya, percakapan bisa menjadi sesuatu yang melelahkan. ”Kelelahan” itulah yang mungkin membuat HAH mengucapkan salam perpisahan: “Selamat pingsan sajalah. Dalam kamus yang nyaman, kau sebaiknya tidur saja.”. Tapi, sebagaimana kita baca dalam bait ketiga dan keempat, pesimisme tentang percakapan itu selalu diikuti dengan semacam ”upaya” untuk tetap mengucapkan kata—yang bahkan mungkin mustahil ada—disertai sebuah keyakinan bahwa ”kata yang mungkin saja mustahil” itu tetap memiliki makna.
4.
”Sajak-sajak sepakbola” HAH yang terangkum dalam bagian ketiga Telimpuh tak bisa dikatakan meruapkan kebaruan sekuat ”sajak-sajak kamus”-nya.
Tendensi utama bagian ini adalah mendayagunakan sepakbola, beserta seluruh kosa kata dalam permainan itu, untuk dipakai sebagai ”jalan masuk” menuju sebuah kontemplasi. Tentu saja, bukan sebuah renuangan yang kering dan membosankan. Di sana dan di sini, masih kita temukan gaya ucap lincah yang dipadu dialog-dialog cerdas, kadang diselingi satu dua subversi sajak penyair yang lampau.
Sejumlah puisi dalam bagian ini masih tetap menggunakan tipikal percakapan sebagai cara ucap yang dominan. Secara tematis, bagian ini sebenarnya bergeser cukup jauh dari dua pendahulunya. Ini memang bukan suatu masalah besar, dan justru bisa dianggap sebagai sebuah pengayaan.
Saya menyukai sajak ”Setelah Sebuah Gol” karena ia menggumamkan sebuah kebimbangan secara ringkas, dan oleh karenanya, terasa tidak tuntas:
“OH, betapa inginnya aku ikut
bersorak-sorak bergembira, tapi
untuk siapa?” kata bola di dalam
gawang. Baru saja ia terjaring jala.
Baru saja ia lolos dari tangkapan
penjaga gawang, penjaga bola.
Sehabis membacanya, kita masih terbengong-bengong, hendak mengucap apa, mau menjawab bagaimana. Melalui sajak ringkas itu, HAH menggedor kita dengan satu pertanyaan yang seharusnya kita jawab, ia menarik kita ke dalam sebuah arena percakapan yang mungkin saja enggan kita masuki. Keengganan itu, barangkali muncul karena percakapan macam itu hanya akan membuat kita diam dan terus bertanya ketimbang menemu jawaban yang pasti. Tapi, sebuah sajak yang baik memang seharusnya seperti itu: meninggalkan jejak pertanyaan yang lama, bukannya menjawab sesuatu secara pasti dan menggebu.
Puisi “Kwatrin Gawang Sebenarnya” juga terasa istimewa karena ia memakai seluruh perlengkapan sepakbola untuk memaknai kehidupan yang lebih “sejati”. Meski berbau eksistensialisme, sajak ini tidak menggurui kita. HAH tetap meninggalkan kita dengan pertanyaan-pertanyaan dan tak sembarangan merumuskan jawaban-jawaban:
DIA pun terbaring sendiri di lingkar tengah lapangan,
Sebuah bola bulat telanjang tergolek di sampingnya.
Tak ada lagi gawang sendiri dan gawang lawan,
Hanya dengus nafasnya dan detak jantung bola.
“INILAH saatnya menyatukan cinta, sebulat-bulatnya,”
katanya kepada bola. Dibukanya sepatu dan kaus kaki.
“Inilah saatnya kita memahami vonis hati: adu penalti,”
katanya pada diri sendiri. Lalu erat didekapnya tubuh bola.
TELAH dilepaskannya nama dan nomor di punggungnya.
Baru ia sadari, “O, betapa lembut rambut rumput lapangan.”
Dan ketika ia telah meringkuk di rahim bola, maka tahulah ia
: kenapa bapak dulu mengajarinya hakikat sebuah tendangan.
BERAPA pertandingan hati ke kaki sudah dikejarnya?
Berapa kartu merah mengusirnya dari lapangan tanya?
Di dalam sunyi bola, rahasia kehidupan membuka terbaca,
Membawanya ke gawang sebenarnya, gol sesungguhnya
Walaupun tema sepakbola terasa jauh dari tema-tema percakapan dan bahasa, tampaknya secara implisit kita masih bisa menemui ketiganya berbarengan dalam “sajak-sajak sepakbola” HAH. Dua “sajak sepakbola” yang telah saya sebut di atas jelas beririsan dengan tema percakapan: dalam keduanya, percakapan menjelma menjadi sesuatu yang memiliki guna persis dengan yang dirumuskan Heidegger—membuat kita menemukan signifikansi sebagai manusia di dunia. Kita bisa melihat tendensi yang sama dalam sejumlah “sajak sepakbola” HAH lainnya.
5.
Saya ingin mengakhiri esai ini dengan mengutip sajak “Sehalaman Komik Hitam”, sebuah puisi yang secara parodis menggambarkan percakapan yang berhenti jadi “halaman hitam”:
HINGGA setengah pertunjukan, kita masih
memainkan adegan tanpa perbincangan.
Di balon percakapanmu kau mengatur
sejumlah konsonan. Seperti tak faham,
aku telah lama tak tahu apa mau dikatakan.
Lalu halaman cuma hitam. Cahaya karam.
Kau tahu, tak? Ada yang terkekeh Membaca,
kita yang terjebak adegan. Tanpa perbincangan.
Sajak ini kelihatannya ringan karena ia mengambil komik sebagai sebuah latar sekaligus perlambang yang metaforis. Tapi sajak ini bukan “sajak yang ringan” seandainya kita memaknainya pada level kemanusiaan kita. Pada masa di mana identitas kelompok sering berakibat pada salah paham, pada suatu waktu ketika permusuhan terjadi hanya karena ketidakmampuan menjalin dialog, penting buat kita untuk menjaga kehidupan bersama tidak menjadi “selembar komik hitam”. Penting dikatakan bahwa jangan sampai kita “terjebak adegan tanpa perbincangan” sehingga kemanusiaan kita tak berubah jadi “hitam” karena “cahaya karam”.
Sampai di sini, saya harus mengakui, dalam puisi-puisi HAH terkandung sebuah “upaya” untuk meneruskan “optimisme-percakapan” kita sebagai manusia. Dalam puisi-puisi HAH, problem ketegangan percakapan selalu diikuti oleh sebuah “upaya” untuk mengatasi masalah itu. Kadangkala upaya itu berhasil; kadang juga tidak. Dari pola yang semacam ini, kita tahu: kisah manusia tak hanya diliputi pesimisme, tapi juga sebersit harapan, secercah cahaya tentang kesalingmenge
rtian, dan sebongkah mimpi puitis tentang masa depan yang lebih indah.
Sukoharjo, 22 Oktober 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Buku yang berat ya…..jujur, saya tidak terlalu pintar untuk membaca buku karya sastra.
to: geka
tak terlalu pintar? bukan masalah yo. yang penting baca, baca, baca. tulis, tulis, tulis!
sangat tepat untuk menjelaskan kicauan sajak hasan aspahani dalam telimpuh-nya, hanya saja masih banyak interpretasi yang tersembunyi dibalik otak pembaca lain.
to: fadheel
tentu saja masih banyak interpretasi lain yg tak akan termaktub dlm esai ini. itu kenapa judulnya “suatu interpretasi”. hanya “suatu” bukan segala-galanya.
ah ternyata itu arti dari kata LENG****, saya nyasar ke blog ini setelah googling.
Bahasa sastra memang indah, jadi tertarik untuk baca lebih lanjut.
It’s a nice blog! Thx anyway!
maksud mimpi batu nisan?