Wisrawa

You may also like...

24 Responses

  1. ciwir says:

    suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti…

  2. boykesn says:

    ya..ya..sebuah pencerahan, disaat dimana-mana penuh pembenaran dan caci maki..
    Terimakasih.

  3. labib85 says:

    cuilleh yang lagi serius baca novel sindhunata terus begini jadinya wuakkaakk

  4. wendra wijaya says:

    Wah, nyaman rasanya membaca tulisan anda ini.. Terima kasih banyak..

  5. Dony Alfan says:

    Yah, lagi2 karena nafsu manusia menjadi lupa dan alpa. Manajemen nafsu di manakah aku mempelajarinya?

  6. wonka says:

    konon, terinspirasi kisah ini aura sukaesih suka berbaju seksi..:) hehehe

  7. wonka says:

    konon, terisnpsirasi cerita ini aura sukaesih suka berbaju seksi..

  8. blontankpoer says:

    wah, seneng aku baca tulisane. mateng, asyik…

    mesti wis katam baca anak bajang menggiring angin-e sindhunata, wis apal karo lakon-lakon kang kababar dening ki nartosabdho.

    sippp

  9. aryo aswati says:

    wah ris, lagi resah dengan agama dan kebenaran???
    sepertinya memang ada bahasa “bumi dan langit”. seperti Ayu Utami:
    “hanya kebaikan yang boleh mewujud hari ini”

  10. ala says:

    mantappp…

  11. afie says:

    hm….sampe bingung aku meh komen apa..

  12. Senoaji says:

    sama seperti ala… muantapppp….polpolan mentul mentul..

    tabiek
    senoaji

  13. rayearth2601 says:

    tulisan yang bagus mas…

    bener sekali kerendahhatian adalah sesuatu yang penting, dan yang benar pasti akan menang

  14. Doa di Putik Kamboja says:

    wah penjabaran yang menarik. cerita leluhur pasti mempunyai pesan. bukan hanya kecerdasan yang digunakan untuk membaca. tapi juga kearifan dan kerendahan hati untuk menerima sebuah petuah, menerima hidup yang selalu mengolah. matang atau busukkah? kita takkan pernah tahu. sejarah yang mencatatnya. walau diam-diam.

  15. Brian says:

    ternyata kisah ramayana bermakna sedlam itu ya,makasih atas artikelnya

  16. grubik says:

    Penuh dengan simbolisme ya mas? Emang nafsu tuh fitrahe menungso, tinggal bagaimana mnjaga kseimbangane. Bahkan obsesi berlebih tentang kesucian, bukankah itu juga nafsu?

  17. PUISI RENUNGAN says:

    just visit, tapi emang bagus ceritanya.
    Dewa2 egois juga ya… ga mau lenyap.

  18. masmpep says:

    dari ‘teori’ mengenai ramayana yang pernah saya baca: ramayana lebih banyak mendeskripsikan watak secara hitam putih ketimbang mahabarata. betapa pandawa beberapa kali berlaku khilaf. bahwa adipati durna yang dianggap licik di jawa ternyata tokoh yang dilematis di india.

    selain makna filsafati, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari ‘alur’ lakon ramayana ini.
    pertama, ketika wisrawa membuka tabir kehidupan kepada sukesi dunia berguncang. ini berarti setiap ilmu tersebut dibuka, dunia berguncang. mengapa dewa-dwa hanya ingin mengentikan pembelajaran pada sukesi. tidakkah ketika wisrawa belajar ilmu ini dunia berguncang pula? atau wisrawa memperoleh ilmu ini sebagai wahyu?

    kedua, banyak buku-buku mengenai ramayana, mahabarata, wali songo, syekh siti jenar (yang belakangan populer), hanya berhenti pada ‘istilah’ ketika mendeskripsikan soal ‘ilmu kehidupan’. penulis-penulis kita, filosof-filosof kita, dalang-dalang kita tampaknya satu garis dengan dewa-dewa: pelit ilmu. saya kesulitan mencerna ‘ilmu kehidupan’ seperti apa ‘sastra jendar’ itu, ‘jimat kalimosodo’ itu, ‘otok howok’ nya semar, ‘air kehidupan di tengkuk’ dalam cerita-cerita jenar dan walisongo…. (bung haris pun masih menjelaskan dalam ‘istilah’, belum pada ‘definisi’, apalagi ‘definisi konseptual’ dan ‘definisi operasional’.

    salam,
    masmpep.wordpress.com

  19. haris says:

    to: masmpep.wordpress.com

    pertama,wisrawa itu belum pernah mewedar sastra jendra sblmnya selain di hadapan sukesi krn dy tahu risikonya. barangkali, pemahaman dy pun hanya didapat dari semacam wangsit atau wahyu. slt membayangkan wisrawa menerima sastra jendra melalui pengajaran yang definitif kan?

    kedua, dalang2 dan buku2 kita bukan pelit. sastra jendra, “rahasia kehidupan”, harus dipahami dg nalar yg berbeda dg nalar modernis kita yg penuh tuntutan rasio. itu yg sy pahami. bagi sy, agak berlebihan menuntut definisi konseptual, apalagi definisi operasional, soal sastra jendra. itu pemahaman sy. tapi, coba kau tanya mas antok atau kabut. mereka jg pernah diskusi itu dulu bgt. ketika antok sy tanya soal sastra jendra, dy hanya jawab singkat: sangkan paraning dumadi. nah bukankah jawaban itu juga sebuah simol, mas? bukan definisi?

  20. masmpep says:

    “kedua, dalang2 dan buku2 kita bukan pelit. sastra jendra, “rahasia kehidupan”, harus dipahami dg nalar yg berbeda dg nalar modernis kita yg penuh tuntutan rasio.”

    saya tertarik dengan anak paragraf ini. soal nalar berpikir. saya hanya kesulitan memahami ‘makna’ yang dikatakan ‘dalam’ dari simbol dan definisi-definisi filsafati ini. ketika kemudian saya ingin mengetahui lebih dalam, saya dibenturkan pada alam berpikir yang hipotetis: bahwa peradaban hari ini berpikir dengan menggunakan ‘nalar modernis’ dengan kata kunci ‘rasio(nalitas)’. sedang peradaban ketika kakawin ramayan digubah menggunakan ‘nalar berbeda’–dalam analisis teks saya ‘tradisional’ dan ‘tidak menggunakan rasio’.

    saya tak puas berhenti pada titik ini, mas haris. saya tak puas ketika membaca buku-buku semacam itu, lebih banyak berhenti pada ‘sejarah’ tokoh-tokohnya (cerita syekh siti jenar lebih banyak berisi sejarah ketimbang muatan filsafat ‘ajarannya’). kalaupun dikupas, lebih banyak berisi ‘resensi’, dan ‘kesimpulan’. sehingga kita kemudian menyebut ‘pakem’.

    padahal, gairah berpikir kakawin-kakawin kita itu saya kira terbuka terhadap tafsir-tafsir baru. bagaimana kita menafsir, bila kita tak berkesempatan untuk memahami abstraksi ‘simbol’ dan ‘istilah’.

    saya berharap mas haris–dengan tradisi membaca dan menguliti kepustakaan yang tak diragukan–tak berada pada domain penulis-penulis ‘istilah’.

    namun ini hanya harapan, he-he-he.

    salam,
    masmpep.wordpress.com

  21. haris says:

    terima kasih atas diskusinya, mas feb. mas, melakukan tafsir atas “simbol” tentu saja tak perlu harus sampai pada apa yang kau sebut sebagai “definisi operasional” bukan? kekayaan simbol agaknya tak bisa diringkas ke dalam “definisi operasional”. melakukan tafsir, itu beda dengan melakukan pendefinisian operasional, kan? barangkali benar bahwa kebanykan buku yg berkisah soal epos itu tak banyak berkisah soal definisi dari simbol2 itu. bagi sy pribadi, lebih menarik melakukan tafsir dari kisah2 sejarah para tokoh itu ketimbang harus mencari2 pokok2 ajaran filsafat mereka. dlm laku hidup merekalah tersimpan kekayaan yang bs kita tafsirkan dlm konteks kekinian. sy memang blm bs mewedar sastra jendra, mas. pengetahuan sy soal itu amatlah terbatas–sy bahkan agak ragu kita yg tak melakukan olah spritual bs sampai ke arah sana. tapi bukan berarti tiap bagian dari epos tak bs kita tafsir kan?

    sekali lagi terima kasih…

  22. omahseta says:

    wuih, diskusi haris dan masmpep benar-benar mencerahkan. jadi gak pede ikutan komentar…

  23. Ndoro Seten says:

    Luar biasa kupasane mas…
    Dunia perwayangan memang merupakan simbol kehidupan manusia sebagaimana makna wayang, bayangan, ayang-ayang.
    Di balik simbol dan pralambang itulah para pujangga ingin menyampaikan pesan-pesan mengenai keluhuran budi dan nilai-nilai moralitas, dan satu hal yang pasti adalah dialektika antara kebenaran dan kebatilan yang tiada akan pernah sirna selama dunia ini masih berputar. dan di setiap ujung pergulatan hidup, kebenaran akan senantiasa unggul di atas kebatilan.
    Matur nuwun dongenge mas…

  24. Anonymous says:

    Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
    suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti

    wayang banget, mengingatkanku pada dosenku, kuliah PSE,
    sastra jendra tu maksudnya apa? ilmu?
    pangruwating diyu? pengekang hawa nafsu?
    nafsu=diyu buto?
    hayuningrat?…………
    suradira ?………….
    lebur dening pangastuti? terhapus dengan kerendahan hati, pemaaf?saling memaafkan?

Leave a Reply to ala Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>