Dialog-dialog Menjelang Berangkat
“Sebentar lagi, setelah pintu itu ditarik tutup dan kereta melaju, segalanya mungkin akan berubah.”
Aku mengatakannya dengan ragu-ragu, takut kau akan mengubah pendirianmu.
Tapi kau diam saja, seolah tidak akan terjadi apa-apa. Ada senyum di bibirmu yang bertekstur lembut itu, bersanding dengan kecuekan yang tidak dibuat-buat. Kau merapatkan jaketmu, memandang sekeliling, lalu menatapku dengan tatapan paling biasa yang pernah aku lihat. Tidakkah kalimatku barusan berarti sesuatu bagimu?
“Setelah semuanya berubah, penyesalan selalu datang bersama keterlambatan. Dan segalanya hanya tinggal kenangan yang tak bisa kita sentuh dengan tangan.” Kali ini dengan mendekatkan bibirku ke telingamu.
Kau tersenyum, lebih mirip ekspresi sebuah geli ketimbang mengerti atau coba menghayati kalimatku. Setelah itu, semuanya sama kembali: orang-orang masih berjalan, sejumlah pedagang mendekati kita, dan kau selalu melongok sebentar pada dagangan mereka lalu menolak dengan halus. Mereka pergi dan kereta yang akan membawa kita belum juga datang. Apakah perubahan kali ini akan kembali gagal?
Di antara semua kenangan yang pernah kita pahatkan pada celah ingatan masing-masing, aku selalu menyukai memori tatkala kita duduk berdua di sebuah bangku yang menghadap kolam besar dengan air berwarna hijau dan gelombang yang selalu mengalun. Pada sebuah siang yang ramah itu, kita akhirnya memutuskan untuk hanya duduk, memandang, dan saling diam. Seandainya ada juru potret di taman yang sepi itu, aku akan menyuruhnya mengambil gambar kita dari belakang sehingga yang terekam hanyalah punggung kita berdua yang berdempetan, kelihatan mesra dari belakang.
Tapi kita tidak pernah menemukan juru potret. Dan gambar punggung kita yang berdempetan, hanya muncul dalam bayanganku tatkala kita akhirnya tahu: memiliki sesuatu selalu berarti membawanya menuju sebuah perubahan. Sementara perubahan itu, tidak selalu menuju ke garis yang lebih baik dan kokoh. Di situlah pertaruhan terjadi, permainan dimulai, dan ke mana kita akan sampai, barangkali hanya akan diketahui setelah kaki kita berhenti mengayunkan langkah.
Ini kedengarannya sederhana. Tapi hidup selalu lebih rumit daripada kesibukan menghitung akar bujursangkar kwadrat. Perjalanan yang kita awali selalu merupakan petualangan yang kadang-kadang tanpa peta, penjelajahan tanpa penunjuk arah. Itulah kenapa aku mendambakan potret punggung kita yang berdempetan dan kelihatan mesra. Dalam potret yang semacam itu, aku selalu mengangankan keabadian: melihat dua punggung yang jejer, apa yang bisa kita ucapkan kecuali bahwa keduanya milik dari dua sosok yang saling mengintimi satu sama lain?
Aku selalu mengangankan hal itu justru karena tahu: kita tak menemukan juru potret di taman itu dan punggung kita berdua tak pernah benar-benar jadi diabadikan. Tidak ada yang abadi pada kita berdua. Sama sekali tidak ada.
Barangkali itulah yang membuatku cemas petang ini, tatkala kita menunggu kereta api yang segera membawa kita menuju muara yang sama sekali tak pernah kita perkirakan dengan persis. Kadang aku ingin memastikan kau memahami ini: perubahan yang kita jelang akan begitu drastis dan tak ada tempat untuk pulang.
###
Kau mengatakannya seolah-olah aku masih belum paham apa yang hendak kita lakukan. Tentu saja, kalimatmu itu punya begitu banyak arti untukku. Tapi saat ini, aku memilih mendiamkanmu, menatap sekeliling dengan cuek, lalu melihatmu dengan tatapan paling biasa yang aku miliki. Dengan semua gerik itu, aku ingin menyatakan padamu bahwa aku sama sekali tak terpengaruh oleh kalimatmu. Lagipula, bagiku, kalimat itu terasa sebagai omong kosong yang bodoh.
Di saat seperti ini, aku akan lebih memilih menghirup suasana stasiun. Kau amat tahu kalau aku menyukai stasiun, bukan? Aku berkali-kali mengatakannya padamu dan seharusnya kau tidak pernah melupakan itu. Aku tahu kau tidak pernah melupakan hal itu. Tapi untuk apa kau menyemburkan petuah soal perubahan itu?
“Apakah aku masih terlihat sebagai anak kecil?”
Akhirnya aku tidak tahan menanyakan itu. Kau bengong, seolah tidak sadar bahwa aku baru bertanya dengan metafora. Lalu diam kembali. Dan aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin kau, seorang yang tahu dengan presisi apa itu “metafora”, harus tergagap dengan permainan semiotik rendahan macam itu. Aku sungguh-sungguh tidak habis pikir. Dan stasiun ini semakin indah.
Di antara semua kenangan yang pernah kita miliki berdua, aku akan memilih satu yang menurutku paling bagus. Itu adalah masa ketika aku membaca tulisanmu soal kita dan stasiun. Tulisan ringkas yang penuh nuansa personal itu tentu saja tidak akan laku di koran—apalagi di halaman yang diberi label “Budaya” atawa “Seni”. Tapi aku tahu kau menulis bukan untuk dilabeli “Budayawan”—sebuah kata yang menurutmu amat menggelikan meski sampai sekarang aku tak pernah tahu di mana letak menggelikannya kata itu.
Aku menyukai tulisanmu itu walaupun kau mengatakan dengan sungguh-sungguh ada banyak kedodoran di dalamnya. Di sana dan di sini, katamu sambil menunjuk bagian-bagian teks yang kau maksud, masih terdapat celah yang sungguh celaka jika dibaca oleh orang yang jeli dan paham bagaimana cara menulis dengan benar. Dan aku bersyukur tak masuk ke dalam golongan orang yang semacam itu. Aku menyukai keintiman dan tulisanmu penuh dengan itu.
Dari semua bagiannya, aku amat senang tatkala kau mulai “mengobrak-abrik”—itu istilahmu sendiri, semacam pengganti bagi proses menafsirkan puisi dengan sekehendak hati dan demi kepentingan diri sendiri—puisi Sapardi Djoko Damono tentang percakapan di dalam kereta yang entah nyata atau tidak. Uh, aku menyukai frasa itu—“aku lirik”—meskipun susah memaknainya dan tentu saja kita tak bisa mengatakan bahwa frasa itu berarti “aku sedang melirik”, bukan?
Saat aku mengatakan itu kau hanya tersenyum. Sedikit malu-malu. Tapi aku tak pernah mengatakan yang sejujurnya padamu kenapa aku begitu menyukai tulisan itu. Kini, dengan tatapan mata, ya hanya dengan tatapan mata sebab itulah yang bisa kuperbuat saat ini, aku akan menyatakan alasan itu.
Kenapa aku menyukai tulisanmu itu? Sebab tulisanmu dipenuhi dengan pergulatan antara keasingan dan keintiman. Ya, ada satu kata tambahan di sini: keasingan.
###
Apakah kau masih terlihat seperti anak kecil?
Aku ingin sekali menjawab pertanyaan itu. Iya, itu kalimat berbunga yang mungkin ditaburi metafora sedikit. Tapi bagiku, semua tampak amat jelas: tendensimu, sinismemu. Dan aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas datang kepadaku. Tidak ada selaput metafora di sana seperti laiknya selaput yang menyelubungi tiap lubang kemaluan perempuan yang belum pernah ditusuk kelamin laki-laki.
Aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas. Dan oleh karenanya, kau tahu, kalimatmu itu amat menohok. Aku sempat membayangkan kata apa yang keluar jika aku benar-benar menjawab pertanyaan itu. Tapi bayangan itu segera pupus dengan cepat. Kalimatmu itu, akan kubiarkan menggantung tanpa jawaban. Eh, salah. Bukan kalimatmu yang kugantung. Tapi akulah yang kau gantung dengan kalimatmu. Tidakkah kau melihat kesakitan di sekujur leherku sekarang ini? Aku sangat ingin bertanya: apakah leherku mulai biru dan kelihatan kaku?
Ketika kesadaran itu terus merayapi otakku, leherku terasa makin sakit. Sangat sakit. Dan aku menyesal telah berpetuah di hadapanmu. Jika ada sesuatu yang paling tak kita butuhkan saat ini, maka itu adalah nasihat.
Aku pernah mengatakan ini padamu: aku selalu menyukai sebuah novel dengan huruf depan M yang berkisah tentang seorang gelandangan yang enggan berpikir. Gelandangan itu sama sekali bukan tidak bisa berpikir. Semata-mata, ia tak mau berpikir. Jika kehidupan jalanan adalah laku menerima nasib, kenapa mesti ada pikiran yang berontak? Jika kehidupan jalanan adalah dorongan untuk hanya memperpanjang nafas yang telah hampir sekarat, kenapa mesti ada gugatan dari gumpalan yang namanya otak?
Maka demikianlah, gelandangan kita yang bijak lagi bestari ini akhirnya memutuskan jadi manusia tanpa pikiran. Ia masih punya otak karena tak mungkin membuang gundukan itu tanpa mati. Ia masih membawa gundukan itu ke mana-mana. Tapi ia telah bersumpah demi langit demi bumi dan demi laut—mungkin karena ia tak percaya Tuhan—tak akan menggunakan gumpalan itu. Ia hanya akan berbuat. Melakukan sesuatu. Tanpa didahului pertimbangan—atau apapun yang punya kaitan dengan pikiran.
Tapi suatu hari, begitulah yang dikisahkan penulis berhuruf depan I yang mengarang novel dengan huruf depan M, si gelandangan kita itu bertemu dengan sesama gelandangan lain yang justru membawa pikiran ke mana-mana. Keduanya terlibat percakapan seru tapi penuh seteru: si gelandangan kita, seperti kebiasannya, bicara dengan kalimat-kalimat ringkas yang dijawab dengan kalimat-kalimat panjang nian berat dari gelandangan kawannya itu. Sebuah percakapan berat sebelah terjadi. Dan gelandangan kita akhirnya memutuskan membenci kawannya yang ia sebut sebagai manusia pikir itu—lawan dirinya yang ia sebut sebagai manusia berbuat.
Apakah aku sekarang berperan sebagai antagonis yang rewel dengan pikiran itu? Dan kau, di lubuk hatimu yang paling dalam, apakah kau sedang menertawakan aku pertama-tama, lalu diam-diam mulai memenuhi hatimu dengan kebencian terhadapku? Seandainya pun iya, aku harus masih bersyukur: kita bukan gelandangan. Setidaknya untuk saat ini.
Dan kereta itu lamat-lamat terdengar deru mesinnya. Lamat-lamat terlihat badannya. Kau mengambil tasmu, aku mencangklong tasku. Dalam hati aku berjanji padamu: begitu menjejakkan kaki di dalam kereta api itu, aku akan berhenti jadi manusia pikir. Aku akan bergabung bersama kaummu yang dipimpin gelandangan kita. Aku berjanji. Tapi jangan kau paksa aku mengucapkan janji itu. Cukup dengan tatapan mata kusampaikan janji itu padamu. Karena memang hanya itulah yang sampai saat ini bisa kulakukan.
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
pas banget kalo original soundtrack-nya STASIUN BALAPAN ini mas…
“aku berpikir karena itu aku ada”, pas seperti yang digambarkan oleh descartes itu, mas haris. saya suka banget dg gaya deskripsi mas haris. lembut dan mengalir.
sepertinya saya pernah membaca pada postingan yang lalu, entah mirip atau memang saya terlalu terburu-buru membaca. Tapi tak mengapa…ini sudah cukup dapat saya nikmati..hmmm…dan kalau kenikmatan itu memang ada, sebaiknya berkali-kali kan bang…?
“Memiliki sesuatu selalu berarti membawanya menuju sebuah perubahan.”
Amboi, indah nian quote itu….
Apakah kau mendapatkan inspirasi cerita ini saat ‘pergi’ beberapa waktu yang lalu?
to: zenteguh
“Stasiun Balapan”? kurang pas ah, mas. kan lagu itu cerita soal perpisahan sedangkan kisah saya kan bukan soal itu–justru semacam kebalikannya.
to: sawali
terima kasih, pak. justru kadangkala kita harus menolak descartes kan, pak? berhenti berpikir dan mengandalkan tubuh atau perasaan kita dlm bertindak…
to: boykesn
ini tulisan baru, mas. sama sekali baru. tapi memang memiliki tautan dg sejumlah teks lain dlm blog ini. mngkn krn itu anda merasa de ja vu.
to: dony
inspirasinya sudah lama, don. jauh sblm aku ‘pergi’ kemaren. tapi baru bs merampungkan kisah ini sekarang…
aku suka gambar tajuk terurai nya…..senja banget dah………..
ah, saya juga suka banget merahnya merah … saya baru pertama kali ke sini dan akan sering2 balik, salam kenal pak!
nb: entah mengapa saya merasa tulisan ini akan jauh lebih kena di kalbu saya kalau saja kalimat ini: “Tidak ada selaput metafora di sana seperti laiknya selaput yang menyelubungi tiap lubang kemaluan perempuan yang belum pernah ditusuk kelamin laki-laki.” bisa dibuat lebih tersirat …. (maklum cewek hehe … pas bagian itu koq rasanya ga pas aja)
~nadya
romantisme kereta api dengan setting stasiun berarsitek art deco seperti Balapan tentunya bisa menjadi backdrop apik untuk film film…
salam
Kita semua sedang berada di sebuah stasiun, aku, kamu, Dony mungkin, pastilah akan memilih kereta yang berbeda2 untuk melanjutkan perjalanan kita masing-masing. Setidaknya aku bangga telah sempat berkenalan denganmu di Stasiun bernama UNS yang sudah sangat ingin aku tinggalkan ini..sepurku jadwale molor Ris, kampreett…
kayake cuman aku yang nggak mudheng…:(
memang “pergi” yang dimaksud itu “pergi” yang gimana tha?
“Tapi kita tidak pernah menemukan juru potret. Dan gambar punggung kita yang berdempetan…” tampaknya bung haris seorang pengagum ‘punggung’. posting kemarin juga diberi judul ‘punggung’. saya tak tahu bila masih ada kata-kata ‘punggung’ dalam posting yang lain.
seperti ahmad tohari. mengagumi perempuan bukan dari body, senyum, atau kerling mata. tapi dari tengkuk. sebidang tubuh antara tengkuk dan rambut yang putih terlindung dari mataharilah tempat tohari menautkan kekagumannya pada perempuan. tohari mengakuinya dalam ‘bekisar merah’.
punggung. tengkuk. masih ada lagi?
gambare setasiun koyo nggon filem hari poter
bertautan dengan Merahnya Merah ya ris?
tentang gelandangan miskin yang pandai berfilsafat?
tapi critamu bisa lebih aku nikmati lho…
Kata-katanya semerdu lagu
wah ternyata mas pintar sekali mengolah kata sehingga mampu menyentuh para pembacanya ya, sukses untuk blog nya ya mas
@ anymous aka nadya
terima kasih masukannya. sy sudah berusaha membuat perbandingan yang “cukup presisi” tapi tak meninggalkan imajinasi. he2. salam kenal pula..
@tukang gunem
aku jg bangga berkenalan dg mu (diucapkan sambil mbrebes. :D)
@maspemp
analisa yang menarik,mas. mngkn sy emang lagi terpesona dg punggung perempuan nih. kadang hasrat bawah sadar kan terekspresikan via teks yang kita buat…:)
gambare luwih romantis daripada tulisane,
nyepur nang ndi mas?
tetep keren spt biasanya…
wis tak baca beberapa kali. blm bosen. ono lanjute gak mas?
😀