Menziarahi Laweyan, Menggenapi “Ke-Solo-an”
“Wong Solo itu belum lengkap ‘Ke-Solo-an’-nya kalau belum sampai di tempat ini.”
Di sebuah siang yang terik, saya mendengar kalimat semacam itu meluncur dari seorang pengurus Paguyuban Kampung Batik Laweyan, Solo. Kala itu, 20 Januari 2009, saya bersama sejumlah kawan dari Komunitas Blogger Bengawan sedang menziarahi kompleks pemakaman kerabat dari tiga kerajaan—Kerajaan Pajang, Kartasura, dan Kasunanan Surakarta—yang termasuk ke dalam kompleks Kampung Batik Laweyan. Yang dimaksud sebagai “tempat ini” oleh si pengurus kampung batik, tak lain tak bukan adalah kompleks kuburan yang sedang kami ziarahi itu.
Dalam hal sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, pemakaman itu memang bisa berbicara banyak. Sejumlah jenazah sosok penting dalam riwayat Kerajaan Mataram Islam dan turunannya, ada di kompleks yang sekarang kondisinya menggiriskan itu. Sebut saja sejumlah tokoh penting, seperti Ki Ageng Henis, Pakubuwono II, permaisuri Pakubuwono V, Nyi Ageng Pandanaran, Nyi Ageng Pati, Pangeran Widjil I Kadilangu, serta sejumlah tokoh lain, semuanya bersemayam di kawasan itu.
Ki Ageng Belek, sahabat Ki Ageng Henis yang mulanya beragama Hindhu tapi kemudian pindah ke Islam, juga dimakamkan di sana. Ki Ageng Belek inilah yang menyerahkan bangunan pura Hindhu miliknya pada Ki Ageng Henis untuk kemudian diubah menjadi Masjid Laweyan. Masjid yang letaknya bersebelahan dengan kompleks pemakaman itu, merupakan masjid tertua di Kota Solo—diperkirakan sudah ada tahun 1546 pada masa Joko Tingkir mengendalikan Kerajaan Pajang.
Jika sang tokoh kampung batik yang memandu kami itu menyatakan bahwa wong Solo yang belum ziarah ke kompleks pemakaman tiga kerajaan tersebut belum lengkap “Ke-Solo-annya”, itu karena kompleks pemakaman tadi menyimpan “asal-usul” Kota Solo yang cukup purba. Saya katakan demikian karena di tempat inilah terbaring jenazah Ki Ageng Henis, tokoh yang merupakan moyang dari raja-raja Mataram Islam sekaligus sosok yang merintis usaha batik di Laweyan.
Kita tahu, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di Solo itu adalah kelanjutan dari Mataram Islam, sehingga makam ini bisa disebut sebagai kuburan kakek moyang para pendiri Kota Solo. Sejak tahun 1546, Ki Ageng Henis telah berada di Laweyan dengan tujuan mula mendakwahkan Islam. Pada tahun itu pula, para penduduk Laweyan sudah mulai memproduksi batik. Jadi, Laweyan yang sekarang menjadi kampung wisata batik itu, punya sejarah yang jauh lebih purba ketimbang Kota Solo atau bahkan Kerajaan Kasunanan—dibandingkan usia keduanya, Laweyan jauh lebih tua ratusan tahun karena wilayah ini telah eksis sejak masa Kerajaan Pajang.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh Ki Ageng Pamanahan, putra Ki Ageng Henis. Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam, adalah putra dari Pamanahan, alias cucu dari Henis. Ki Ageng Henis sendiri dipercaya sebagai keturunan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang kemungkinan meninggal pada 1478—bahkan konon, rangka dan mahkota Brawijaya V ikut dikuburkan bersama jenazah Ki Ageng Henis di kompleks yang sedang saya ziarahi itu (informasi ini saya dapat dari orang yang memandu kami itu, meski warta ini sebenarnya susah dipercaya karena bahkan Brawijaya V sendiri kadang masih dianggap sebagai tokoh fiksi, bukan sosok yang riil ada dalam sejarah).
Pembukaan Hutan Mentaok—yang menjadi cikal bakal Mataram Islam—oleh Ki Ageng Pamanahan berawal dari “sayembara” yang diadakan oleh Joko Tingkir. Kala itu, Pajang sedang bermusuhan dengan Arya Penangsang, Adipati Jipang yang membunuh sejumlah kerabat Kerajaan Demak dan mengakibatkan pecahnya kerajaan Islam itu. Dalam kondisi itulah Hadiwijaya—nama lain Joko Tingkir—mengumumkan sayembara: barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang, akan dihadiahi tanah di daerah Mataram dan Pati.
Lalu tampillah Ki Ageng Pemanahan beserta Ki Penjawi menyambut sayembara tersebut. Bersama mereka, ikut pula Sutawijaya. Alkisah, ketiganya berhasil mengalahkan Arya Penangsang sehingga dua tanah itu jatuh ke tangan mereka. Pamanahan memilih hutan di Mataram, Penjawi mendapat jatah tanah Pati (Penjawi adalah putra dari Ki Ageng Henis juga. Istri dari Penjawi, bergelar Nyi Ageng Pati, disemayamkan tepat di samping Ki Ageng Henis).
Pamanahan membuka tanah bekas Kerajaan Mataram Hindhu yang runtuh tahun 929, dan kemudian mendirikan Desa Mataram. Ia kemudian menjadi kepala desa, bergelar Ki Ageng Mataram. Desa inilah yang menjadi cikal bakal Mataram Islam yang didirikan Sutawijaya. Kini, siapapun tahu, Mataram pecah berkali-kali dengan hasil akhir dua kerajaan di Yogya dan dua kerajaan di Solo.
***
Sebagaimana kebanyakan makam tua di manapun, makam Ki Ageng Henis telah beralih rupa menjadi tempat yang dikeramatkan. Ketika saya dan rombongan mengunjungi makam itu, kami bertemu sejumlah orang yang sedang melakukan tirakat di sana. Waktu itu siang hari, dan tampak para petirakat tersebut sedang beristirahat di sebuah joglo di depan pintu masuk makam. Beberapa ubo rampe sesajen yang biasa hadir dalam laku macam itu, seperti kemenyan dan air kembang, bisa dengan mudah ditemukan pada sejumlah sisi makam.
Juru kunci kompleks pemakaman mengatakan, sejumlah pejabat dari segala level—termasuk beberapa orang yang pernah menduduki jabatan Walikota Solo—seringkali menziarahi makam itu dan minta didoakan. Praktik semacam ini, tentu saja lazim kita temui di banyak tempat yang dianggap keramat. Kebanyakan yang datang dan minta berkah di tempat-tempat seperti itu, adalah mereka yang juga beragama Islam—ingat, Ki Ageng Henis adalah seorang pendakwah Islam, ia bahkan mengislamkan sahabatnya, Ki Ageng Belek.
Tentu saja, sebagian kalangan Islam akan menentang laku macam ini, dan menganggapnya tak lebih dari perilaku takhayul yang bisa menggoyangkan akidah. Namun kenyataannya, sejarah menunjukkan bahwa ziarah begitu bukan barang asing dalam dunia Islam. Bukan hanya di Jawa laku macam itu ada, tapi juga di kawasan Timur Tengah, negeri-negeri Magribi, sampai wilayah Afrika dan Asia.
Dalam tulisan pendahuluan yang mereka buat untuk Buku Ziarah dan Wali di Dunia Islam, Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot menyebut, ziarah ke tempat keramat, terutama kuburan, adalah tradisi yang merentang di seluruh wilayah penyebaran Islam. Tradisi semacam ini tumbuh karena kebutuhan akan adanya sebuah “ruang suci” yang konkret. Barangkali, karena Tuhan begitu jauh dan tak berhingga, maka manusia membutuhkan tempat suci yang dianggap sebagai penghubung mereka dengan Zat Maha Segala itu—dalam kasus Islam, banyak pemeluk yang menginginkan tempat yang jauh lebih suci ketimbang masjid biasa. Islam sebenarnya sudah mengakomodir kebutuhan macam itu dengan menjadikan Mekkah sebagai pusat dari “ruang suci” tersebut. Tapi, penyebaran ajaran ke pelosok-pelosok yang jauh dari Mekkah menyebabkan keberadaan kota suci itu tak lagi cukup.
Chambert-Loir dan Guillot berpendapat, para pemeluk Islam dari wilayah pribumi itu kemudian membutuhkan tempat-
tempat baru—yang ada di dekat mereka—yang bisa mereka anggap sebagai “ruang suci”, semacam “perwakilan” dari Mekkah. Untuk mendukung argumentasi bahwa tempat yang disucikan itu memiliki “hubungan langsung” dengan Mekkah, tak jarang dimunculkan kisah bahwa tokoh lokal yang dimakamkan di tempat tersebut memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Tampaknya, ada hasrat dari para pemeluk Islam itu untuk mencari kaitan yang bersifat ragawi dengan segala hal yang merupakan “pusat” atau “inti” dari ajaran Islam.
Hasrat demikianlah yang membuat kekeramatan sebuah tempat disemaikan, meski faktor internal dari pemeluk pribumi ini tentu saja tak menjadi satu-satunya variabel pemengaruh. Cuma, kebutuhan akan adanya ruang konkret di mana manusia merasa bisa berkomunikasi dengan Tuhan secara lebih baik, barangkali menjadi faktor yang secara umum menyebabkan tumbuhnya tradisi ziarah di makam-makam lokal.
Proses macam inilah yang sangat mungkin terjadi di kompleks makam Ki Ageng Henis itu. Sang juru kunci sempat berkisah pada kami, suatu malam ada seorang calon pejabat tiba-tiba datang dan minta didoakan di makam itu. Keesokan harinya, sang calon pejabat telah resmi menjadi pejabat dengan level yang tidak rendah. Bapak juru kunci juga bercerita tentang seorang pelaku tirakat—yang kami temui di joglo depan makam itu—yang konon berhasil sembuh dari patah tulang karena melakukan laku di tempat itu.
“Aku ki yen lara moh neng dokter kok, Mas. Aku pilih tirakat neng makame Eyang wae,” begitu kira-kira kata-kata sang petirakat yang dituturkan kembali oleh juru kunci makam kepada kami (Artinya kira-kira: “Saya ini kalau sakit tidak mau ke dokter kok, Mas. Saya memilih tirakat di makamnya Eyang saja”—“Eyang” di sini adalah Ki Ageng Henis).
Anda mungkin menganggap kisah-kisah semacam itu sebagai tak sesuai akal, tapi mereka yang punya keyakinan akan tetap melaju dengan iman yang telah dipegang teguh. Kadang-kadang, “orang-orang tradisional” itu bisa punya kebajikan dan kebijaksanaan melebihi para pendakwah berbaju putih yang suka marah-marah.
Bagi saya, daripada berdebat soal benar-salah yang dogmatis itu, lebih baik jika pemikiran dan tenaga kita diarahkan pada bagaimana merawat situs sejarah tersebut. Bangunan kompleks makam itu memang kini mengkhawatirkan: dinding yang membatasi kawasan itu dengan jalan kampung, telah rubuh separo. Siang itu, saya menyaksikan tumpukan bata tak beraturan bekas rubuhan tersebut. Kondisi nisan-nisan batu yang antik di makam itu juga mengenaskan: sebagian besar tak lagi utuh, rompal-rompal di banyak sisi sehingga tak lagi saling menyambung antarbagian, juga dipenuhi lumut. Dinding yang mengelilingi makam telah mengelupas catnya, dan belum ada cukup uang untuk memperbaruinya, begitu kata sang juru kunci.
Perhatian lebih sangat dibutuhkan agar tempat itu menjadi sedikit lebih baik, asri, dan rapi. Tanpa sebentuk perhatian lebih, agaknya kompleks makam tiga kerajaan itu hanya akan jadi fosil yang tak terawat, jejak yang tak lagi jernih tentang riwayat masa lalu warga Solo. Jika itu yang terjadi, Anda mungkin tak akan bisa menggenapi “Ke-Solo-an” Anda.
Sukoharjo, 20 Januari 2009
Haris Firdaus
Foto diambil oleh kawan saya, Sigit Nugroho
Saya bukan wong Solo tapi sudah menggenapi ke-Solo-an saya..hehehehe.
Saya juga agak prihatin kemaren lihat banyak nisan2 kuno makam yang berserakan gak beraturan. Semoga bakal ada perhatian yang lebih dari pemkot agar sejarah Solo masih bisa dilacak oleh anak cucu kita nanti.
saya tidak terlalu mengenal solo yang jelas, apapun itu untuk tujuan konservasi apalagi sajarah saya mendukung.
dan blog ini postingan ini punya realitas itu. saluut
tabiek
senoaji
sayang, ya, tempat bersejarah semacam itu kurang terawat.
coba kalau pemerintah lebih peduli, masyarakatnya juga tak sekadar melihatnya sebagai yang syirik dan musyrik, pasti lebih asyik….
kasihan, temboknya sudah hampir roboh gak ada yang memperbaiki.
Gak percuma kita kemarin jalan2 ke sana. Termasuk belajar sejarah, sebuah perjalanan ke masa lalu
bagussss, saya suka cerita historynya.
.::he509x::.
Saya merasa banyak hal berbeda di sini, di saat yang lain -kebanyakan- terpesona dengan batik dan kampung batik, mas Haris mampu meraba hal yang lain… Sungguh saya mendapatkan banyak pencerahan di rumahmimpi ini… Salam
saya bukan wong solo, belum menggenapi kesoloan, namun telah merasa menjadi wong solo, he-he-he.
sedikit tambahan:
– nama ki ageng henis memang ditulis dalam banyak versi. saya pernah membacanya sebagai: ki ageng ngenis.
– masjid laweyan merupakan satu dari tiga masjid yang dibiayai pemkot solo. yang dua adalah masjid wustho mangkunegaran dan masjid di kompleks balaikota.
– mataram kemudian pecah menjadi dua kerajaan dan dua puri. karena baik pakualaman dan mangkunegaran bukanlah kerajaan, melainkan puri–setingkat raja muda yang sebenarnya otonom penuh seperti laiknya raja. kita bisa lihat gelar mangkunegaran dan pakualaman sebagai kanjeng pangeran adipati ario (kgpaa). kedudukan keduanya bukan raja, melainkan pangeran miji (terpilih) setingkat raja muda. (soal ini menarik ditulis lebih lanjut mas haris).
Pepak critane mas….
Ki Ageng Henis iku putrane Ki Ageng Selo to?
Memang mengasyikkan bercerita tentang sejarah di masa lampau….
Salam kenal ae mas….
Laweyan memang menyimpan banyak misteri…
coba menelusuri mitos “bau laweyan” pasti menarik…
hohoh, klo semua orang sakit pilih tirakatan daripada ke dokter, aku ra payu no…
Btw rumahku laweyan…
Ada beberapa Eyang buyutku dikuburkan di situ.
Terus terang aku tidak terlalu suka keluyuran di kuburan Laweyan, karena kuburannya item-item….hihihi serem… lagi pula tidak dihias oleh tanaman bunga-bungaan… hanya kamboja aja deh
wah sy belum pernah kesana. kayanya angker ya mas
Jika Tuhan berkenan
saya akan menggenapi kesoloan itu
meski bukan cah solo
salam hangat mas..
wow… suka ziarah ya
wah, tulisan feature ini bagus sekali. yang ambil foto namanya mirip aku, hehehe…
ralat dikit. DI Jogja bukan ada 2 kerajaan tapi satu kerajaan dan satu kadipaten yang berada di bawah kerajaan. Kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang kala itu diberikan tanah di Kulonprogo.
Do Solo kayaknya juga gitu.
@phery
ralat lagi. di jogja dan solo ada satu kerajaan dan satu puri (bukan kadipaten). puri/pura adalah wilayah kedudukan bagi ‘raja muda’ yang otonom. kadipaten adalah wilayah kedudukan bagi ‘bupati’ yang berada dalam hierarki di bawah kerajaan. coba lihat komentar saya sebelumnya.
@phery
o, ya dikit lagi. pura pakualaman punya tiga kadipaten: kulon progo, gunung kidul (?), dan adikarto. dari tiga kadipaten ini kadipaten adikarto dilikuidasi ketika pakualaman dan ngayogyakarta diintegrasikan menjadi provinsi DIY.
@haris
tak tertarik menulisnya bung?
to: maspemp dan phery
terima kasih atas ralatnya yang amat berguna ini.
menurut saya justru makanm dengan ‘tampilan’ yang begini yang mengesankan kesunyian, damai dan senyap, sayang pohonnya kurang gede n rimbun, buat ‘nongkrong’kan bisa lebih angless.. 😀
wah saya belum menggenapi ke-solo-an saya nih…
aku udah pernah ke makam ini!! berarti saya udah jdi wong solo asli!! pernah nulis juga sedikit soal Kampung batik laweyan. 😀
mas saya mau tanya, alamat makam ki ageng henis dimana?
soalnya saya ada tugas penelitian yang harus melibatkan foto dan vidio dokumenter, jadi saya harus terjun langsung ke lapangan…
mohon dibalas…